Sahabat Setetes Embun Bening yang berbahagia.. berikut kami teteskan setets embun .. sebuah cerpen dari salah seorang penulis cerpen Islami.. Beliau adalah salah satu idolaku.. Helvy Tiana Rosa.. seorang yang konsen sekali di bidang sastra Islami.. cerpen ini berjudul IDIS..aku copy paste dari berlatar belakang dareah di kalimantan selatan.. salah satunya adalah Batu Licin tempat dimana sekarang admin tinggal.. selamat menikmati ..
Begitu senja. Jalan setapak di batas
Batu Licin yang sejak tadi kususuri semakin gelap. Pepohonan dan daun-daun
melambai berharap mentari sudi mengintip sebentar saja lagi, mengiringi
langkahku yang entah ke mana ini.
Kupercepat langkah. Setengah berlari
kubawa gejolak tak menentu, buncahan duka, airmata yang membuat sungai
kepedihan semakin panjang dalam diri. Perang! Perang! Perang yang membara sejak
aku belum dilahirkan, hingga kematian kedua orangtua dan sanak saudaraku.
Perang yang tiada berujung!
Ya, Belanda memporak-porandakan
semua. Abak-ku hanya tukang perahu yang tewas kehabisan darah, saat Van
Hengst dengan penuh dendam memotong-motong lalu mengirimkan kaki, tangan dan
kedua mata Abak yang dicungkilnya keji kepada Pangeran Hidayat untuk menakut-nakuti
pemimpin teguh itu agar tak lagi mengajak rakyat Banjar berjuang.
Umak, wanita yang melahirkanku pun cuma wanita biasa yang
kutemukan tewas setelah dianiaya dan diperkosa belasan penjajah Belanda di
beranda rumah kami bertahun lalu. Sementara abangku Kusin dan Ali tewas saat
bersama Kyai Langlang menyerbu benteng Belanda di Tabanio.
Dan dalam usia tujuh belas tahun ini
aku sendiri. Berjuang untuk tetap hidup dalam atmosfir nestapa kebiadaban
penjajah Belanda.
“He…he…he…he….”
Gema tawa liar yang tiba-tiba
terdengar sungguh menyentakkan lamunan dan mengejutkanku! Lalu entah darimana
datangnya, kini tiga sosok lelaki menghadang jalan. Dua di antara mereka
menyandang tombak!
“Gadis muda…, he…he…he…, mau
kemana?” tanya mereka hampir serentak. Lantas dengan begitu saja yang berkumis
tebal menjawil pipiku.
Aku menunduk gemetar. Ya Allah,
tolong aku. Tiga orang ini sangat menakutkan. Yang seorang gondrong, seorang
kumisan, sedang yang lain bercodet di wajahnya. Meski bukan Belanda…,tapi
perasaanku mengatakan mereka jahat. Bukan orang baik-baik apalagi pejuang!
“Kami anak buah Wan Syarif Hamid.
Mari ikut kami. Kumpini takkan mengganggumu…he…he….”
Aku mencibir. “Syarif Hamid… si
tolol. Dan kalian anak buahnya yang… dungu. Kalian muslim… atau Belanda?” gumamku
pelan.
“Diam ikam !” teriak yang
berkumis tebal. “Ayo kita bopong dia!!”
Aku meronta-ronta. Selendang penutup
rambutku jatuh ke tanah! Sambil terkekeh-kekeh mereka berusaha membawaku secara
paksa!
Aku menjerit-jerit. Mencoba
mencakar, menjambak, meludahi mereka! Ya Allah…, aku bingung dan begitu lemah.
Tak mampu mematahkan mereka. Andai aku bisa bela diri…, wah, mana mungkin?
“Turunkan dia!”
Sebuah suara berat menghentikan
aktivitas para jahanam itu. Aku terpana. Seorang lelaki kurus tinggi yang
sangat bernyali mencoba merintangi! Sungguh berani. Kutahan napasku. Mungkinkah
dia bisa melawan para biadab ini?
