Gorengan-gorengan suara penjual
gorengan samar terdengar melewati
celah rumah kardus yang ditempatinya, diselingi gemuruh suara kereta seakan
saling berlomba memasuki gendang telinganya. Tubuh rentanya sudah sangat sulit utuk bergerak cepat,
padahal hati ingin membeli beberapa
gorengan untuk menganjal perut yang sedari pagi belum disinya. Perempuan renta itu tetap mencoba untuk bangun,
suara derit tikus yang ketakutan terdengar sesaat, kemudian sepi hanya terdengar
langkah-langkahnya yang lemah saat dia berjalan setengah terhuyung menuju pintu
rumah kardusnya yang juga terbuat dari kardus.
“Gorengan… gorengan..” suara yang terdengar tidak cukup keras
mengalahkan deru mesin kereta yang berlari di depan gubuknya.
“Gorengan..Gorengan.. sini mbak
beli gorengan” dicobanya mengeraskan volume suaranya namun mbak penjual
gorengan itu sudah hilang di belokan beberapa meter dari gubuknya.
Tubuhnya terhuyung kemudian terjerembab di balik pintu kardus yang
berdebu. Airmatanya yang sedari tadi dicobanya
untuk ditahan sudah tak dapat dibendung lagi hingga pecah membuncah mengaliri
sudut-sudut matanya yang keriput.
Semakin disadarinya keadaan sudah amat sangat berbalik, dahulu ia adalah
primadona Kapis, sebuah komplek pelacuran
yang terletak hanya beberapa kilometer saja disebelah utara Batulicin Ibukota tanah Bumbu Kalimantan
Selatan. Dan saat ini didapati dirinya menjadi tunawisma dan pesakitan yang
berkeliaran disepanjang rel kereta dibilangan Lenteng Agung Jakarta Selatan.
Tidak ada satupun orang yang menghargainya, tak ada satupun sanak atau
keluarga yang tahu keberadannya, ingatannya melayang berberapa puluh tahun
silam
---ooo0ooo---
“nduuk .. coba koe bantu mbok mu iki gorengen iwak iku”
teriakan Ibunya seolah lonceng yang memekakkan telinganya.
“simbok.. tanri lagi belajar nih, nanti saja ya mbok setelah tanri selesai
sekitar dua jaman lagi deh”
suruhan sang Ibu dijawab dengan
nada tinggi, padahal ia saat ini sedang berbaring di kamarnya asyik memandangi foto seorang pemuda dengan tanggan yang
mengelus-elus surat cinta berwana biru muda yang dikirim oleh pemuda itu.
“o.. ya sudah kalo begitu”
“iya mbok begitukan lebih baik”
Katanya seraya matanya masih saja menatap foto pemuda itu
“hh.. gagah benar sampean Suhendra, ndak bosen hatiku memandangi sampean”
Hatinya berbisik, diiringi sesekali dengan senyuman kasmaran, lalu dia
menarik nafas dalam dalam fikiran menerawang jauh hingga terlelap dengan senyum
tersungging.
Suasana pagi didesa Ngantru salah satu desa yang terdapat di Kabupaten
Tulung Agung Jawa Timur, begitu cerah secerah wajah-wajah para siswa dan siswi
SMA Bangun Bangsa mereka begitu ceria menyongsong pelajaran pagi ini. Namun kecerahan itu terganggu dengan adanya
keributan di samping kantin.
“koe kui ndak pantas jadi pendamping Mas Hendra koe gadis elek lan miskin,
ngaca dulu dong” suara Savitri begitu keras hingga terdengar memenuhi setiap
lorong kelas.
“hah.. koe tuh yang ndak pantas, harta orang tua saja di
bangga-banggain, kalo orang tuamu ndak kaya, koe juga miskin kayak aku”
Dengan teriakan pula tantri
menjawab, hatinya begitu sakit selalu dibilang anak orang miskin hingga tidak
berhak sekolah disini, juga tak berhak memiliki Suhendra pemuda idamannya. Sejurus kemudian percekcokan sengit tak dapat
dihindari mereka saling bantah, saling hardik, dan saling memaki, hingga
akhirnya bermura pada perkelahian fisik, anak-anak berkerumun disekitar mereka
ada yang berteriak-teriak ada yang berlompat-lompat suasana gaduh tak
terhindari lagi riuh rendah suaranya
“ayo.. Tantri hajar lagi, cakar lagi, terus..tri.”
