Sabtu, 23 Agustus 2014

Perempuan Berteman Kereta



Gorengan-gorengan suara penjual  gorengan  samar terdengar melewati celah rumah kardus yang ditempatinya, diselingi gemuruh suara kereta seakan saling berlomba memasuki gendang telinganya. Tubuh rentanya  sudah sangat sulit utuk bergerak cepat, padahal hati  ingin membeli beberapa gorengan untuk menganjal perut yang sedari pagi belum disinya.  Perempuan renta itu tetap mencoba untuk bangun, suara derit tikus yang ketakutan terdengar sesaat, kemudian sepi hanya terdengar langkah-langkahnya yang lemah saat dia berjalan setengah terhuyung menuju pintu rumah kardusnya yang juga terbuat dari kardus.

“Gorengan… gorengan..” suara yang terdengar tidak cukup keras mengalahkan deru mesin kereta yang berlari di depan gubuknya.
“Gorengan..Gorengan.. sini  mbak beli gorengan” dicobanya mengeraskan volume suaranya namun mbak penjual gorengan itu sudah hilang di belokan beberapa meter dari gubuknya.

Tubuhnya terhuyung kemudian terjerembab di balik pintu kardus yang berdebu.  Airmatanya yang sedari tadi dicobanya untuk ditahan sudah tak dapat dibendung lagi hingga pecah membuncah mengaliri sudut-sudut matanya yang keriput.  Semakin disadarinya keadaan sudah amat sangat berbalik, dahulu ia adalah primadona Kapis, sebuah komplek pelacuran  yang terletak hanya beberapa kilometer saja  disebelah utara  Batulicin Ibukota tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Dan saat ini didapati dirinya menjadi tunawisma dan pesakitan yang berkeliaran disepanjang rel kereta dibilangan Lenteng Agung Jakarta Selatan.

Tidak ada satupun orang yang menghargainya, tak ada satupun sanak atau keluarga yang tahu keberadannya, ingatannya melayang berberapa puluh tahun silam

---ooo0ooo---

“nduuk .. coba koe bantu mbok mu iki gorengen iwak iku”

 teriakan Ibunya seolah  lonceng yang memekakkan telinganya.

“simbok.. tanri lagi belajar nih,  nanti saja ya mbok setelah tanri selesai sekitar dua jaman lagi deh”

 suruhan sang Ibu dijawab dengan nada tinggi, padahal ia saat ini sedang berbaring di kamarnya asyik memandangi  foto seorang pemuda dengan tanggan yang mengelus-elus surat cinta berwana biru muda yang dikirim oleh pemuda itu.

“o.. ya sudah kalo begitu”

“iya mbok begitukan lebih baik”

Katanya seraya matanya masih saja menatap foto pemuda itu

“hh.. gagah benar sampean Suhendra, ndak bosen hatiku  memandangi sampean”

Hatinya berbisik, diiringi sesekali dengan senyuman kasmaran, lalu dia menarik nafas dalam dalam fikiran menerawang jauh hingga terlelap dengan senyum tersungging.

Suasana pagi didesa Ngantru salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Tulung Agung Jawa Timur, begitu cerah secerah wajah-wajah para siswa dan siswi SMA Bangun Bangsa mereka begitu ceria menyongsong pelajaran pagi ini.  Namun kecerahan itu terganggu dengan adanya keributan di samping kantin.

“koe kui ndak pantas jadi pendamping Mas Hendra koe gadis elek lan miskin, ngaca dulu dong” suara Savitri begitu keras hingga terdengar memenuhi setiap lorong kelas.

“hah.. koe tuh yang ndak pantas, harta orang tua saja di bangga-banggain, kalo orang tuamu ndak kaya, koe juga miskin kayak aku”

 Dengan teriakan pula tantri menjawab, hatinya begitu sakit selalu dibilang anak orang miskin hingga tidak berhak sekolah disini, juga tak berhak memiliki Suhendra pemuda idamannya.  Sejurus kemudian percekcokan sengit tak dapat dihindari mereka saling bantah, saling hardik, dan saling memaki, hingga akhirnya bermura pada perkelahian fisik, anak-anak berkerumun disekitar mereka ada yang berteriak-teriak ada yang berlompat-lompat suasana gaduh tak terhindari lagi riuh rendah suaranya

“ayo.. Tantri hajar lagi, cakar lagi, terus..tri.”
“Wah savitri.. ayo masak kamu kalah sama tantri…”

Teriakan para supporter semakin membuat perkelahian itu semakin gila, hingga pada puncaknya

“ sudaaaaaahhhhhh…. Berhenti semuaaaaaaa…..!!!!” sebuah teriaka yang nyaring dan panjang terdengar , teriakan yang sangat khas dan sangat di kenal oleh anak-anak bangun benua ya,  teriakan Bu Fatma sang kepala sekolah.