“Siapa, Kau?” gusar Si Gondrong yang
membopongku. Seketika dibuangnya aku ke tanah. Duh, serasa tulang-tulangku mau
patah. Sakit sekali.
“Saudaraku, lepaskan perempuan yang
tak berdaya itu. Biarkan dia pergi.”
“Tak ada urusan. Menyingkir atau
kutusuk ikam dengan tombak ini!” seru yang berkumis tebal.
Aku memandang ngeri sambil perlahan
memungut selendangku. Pemuda kurus tinggi itu sendirian dan bergeming di
tempatnya. Sambil membetulkan ikat kepalanya dia melambaikan tangannya padaku.
“Sini, Ai!”
Aku baru saja akan berlari, saat dua
di antara anak buah Syarif Hamid mencengkeram tanganku kuat.
Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri
menggigit tangan mereka sampai berdarah. Mereka melolong kesakitan! Hup, Aku
bebas! Dengan lutut yang masih agak gemetar aku berlari ke arah pemuda
tersebut.
“Serbuuuuuuuu!” teriak si Kumis.
Serempak mereka menyerang pemuda yang bermaksud menolongku itu.
Pemuda kurus tinggi tersebut gigih
melawan. Ia pintar beladiri! Kulihat gerakannya sangat lincah. Bahkan ia belum
juga mengeluarkan keris di pinggangnya menghadapi orang-orang jahat bertombak
itu!
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Menunggunya? Kalau dia kalah dan mati? Hiiiiiii….
“Semoga Kakak menaaaaang!” teriakku
pada pemuda yang berani itu. Dan…wussssssss, aku berlari secepatnya
meninggalkan tempat tersebut.
***
Pindah dari satu daerah ke daerah
lain, mengembara tak tentu arah, sebenarnya bukan hal yang biasa dilakukan oleh
gadis bingung dan penakut seperti aku ini. Tapi kupikir, harus bagaimana lagi?
Aku bisa mendelik atau pingsan ketakutan bila berada di daerah yang ditimpa
kerusuhan dan peperangan. Ya, karena aku penakut. Karena tak berani menghadapi
kenyataan peperangan inilah maka aku selalu berlari.
Aku ingin dapat istirah sesaat
dengan tenang walau harus tidur di tanah, emper rumah orang, dalam bilik
pengap, di mana saja. Tidur nyenyak di waktu malam berteman suara jangkrik.
Bukan suara bedil, mesiu, atau jerit pilu yang berkepanjangan. Bukan ditemani
mimpi-mimpi meresahkan… Bayangan wajah Abak, Umak, kumpini dan simbahan
darah…. Sungguh, itu sangat mengerikan.
Seperti kini, 27 September 1859, aku
tiba di kaki Gunung Lawak. Menurut kabar daerah ini sudah dikuasai oleh para
pejuang kemerdekaan.
“Pangeran Amirullah, Demang Lehman,
Antaludin dan Haji Buyasin ada di sini. Rakyat merasa lebih tenang. Wilayah
juga lebih aman…,” ujar seorang bapak tua penjual sayur yang kutemui di jalan.
Kutarik napas panjang. Aku salut
atas keberanian para pejuang itu. Apalagi pada Pangeran Hidayat, Haji Buyasin
dan…Demang Lehman! Tapi…terus terang, aku lebih suka jadi pelarian daripada
ikut membantu perjuangan.
“Bergabung saja dengan laskar wanita
pimpinan istri Haji Buyasin. Nanti kau diajar mengobati orang luka, memasak,
juga bersilat, Ading Gahara…,” kata Kak Kusin suatu ketika.
“Kenapa sih Ading penakut
sekali…!” bentak Kak Ali.
“Ading kada‘ mau mati muda….”
jawabku pelan.
“Huuuuuuuuuu! Mati bisa di mana
saja, Ading. Di tempat tidur pun bisa!” ledek Kak Ali sambil mengusap
kepalaku.
