Rabu, 15 Mei 2013

KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ ( SEBUAH REFLEKSI BAGI KAWAN – KAWAN PEMEGANG JABATA




Alhamdulillah pada era pasca reformasi ini, gaung islam makin berkumandang dengan adanya para duta islam di kancah politik negeri  ini… kemenangan demi kemenangan dengan izin Allah SWT dapat di raih.. pada hakekatnya kemenangan ini bukanlah kemenangan partai tertentu namun kemenangan islam, dan semoga  menjadi salah satu komponen pembentuk kembali peradaban islam yang dulu pernah ada namun hampir sirna dan sekarang telah lama diidamkan.

Sejalan dengan kemenangan-kemenangan tersebut, bermunculah beberapa tokoh islam yang mulai di perhitungkan diblantika politik Indonesia, baik sebagai DPR/MPR, walikota/Bupati, gubernur, mentri.. dan pejabat-pejabat struktual lainnya. Banyak dari para aktifis yang dulunya biasa-biasa saja sekarang menjadi orang yang luar biasa, memiliki wewenang, kuasa, dan selalu mendapat sorotan publik.

Dalam sebuah obrolan santai seorang sahabat pernah berkata”ustad fulan saiki gayane jan ngayeng tenan..setelah Beliau jadi anggota DPR, jam tangan sudah ganti Rolex, kalo jalan selalu berkaca mata hitam koyo artis selebritis”..  kita tidak dapat menyalahkan orang yang berkata sinis seperti itu, mungkin memang setelah memegang jabatan dinegri ini berbanding lurus dengan penampilan seseorang ustadz yang menjadi perhatianya tadi. Kita juga tidak dapat seenaknya menyalahkan sang ustad, karena mungkin memang penampilan seperti itu sangat diperlukan untuknya dan semua itu mungkin dengan tujuan yang syar’i pula, 

Terlepas dari semua itu yang terpenting sekarang adalah niat, dan tujuan, apakah hanya sebatas dunia saja atu lebih mulia dari itu, lalu bagaimana seharusnya kita bersikap,  apakah kita harus meninggalkan semua itu mundur kebelakang dengan alasan agar selamat dari fitnah dunia???, dalam menjawab hal ini marikah kita merujuk pada peri kehidupan para salafusholeh, prototype kehidupan muslim yang sebenarnya. Salah seorang pejabat/ pemimpin legendaris ada khalifah Umar bin Abdul Aziz . Inna lillâhi wa inna iIayhi râji'ûn. Dengan ekspresi sedih, kata-kata itulah yang meluncur dari bibir Umar bin Abdul Aziz sesaat beliau dibaiat menjadi khalifah (kepala Negara Islam). 

Sebelumnya, Umar memang sudah berusaha keras menolak untuk diangkat menjadi Khalifah. Namun, umat tampaknya lebih keras lagi 'memaksa' agar beliau bersedia menjadi Khalifah. Lalu terjadilah pembaiatan itu. Akhirnya, dengan ikhlas dan ridha, Umar menerima baiat umat. Namun, hal itu tidak membuat beliau tenang. Kegelisahan di dada ia bawa saat pulang ke rumahnya. Ia mengurung di kamarnya. Ia menangis. Dalam benaknya terbayang, jutaan rakyatnya siap menuntutnya di hadapan Pengadilan Allah pada Hari Kiamat nanti jika ia tidak bisa melayani, mengayomi dan melindungi mereka. Karena itulah, bagi beliau, amanah kekuasaan yang baru saja beliau terima adalah 'musibah besar'. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyadari betul sabda Baginda Nabi saw., “Sesungguhnya kekuasaan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang diamanahkan di dalamnya.” (HR Muslim).

Disini jelas terlihat bahwa Khalifah tetap menerima jabatan itu, walau berat hati karena sadar betul bahwa itu adalah fitnah yang besar namun KEPENTINGAN UMAT lebih tinggi dari itu, Beliau sadar betul bahwa kekuasaan adalah musibah yang besar dan kehinaan yang besar pada hari pembalasan nanti kecuali orang yang mengambil dengan haq dan menunaikan apa yang diamanahkan didalamnya. 

Jadi kekuasaan ibarat mata pisau jika digunakan secara baik dapat bermanfaat, tetapi jika menggunakan secara tidak baik akan menjadi malapetaka.  Dalam Islam, kekuasaan tentu bukan sesuatu yang haram. Bahkan hanya dengan kekuasaanlah Islam di muka bumi ini bisa benar-benar tegak, hukum-hukum Allah bisa kokoh berdiri, umat Islam bisa terlindungi dari ancaman musuh dan risalah Islam bisa tersebar luas dengan dakwah dan jihad. Dengan kekuasaan pula Islam sebagai rahmatan lil 'alamin betul-betul bisa terwujud. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan orang-orang salih, zuhud, wara' dan amanah seperti halnya Umar bin Abdul Aziz, atau generasi yang lebih awal, yakni Khulafaur Rasyidin

Pertanyaan sekarang adalah apakah sepirit dan motivasi berkuasa Umar Bin Abdul Aziz, masih ada di kalangan para pelaku pejabat, atau pelaku politik islam negeri ini saat ini.?? Ini adalah pertanyaan besar yang harus mampu di jawab oleh mereka dengan prilaku real yang dapat dilihat oleh umat yang memilihnya.  Apakah mereka mampu seperti Uar Bin Abdul aziz manakala suatu ketika beliau 'ditegur' oleh putranya, “Ayah, bagaimana jika ada rakyat Ayah yang begitu membutuhkan Ayah, sementara Ayah sedang duduk beristirahat di rumah?” Seketika Khalifah Umar sadar, lalu bangkit dan kembali bekerja melayani rakyat. Padahal Khalifah Umar baru beberapa menit saja melepaskan penat. Keringat pun masih membasahi tubuhnya karena setiap hari hampir sebagian besar waktunya habis untuk mengurus dan melayani rakyatnya.
Jadi pada iklim demokrasi sekarang  ini kekuasaan di parleman legislatif atau yudikatif adalah keniscayaan yang memang sangat diperlukan sebagai jembatan membentuk peradaban umat, namun semua itu harus kembali pada tujuan, misi dan visi yang syar’i sehingga, tidak mejerumuskan para pelakuknya dalam kubangan dosa yang sangat berat ditanggung pada hari pembalasan kelak

Sebuah tantangan berat bagi para pelaku politik dan pejabat islam, apakah mereka mampu ????

So… kita tunggu saja buktinya…

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar :

Posting Komentar