“Savitri, tanri ayoo,, sudah, sudah,.. !” perkelahian mendadak terhenti
“tanri kamu itu nggak ada kapoknya ya bikin onar disekolah sini, kamu tantri sehabis ini keruang saya ada surat untuk orang tuamu, dan kamu savitri juga keruang saya !”

“Baik Bu, kemudian suasana menjadi hening sejalan dengan bubarnya arena perkelahian itu.

---oo0oo---

Sedih dan marah sangat kentara pada raut wajah tua itu, bagaimana tidak hasil pertemuan dengan kepala sekolah mengharuskannya bersedih.  Hal ini karena anak kesayangannya harus dikeluarkan dari sekolah, akibat pihak sekolah sudah merasa sangat kewalahan membinanya.   Berkali-kali Tanri membuat kegaduhan, bolos pada jam pelajaran, berkelahi, bahkan tertangkap basah merokok di toilet sekolah, hingga pada klimaknya perkelahian yang menghebohkan itu.

“Tanri… kalau sudah begini, apa yang akan kamu katakan?’, masih diusahakannya bersabar menghadapi anak gadisnya yang baru tumbuh ini.

“katakan, Tanri  apakah ini yang kau mau, membuat nama baik keluarga kita tercemar, malu sibmok tri malu!”.  Tanri hanya diam seribu bahasa menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“jaawaab!” nada sangat tinggi sudah tidak dapat dia tahan, tanri tergagap tak mengira Ibunya akan semarah ini.

“ee..ii.. inggih Mbok, Tanri mohon ampun, Tanri minta maaf” dengan sangat terisak Tanri memohon dan mengiba pada Ibunya.  Ibunya yang biasanya ramah dengan senyum yang terus mengembang kini sedang marah besar, marah yang sama sekali tidak diduganya.

“maaf mbok.. maaf Mbok sudah berapa kali koe bilang itu nduk, hasilnya mana?, habis maaf kamu melakukan lagi, iyo to..?”. Tanri makin menciut, semakin dalam wajahnya tertunduk.

Duuaar.!! suara meja di pukul keras semakin membuat hati tanri Tergetar, isakannya telah berubah menjadi tangisan, tangisan penyesalan yang teramat sangat.

“ngomong tri.. ngomong.. !”

“inggih mbok tanri,… sekali lagi tanri minta maaf dan berjanji tidak terulang lagi” dicobanya untuk bicara disela tangisannya yang sudah tak dapat terbendung lagi. 

“ya sudah sana kamu mandi dan renungkan kejadian ini, juga renungkan kata-kata Ibumu!”
“inggih mbok” kemudian dirinya beringsut pergi.

Malam semakin larut suasana kelam malam Desa Ngantru, sangat terasa dingin menggigit seakan sampai ketulang, semakin membuat penduduk desa ini enggan untuk keluar.  Namun kelam malam ini masih kalah kelam suasana hati Tanri, ia gundah sejak diberhentikan dari sekolahnya. Hari-hari dilalui begitu membosankan.  Setiap hari ia hanya membantu Ibunya membuat gorengan, mengiris ubi, memotong kol, dan sesekali membantu menggoreng, sungguh rhytme hidup yang monoton dan membosankan.  Hatinya berontak, harus ada perubahan, perasaan itu semakin besar, apalagi setelah dilihatnya si Mela anak Mbok Satiyem yang baru pulang dari Kalimantan. Tampaknya dia berhasil mengadu nasib di sana, pulang dengan oleh-oleh yang banyak dan mahal, berpakaian yang bagus dan dia tampak beda tampak cantik sekali.

“hhh… “.  Entah sudah berapa kali helaan nafas disela-sela kegamanganya.  Matanya sangat sulit terpejam. “hhh… aku harus menemuinya, harus!, ya… aku harus menemui mbak Mela dan minta padanya untuk mengajak aku ke Kalimantan, aku juga ingin seperti dia”, hatinya bergumam.. sejurus kemudian matanya terpejam sementara hatinya tetap dalam kegundahan.

---oo0oo---

“assalamu’alaikum..” Tanri mengeraskan suaranya, saat ini dirinya tepat didepan pintu Rumah Mbak Mela

“wa’alaikum salam..”   terdengar suara lembut mbak Mela dari dalam rumah. 

Rumah mbak Mela sudah nampak berubah, yang terbuat dari kayu sekarang sudah di beton asri sekali dengan taman yang hijau dan sejuk dimata.