Kutahan titik-titik air mata. Aku
rindu mereka…, sungguh rindu!
“Kita harus melawan penjajah, ini
tanah hak kita! Kita harus merdeka! Jihad fisabilillah terhadap
Belanda…kaum kuffar itu!” suara Kak Kusin lagi.
Aku menghapus airmata dan
membetulkan letak selendangku. Sebelum hari beranjak siang, aku harus mendapat
pekerjaan. Mencuci baju, piring, membantu di warung…, apa saja…, agar aku
mendapat uang dan bisa numpang bermalam.
Belum jauh berjalan, di sekitar kaki
Gunung Lawak, kutemukan sebuah warung kecil yang sepi tanpa pengunjung.
“Aku tak memerlukan pembantu, tapi
kau boleh tinggal di sini,” ujar seorang janda tua pemilik warung tersebut
prihatin. “Lagi pula kita senasib. Aku pun sebatangkara. Panggil saja aku Acil
Dem…,” sambungnya lagi.
Alhamdulillah, aku sangat bersyukur!
***
Beberapa hari kemudian, suara mortir
dan senapan tak berhenti menyalak di sekitar kami….
“Perang! Belanda sampai…, ayo
ngungsi!”
“Van De Koch… dan anak buahnya…
menyerbu benteng Gunung Lawak…!”
“Demang Lehman terdesak!”
Itulah seruan-seruan beberapa orang
di jalanan dengan wajah penuh kecemasan.
Kaum wanita dan anak-anak pun panik!
Para lelaki mengangkat tombak, keris serta bedil.
“Mari bantu pasukan Demang Lehman!”
Aku dan Acil pias!
“Acil, ayo kita lari!”
“Kau saja yang pergi, Gahara. Biar Acil
mati di tanah sendiri!”
“Jangan, Acil!” aku
kebingungan. Suara bedil, mesiu dan kendaraan perang yang terasa menderu-deru
di telingaku semakin dekat saja! Semakin membuatku gugup. Kutarik paksa Acil
Dem meninggalkan rumah. Aku takut sekali dan ingin lari selekas mungkin. Tapi…,
nuraniku berkata untuk melindungi Acil Dem! Acil malah
meronta-ronta….
Tiba-tiba kulihat darah muncrat dari
punggung perempuan tua itu. Mataku terbelalak. Kepalaku berkunang-kunang. Aku
lemas seketika! Belanda-belanda itu telah menguasai daerah dan berada tak jauh
di belakang kami!
“Lari…, Ga…ha…ra…,” suara Acil
satu-satu.
Sosok Umak yang bersimbah
darah tiba-tiba muncul di hadapanku. Matilah aku kini! Wahai…, gadis muda mati
di bantai kumpini!
***
Cahaya menyilaukan membuat kedua
mataku mengerjap picing. Di manakah aku kini? Surga? Tapi…apakah seorang
penakut dapat begitu mudah masuk surga?
“Kau sudah sadar….”
Kukerjapkan lagi mata ini.
Pandanganku masih terasa kabur. Allah, aku masih hidup! tapi…,bagaimana
mungkin? Dan…Acil Dem?
Seorang lelaki gemuk berdiri tak
jauh di hadapanku. Di dekatnya seorang lelaki kurus tinggi berpakaian lusuh,
lengkap dengan ikat kepala membelakangiku. Sekitarku penuh pepohonan…,
daun-daun kering berserakan, suara-suara binatang di kejauhan…. Hutan! aku ada
di hutan!
“Kau tak luka, hanya pingsan.
Bergegaslah! Kita akan berjalan ke pemukiman penduduk beberapa kilometer dari
sini.”
Aku tertegun saat sekilas menatap
pemuda itu. Aku pernah bertemu dengannya tapi…tapi di mana? Oh tentu saja,
pemuda kurus dengan ikat kepala itu yang menolongku saat di Batu Licin dulu!