“wah.. dek Tanri to, angin apa ini yang membuatmu dating kesini?, ayo cepat masuk!” Mbak Mela masih seperti dulu ramah dan lembut

“iya.. Mbak, ndak ada apa-apa mbak, tanrikan denger katanya mbak lagi ada di sini, makanya tanri kesini sudah kengen juga hamper lima   tahunan mungkin ya kita ndak ketemu?”.

“iya tan, lama juga ya nggak terasa, iya mbak sudah dua hari datang dari Kalimantan”. selama mbak Mela berbicara tak jemu-jemunya Tanri memandang wajahnya, tampak sekali berubah terlihat lebih muda dan cantik, apalagi penampilannya serenceng gelang emas di pergelangan tangan kanannya, dan selingkar cincin batu berlian ungu berikat emas putih di jari manis tangan kirinya, menambah sempurna kecantikannya.

“Tan..Tanri, kenapa kok bengong?, lagi ada masalah ya?, sini bilang embak kalao kamu ada kesulitan

Tanri tergagap memang dia sangat terkesima melihat penampilan Mbak Mela

“eh..hh.. nggak Mbak nggak ada apa-apa, emangnya mbak kalmantannya di mana?”

“mbak di Batu licin Tan, salah satu Ibukota kabupaten di Kalimantan selatan”

“bagaimana kondisinya Mbak, enakkah disana?”

“ enak kok Tan, sama aja kayak disini, disana juga banyak orang jawa, dari kota kita ini tulung agung juga banyak di sana Tan”

‘o.. mbok ajak-ajak saya to mbak, seriusnih”

“bener nih tan, kan kamu masih sekolah?”

“sudah tidak lagi mbak, makanya tanri mau cari kerja aja”. Beberapa saat kemudian diceritakannyalah bahwa dirinya di keluarkan dari sekolah dan saat ini sangat bosan dirumah dan ingin perubahan.

“o.. ya sudah kalau mau ikut minggu depan aku kembali lagi kesana, kamu siap-siap, pagi pagi lo karena pesawatnya tengah hari!”

“bener nih mbak.?”

“iya bener, masak mbak bohong sih?

“terimakasih-mbak, terimakasih banyak”, Tanri begitu senang harapannya membuncah ingin merubah hidup, bosan rasanya mengenyam kemiskinan sejak dia dilahirkan.

“ ya sudah terimakasih banyak mbak, saya permisi dulu, assalamu’alaikum”

“waa’laikum salam warahmatullahi wa barakatuh”

Hari telah senja matahari sebentar lagi, akan turun menuruni  cakrawala dan menenggelamkan diri di perut bumi.  Seperti biasa Tanri membantu Ibunya memotong sayuran tuk membuat gorengan, sehari ini tidak ada kata-kata banyak keluar dari mulut Ibunya. Kalaupun ada hanya sepatah-duapatah kata saja.  Hal ini semakin menjadikan rasa perih di dada Tanri semakin bertambah.

“mbok.. Tanri boleh ya ikut Mbak Mela ke Kalimantan ?”  Tak henti ia merengek sambil menarik ujung kain Ibunya. Sementara sang Ibu tak bergeming sama sekali.

“mbok di jawab to..!, Tanri kan pingin kayak mbak Mela yang sudah sukses di Kalimantan, apa mbok ndak seneng to lihat anaknya sukses, pulang lebaran bawa uang banyak”. Dicobanya terus merayu Ibunya.

“hhhhh..” sang Ibu menarik nafas panjang, guratan dan keriput  di wajahnya semakin tegang, seakan ada beban berat yang difikirkannya.

“pokonya tidak yo tidak koe ki kok ngeyel wae to.. wes kono ojo nggrusuhi Ibu dengan ocehanmu”. Setelah itu suasana hening tidak ada lagi percakapan antara mereka

Malam semakin larut Tantri semakin sulit terpejam, semakin dia fikirkan, semakin dia tidak bisa tidur, besok adalah hari terakhir Mbak Mela berada di desa ini. Masih ada kesempatan, otaknya berfikir keras bagaimana besok pagi dia harus berangkat bersama Mbak Mela ke Kalimantan.  Diam-diam telah tersusun sebuah rencana dalam benaknya, besok pagi dia akan mengendap-endap ke rumah keluar dari rumah dan tepat jam 6 pagi bersama mbak Mela berangkat menuju kota Surabaya kemudian melanjutkan penerbangan ke Kalimantan selatan. Secara reflek dia bangkit dari tempat tidur menyiapkan pakaian dan dikemasnya kedalam koper, hingga semua pakaian yang dianggap pantas menjejali kopernya yang kecil. Sebentar di helanya nafas lagi terlihat jelas kegamangan dalam hatinya.. perlahan matanya terpejam seiring dengan detak jantung dan detik jam didinding kamarnya.

Mentari sepertinya masih enggan menyembul karena saat ini masih jam 5 pagi namun Tanri telah siap dengan segala persiapannya.  Dilangkahkan kaki kanannya sambil berlari kecil kepalanya menengok kekiri dan kekanan, dilihat Ibunya sedang sholat subuh.

“ini kesempatan” hatinya berkata, keringat dingin keluar dari setiap porimya,

“ Mbok Tanri nyuwun ngapuro!”, hatinya menjerit keras, namun apa boleh buat tekadnya sudah bulat harus ada perubahan dalam hidupnya, kemudian secepat kilat dia berlari menuju pintu, dan semakin dipercepat larinya setelah dia keluar hingga tubuhnya tak terlihat di telan tebalnya kabut pagi Desa Ngantru.

---oo0oo---

“Pian hanyar kah disini?, ulun kada pinandu tu nah, asal pian dari mana Gerang ?” Tanri hanya tersenyum mendapat pertanyaan seperti itu,  sebab ia sama sekali tidak mengerti apa maksud pertanyan itu, sesampainya di Batu Licin, banyak sekali bahasa-bahasa aneh ditelinganya yang tidak dimengertinya.  Namun ia salut dengan keramahan orang Kalimantan, seperti pertanyaan tadi ia hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman, dan itu cukup untuk membalas keramahannya, karena ia fikir orang itu pasti akan faham bahwa dia tidak mengerti apa ayang ditanyakannya.

Tubuhnya terasa penat setelah menjalani perjalanan yang cukup jauh. Beruntung Mbak Mela menyediakan kamar di rumah kontrakkannya.  Rumah kontrakkan Mbak Mela begitu besar, di penuhi dengan perabotan yang mahal . 

“Pasti sewa rumah ini mahal sekali”

“kerja apa sih mbak Mela”

“ apa jabatannya dalam pekerjaannya”

Serentet pertanya memenuhi otaknya, hingga akhirnya di putuskan untuk tidak memikirkan itu lagi toh nanti dia tahu dengan sendirinya karena ia juga akan bekerja seperti mbak mela, dapat uang banyak, dapat mengirimkan kepada Ibunya, dan dapat pulang kampong dengan penampilan yang berbeda. Tidak seperti Tanri yang dulu, tanri yang lugu, tanri gadis desa yang lusuh, dan tidak memiliki kebanggaan apa-apa.

“Tanri ayo bangun kita siap-siap tuk masuk kerja!” Tantri tergagap karena letihnya tak terasa ia tidur sangat pulas.

“Sudah jam berapa mbak?”

“sebentar lagi isya”

“hah.. berarti lama sekali tanri tidur mbak jadi malu”

“ sudahlah namanya juga habis perjalanan jauh, sekarang cepat mandi tuh sudah mbak siapkan pakaianmu dan kita mulai bekerja, maklum aja ya kalo pakaiannya kurang pas karena mbak hanya mengira-ira saja”.

“wah terimakasih banyak mbak, mbak mela sudah sangat baik pada ku”

“ ahh.. sudah lupakanlah kitakan satu desa, sudah sepntasnya mbak mbantu kamu”

Tanri begitu bahagia di lihatnya tumpukan baju baru, juga beberapa aksesoris telah tertata di meja rias kamarnya, bagus-bagus bentuknya, semuanya bermerek yang banyak diklankan di tv-tv. Dicobanya kenakan sesetel baju yang berwarna unggu, namun setelah dikenakannya ia merasa risih baju ini terlalu terbuka dan menunjukkan jelas lekuk tubuhnya.  Kemudian di cobanya baju yang lain walaupun modelnya berbeda namun tetap saja membuatnya risih karena semua terlalu terbuka, tanri tidak terbiasa mengenakn baju seperti itu.  Akhirnya di kenakan pula baju yang terkahir “ ahh tak mengapa tak enak hatiku jika tidak makai baju pemberian mbak mela dia sudah begitu baik untukku”. Hatinya bergumam.

“Wah cantik sekali adik mbak ini” Suara mbak mela langsung meluncur ketika Tanri keluar dari kamarnya
“ahh… mbak jadi malu, tapi tanri risih mbak terlalu terbuka”

“nggak apa-apa Tan, disini di kota ini semua itu biasa, dan nanti kamu juga akan terbiasa.