Hebat, dia selamat! Dan…kini dia pula yang menolongku.
Tak lama kami telah berjalan
menyusuri hutan. Sesekali kutangkap pembicaraan dua pemuda sederhana ini.
Tampaknya mereka sisa-sisa pejuang dari benteng pertahanan Gunung Lawak.
Entahlah, mungkin anak buah Demang Lehman?
Mereka tak lagi mengajakku
bercakap-cakap. Hingga di ujung hutan, tak jauh dari pemukiman penduduk, lelaki
dengan ikat kepala itu berkata, “Kita berpisah di sini. Kau hanya harus lurus
berjalan. Ceritakan tentang pertempuran di Gunung Lawak. Penduduk akan simpati
dan menolongmu.”
“Apa? Begitu saja, Ai?”
tanyaku heran sambil membetulkan selendang lusuhku yang compang-camping.
“Bagaimana kalau ada Belanda yang menghadang tiba-tiba?”
“Insyaallah aman. Dan bila
orang-orang kafir itu datang berjihadlah. Tuangkan darahmu untuk menegakkan
agama Allah….”
Aku bergidik. “Aku ikut saja.”
“Tidak bisa! Kami akan bergerilya
dan mengatur siasat baru,” ujar pemuda itu lugas.
“Tega!” rutukku. “Baik. Terimakasih
sudah menolong,” kataku pada akhirnya. “Sebelum berpisah, siapakah Kakak berdua
ini kiranya?”
“Aku Idis. Dan ini temanku
Abdullah,” ujar si ikat kepala lagi.
“Assalaamualaikuum!”
Lalu tanpa bisa kucegah, mereka
berlari dan menghilang ke dalam hutan!
***
Beberapa waktu kemudian, di tengah
pengembaraanku, kudengar Demang Lehman dan pasukannya berhasil mengusir Belanda
dari Gunung Lawak. Kata beberapa orang, Belanda tak tahan digerogoti dan
diteror terus secara gerilya oleh para pejuang tersebut.
Menurut banyak orang lagi, Di Munggu
Tajur, Demang Lehman berhasil merampas senjata, berpuluh pucuk bedil serta
mesiu Belanda. Kemudian orang gagah itu meneruskan pertempuran ke Taal dan
membuat Belanda kocar-kacir. Ke Amawang, Alai, Kusan, Amandit, Banua
Lima-Tabalong….
“Dia orang hebat, Gahara. Aku pernah
bertemu sekali dengannya. Dia sangat pemberani!” seruan Kak Kusin terngiang
kembali di telingaku.
“Dia juga sangat rendah hati!”
sambung Kak Ali. “Pangeran Hidayat percaya pada beliau makanya Demang Lehman
diangkat menjadi Lalawangan di Riam Kanan walau Sultan Tamjidullah yang
berpihak pada kumpini itu benci! Pangeran Hidayat memberinya tombak
Kalibelah dan keris Singkir.”
Demang Lehman, aku menggumam.
Pembicaraan yang tiada putus-putusnya. Dan saat aku sampai di Barabai,
orang-orang masih juga menyebut namanya!
“Kebakaran! Kebakaraaaaan!”
“Allah, ada apa?”
“Kebakaran! Barabai hangus! Api dari
rumah Demang Lehman! De Koch membakarnya!” seru seseorang.
Aku terhenyak. Tapi…tidak, tak ada
Belanda. Yang ada hanya api…,api yang menjalar kemana-mana…terus menjalar!
Para wanita dan anak-anak menjerit
dan menangis keras, riuh rendah! Hiruk-pikuk! Mereka jatuh, berlari,
bergulingan, berusaha menyelamatkan harta dan keluarganya! Dan saling
kehilangan! Para lelaki mencoba menyiram rumah-rumah dengan air. Sia-sia!
Sesaat aku terpana. Ternganga.