---oo0oo---

Kejadian itu sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, masih jelas dalam ingatan Tanri bagaimana setelah itu dirnya  mulai pekerjaan. Yang sangat membuatnya syok, ternyata pekerjaan yang dimaksud Mbak Mela adalah sebagai PSK di Kapis sebuah komplek pelacuran yang letaknya dekat sekali dengan kota Batu licin.  Ia begitu syok saat pertama kali mengetahui jenis pekerjaanya hati kecilnya berontak, namun keinginan untuk merubah hidupnya begitu besar, hingga lama-kelamaan ia terbiasa dengan pekerjaan itu.

“hhhhh… “ dia coba gerakkan tubuhnya yang sangat susah untuk bergerak,  otot-otot tuanya sudah tidak sekencang dulu, saat dimana dia menjadi promadona kapis, benar.. kala itu baru beberapa bulan saja dia bekerja di kapis dirinya sudah naik daun begitu cepat banyak pelanggan yang tdak mau berpindah darinya, hingga ia menjadi primadona ratu lokasasi.

Itu dahulu berapa tahun yang lalu, ada butir embun bening dan hangat keluar dari sudut matanya, masih teringat bagaimana dia diminta oleh salah seorang pelanggannya untuk dinikahkan sebagai istri simpanan, hingga mengharuskan ia hijrah ke Jakarta, semuanya begitu indah, harta banyak mobil mewah selalu menemani kesehariannya..

sesak dada tanri jika mengingat itu. Semakin sesak bila teringat kesudahan akhirnya saat dirinya sudah tidak cantik lagi sang suami tidak lagi mengindahkanya, dirinya tercampakkan, hingga pada klimakanya saat sang suami meninggal dirinya terusir dan tidak mendapatkan hak waris sepeserpun karena pernikahan dianggap tak legal dimata hukum.

Hingga kini dirinya menjadi gelandangan dan pesakitan berteduh dalam rumah kardus di pinggir rel Lenteng Agung Jakarta Selatan, berteman kereta yang menjadi saksi segala kesedihan dirinya, tidak ada yang dapat mendengar keluh kesahnya, ia hanya dapat bicara dengan kereta yang setia datang dan pergi melewati depan rumah kardusnya.

Perlahan embun bening itu telah berubah menjadi tetesan air yang lebih besar, isakannyapun berubah menjadi tangisan, tangsan pilu seorang nenek tua renta mantan ratu lokalisasi.   Di dapati dirinya saat ini berbaring di atas tumpukan kardus didalam rumah yang juga terbuat dari kardus.  Terbayang wajah simbok yang hingga akhir hayatnya tidak dapat bertemu dengan anak yang dicintainya, tangisan itu terdengar lagi bahkan lebih keras dan lebih memilukan.

Hatinya merintih “maafkan aku mbok,,, maafkan aku,, aku telah banyak berbuat dosa pada mbok..maafkan aku “, Bahunya terguncang hebat isakannya semakin keras, seiring dengan rasa sesal yang semakin besar.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar … “ sayup sayup terdengar suara azan subuh.. hatinya tersentak baru didengarkan suara azan yang begitu merdu padahal setiap hari suara itu didengarnya, entah mengapa suara itu disubuh ini begitu merdu ditelinganya. Dan tangisannya kembali pecah karena tidak ingat lagi Tanri shalat yang terakhir dilakukannya, karena begitu lama ia tidak melakukannya.

Hatinya tergerak dan secara reflek menggerakkan anggota badannya untuk bangkit tujuannya satu yaitu mencari air untuk berwudhu, ahhh… begitu susah menggerakkan tubuh rentanya ini, kakinya tergetar tak kuat menopang berat badannya yang sebenarnya kurus, dicoba melangkahkan kakinya yang berat, dirinya hampir sampai menggapai pintu rumah kardusnya yang juga terbuat dari kardus, tinggal selangkah lagi.. namun dirasakan kakinya sudah sangat tidak kuat lagi, namun tekatnya sudah bulat tuk menunaikan sholat subuh, hingga akhirnya tubuhnya limbung jatuh terjerembab  diiringi dengan rasa kesakitan yang teramat sangat hanya sebentar setelahnya adalah gelap…

---oo000---

Suasana rel lenteng agung gempar karena ditemukan sesosok nenek tua yang telah menjadi mayat dalam gubuk kardusnya, tidak ada yang peduli dengannya, tidak ada upacara penguburan yang layak untuknya, hanya sekenanya sekedar menunaikan kewajiban penguburan, tidak ada yang menangisi dirinya, tidak ada yang merasa kehilangan dirinya…. Selamat tinggal Tanri ……


Tamat

Batu Licin 24 -08 2014

Sang Penetes Embun


Tidak ada komentar :

Posting Komentar