Naluri kemanusiaanku menuntunku untuk membantu menyelamatkan kaum wanita, para
bocah dan orang tua. Tubuhku bergetar. Peluh membasahi kulit ini. Aku
berlari-larian mencoba menyelamatkan yang bisa kuselamatkan. Anak-anak kecil
itu…, Allah…aku sempoyongan! Kasihan mereka!
“Toloooong, bayikuuu! Bayiikuu! Dia
terbakar!” seorang umak muda berteriak-teriak di depan rumahnya yang
penuh kobaran api.
Entah kekuatan dari mana, aku
menyeruak masuk. Bocah baru berusia beberapa bulan itu menangis keras
kepanasan! Selimutnya telah terbakar. Kuraih…, hup! Tangis anak itu makin
keras. Tapi…ya Allah…,aku terkurung apii!!
“Toloong! Tolong anak iniii!”
teriakku.
Dalam nanar kulihat orang-orang
masih berlarian tak peduli. Umak anak itu meraung-raung sambil
menunjuk-nunjuk kami….
Aku sudah pasrah…, saat samar-samar
kulihat sosok kurus tinggi menyeruak api! Tangan kanannya menarikku. Tangan
kirinya menyelamatkan bayi tersebut!
Alhamdulillah Allah melindungi kami.
Hanya kaki dan tanganku melepuh sedikit.
Dan lelaki itu…, hah? Kak Idis?
“Kau sudah lebih berani, Ading! Berjuanglah
bersama Allah…,” katanya datar sebelum berlalu.
Aku tercenung. Berani? Ya, pada api
aku memang agak berani. Tapi…pada Belanda yang memperkosa dan membunuh Umak,
yang mencungkil mata Abak?
Orang-orang di sekitarku masih
hiruk-pikuk. Bertangis-tangisan. Kutatap sosok kurus yang kian jauh itu. Entah
siapa dia…, dan Ya Allah, mana bungkusanku? Heran. Dalam keadaan seperti ini
ada saja orang yang mencari kesempatan!
Aku sudah tak memikirkan sosok kurus
itu lagi. Hanya mencari bungkusanku yang hilang ke sana kemari.
***
Martapura, 26 Februari 1864.
Kesunyian kota berubah ramai saat
para utusan De Koch tiba.
“Rakyat semua, dengarlah! Besok kamu
semua datang beramai-ramai. Setelah Pangeran Hidayat ditangkap untuk dibuang ke
Cianjur, Gubernemen kini telah menangkap ekstrimis Demang Lehman.
Eksekusi gantung sampai mati esok pagi!”
Aku baru saja tiba di kota ini.
Orang-orang sibuk membicarakan tertangkapnya Demang Lehman. Kasihan, kasihan
pejuang itu. Dan bagaimana nasib rakyat kalau ia betul tertangkap? Bukankah ia
pengobar semangat rakyat?
“Ya, Demang Lehman dan Tumenggung
Aria Pati bersembunyi di dalam Gua Gunung Pangkal. Mereka cuma makan
daun-daunan. Lalu oleh orang bernama Pemberani diajak menginap di rumahnya.”
“Karena tergiur imbalan golden,
Pemberani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah
menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman.”
“Demang Lehman ditangkap waktu salat
subuh. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas
keberhasilan ini Syarif Hamid akan diangkat jadi raja di Batu Licin….”
Cerita-cerita terus beredar. Dan
entah mengapa aku tergugah. Seperti apakah Demang Lehman itu? Lelaki pemberani
yang dikagumi rakyat Banjar? Setua apa dia? Rasa ingin tahu bermain terus di
hatiku.
27 Februari 1864. Kulihat
wajah-wajah duka di Martapura. Dan saat iring-iringan Belanda tiba, entah
mengapa kakiku tetap kukuh menginjak bumi. Tak lari seperti biasa. Serasa
magnet yang kuat menahanku untuk tetap di Martapura. Tiba-tiba kebencianku
bergumpal-gumpal pada Belanda kafir dan para pengkhianat tolol itu! Tiba-tiba
sesuatu yang lain menjalar di hatiku. Aku merasa begitu dekat dengan Demang
Lehman…,orang yang akan digantung Belanda di hadapan orang banyak saat ini….
“Bawa dia naik!” teriak beberapa
Belanda.
Rakyat berguman-guman tak jelas.
Wajah-wajah di sampingku keruh menahan air mata.
Seorang lelaki kurus tinggi dengan
ikat kepala naik ke atas panggung hukuman. Ya Tuhan! Aku menahan napas! Nyaris
tak percaya…, Kak Idis!? Benarkah itu Kak Idis?
Lelaki muda itu tampak tenang
menghadapi tali yang menjulur. Wajahnya kokoh ke depan. Seolah ingin berkata
bahwa kematiannya adalah awal, bukan akhir perjuangan.
“Kak Idis…,” lirihku. Dan tanpa
dapat kutahan airmataku mengucur begitu saja. Makin lama semakin deras.
Seorang Kompeni maju. “Nama Demang
Lehman. Nama kecil Idis. Lahir tahun 1832 di Barabai. Bersalah merugikan
pemerintah Belanda secara moril materil dan menghilangkan nyawa banyak orang.
Dihukum gantung dalam usia 32 tahun, sebagai contoh pahit bagi para
pemberontak.”
“Dangar, dangar baritaan! Banua
Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah akan diinjak kumpini
Belanda!”
“Apalagi yang mau dikatakan!”
Belanda mendorong tubuh Kak Idis hingga limbung.
“Mari berjihad, saudaraku! Laailaahailallah!!!”
Kak Idis berteriak keras.
Wajah orang-orang kian haru. Biru.
Beberapa diantaranya meneteskan airmata. Para wanita seolah tak kuat menanggung
rasa duka dan berlalu dari situ. Sementara deras airmataku berubah jadi isakan.
“Siap?”
Bagiku Kak Idis tampak makin gagah
saat lehernya dikalungi tali tambang yang kokoh itu. Ia begitu tenang. Pun saat
tanpa sengaja kami bertatapan.
Jantungku berpacu keras. Belanda
Biadab!
“Allaaahu Akbarrrr! Demang
Lehman…! Aku akan mengikutimuuuu! Aku akan berjihaaaad!” teriakku tiba-tiba.
“Aku Gaharaaaa!!!”
Sesaat orang-orang sibuk mencari
arah suaraku, juga Kompeni. Demang Lehman tenang dan terus berdzikir. Seulas
senyum ketabahan menghiasi wajah teduhnya. Belanda tak membiarkan. Kasar mereka
menarik Demang Lehman! Kasar mereka memasukkan lingkar tali tambang ke
lehernya! Dan penuh kebrutalan… mereka…membuat tubuh kurusnya terayun-ayun
setelah mengejang tertarik tali!
Allah, dia telah pergi! Pemuda gagah
itu pergi diiringi tunduk khidmat dan doa rakyat Banjar. Diantara derai tawa
Kompeni Belanda!
Selendang compang-campingku yang
lusuh berdebu, berkibar ditiup angin Martapura. Rahangku keras menatap langit
kelabu. Sayup-sayup kudengar senandung Laa ilaahailallah memenuhi bumi.
Menyebarkan wangi….
Aku akan mengenangmu, Demang Lehman
mujahid negeri! Akan kuteruskan perjuangan! Dan airmata biar terpatri jadi
janji!
***
(Helvy Tiana Rosa, Depok, 1996)
Keterangan:
ikam
: kamu
ading
: adik
kada
: tidak
acil
: tante
lalawangan
: kepala distik, pamong praja
dangar
baritaan
: dengar pesanku
lamun kada lakas
dipalas : kalau tidak lekas disiram
banyu
: air
diteteskan dari sumber aslinya
Tidak ada komentar :
Posting Komentar