“Wah savitri.. ayo masak kamu kalah sama tantri…”
Teriakan para supporter semakin membuat perkelahian itu semakin gila,
hingga pada puncaknya
“ sudaaaaaahhhhhh…. Berhenti semuaaaaaaa…..!!!!” sebuah teriaka yang
nyaring dan panjang terdengar , teriakan yang sangat khas dan sangat di kenal
oleh anak-anak bangun benua ya, teriakan
Bu Fatma sang kepala sekolah.
“Savitri, tanri ayoo,, sudah, sudah,.. !” perkelahian mendadak
terhenti
“tanri kamu itu nggak ada kapoknya ya bikin onar disekolah sini, kamu
tantri sehabis ini keruang saya ada surat untuk orang tuamu, dan kamu savitri
juga keruang saya !”
“Baik Bu, kemudian suasana menjadi hening sejalan dengan bubarnya
arena perkelahian itu.
---oo0oo---
Sedih dan marah sangat kentara pada raut wajah tua itu, bagaimana
tidak hasil pertemuan dengan kepala sekolah mengharuskannya bersedih. Hal ini karena anak kesayangannya harus
dikeluarkan dari sekolah, akibat pihak sekolah sudah merasa sangat kewalahan
membinanya. Berkali-kali Tanri membuat
kegaduhan, bolos pada jam pelajaran, berkelahi, bahkan tertangkap basah merokok
di toilet sekolah, hingga pada klimaknya perkelahian yang menghebohkan itu.
“Tanri… kalau sudah begini, apa yang akan kamu katakan?’, masih
diusahakannya bersabar menghadapi anak gadisnya yang baru tumbuh ini.
“katakan, Tanri apakah ini yang
kau mau, membuat nama baik keluarga kita tercemar, malu sibmok tri malu!”. Tanri hanya diam seribu bahasa menundukkan
wajahnya dalam-dalam.
“jaawaab!” nada sangat tinggi sudah tidak dapat dia tahan, tanri
tergagap tak mengira Ibunya akan semarah ini.
“ee..ii.. inggih Mbok, Tanri mohon ampun, Tanri minta maaf” dengan
sangat terisak Tanri memohon dan mengiba pada Ibunya. Ibunya yang biasanya ramah dengan senyum yang
terus mengembang kini sedang marah besar, marah yang sama sekali tidak
diduganya.
“maaf mbok.. maaf Mbok sudah berapa kali koe bilang itu nduk, hasilnya
mana?, habis maaf kamu melakukan lagi, iyo to..?”. Tanri makin menciut, semakin
dalam wajahnya tertunduk.
Duuaar.!! suara meja di pukul keras semakin membuat hati tanri
Tergetar, isakannya telah berubah menjadi tangisan, tangisan penyesalan yang teramat
sangat.
“ngomong tri.. ngomong.. !”
“inggih mbok tanri,… sekali lagi tanri minta maaf dan berjanji tidak
terulang lagi” dicobanya untuk bicara disela tangisannya yang sudah tak dapat
terbendung lagi.
“ya sudah sana kamu mandi dan renungkan kejadian ini, juga renungkan
kata-kata Ibumu!”
“inggih mbok” kemudian dirinya beringsut pergi.
Malam semakin larut suasana kelam malam Desa Ngantru, sangat terasa
dingin menggigit seakan sampai ketulang, semakin membuat penduduk desa ini
enggan untuk keluar. Namun kelam malam ini
masih kalah kelam suasana hati Tanri, ia gundah sejak diberhentikan dari
sekolahnya. Hari-hari dilalui begitu membosankan. Setiap hari ia hanya membantu Ibunya membuat
gorengan, mengiris ubi, memotong kol, dan sesekali membantu menggoreng, sungguh
rhytme hidup yang monoton dan membosankan.
Hatinya berontak, harus ada perubahan, perasaan itu semakin besar, apalagi
setelah dilihatnya si Mela anak Mbok Satiyem yang baru pulang dari Kalimantan.
Tampaknya dia berhasil mengadu nasib di sana, pulang dengan oleh-oleh yang
banyak dan mahal, berpakaian yang bagus dan dia tampak beda tampak cantik
sekali.
“hhh… “. Entah sudah berapa
kali helaan nafas disela-sela kegamanganya.
Matanya sangat sulit terpejam. “hhh… aku harus menemuinya, harus!, ya…
aku harus menemui mbak Mela dan minta padanya untuk mengajak aku ke Kalimantan,
aku juga ingin seperti dia”, hatinya bergumam.. sejurus kemudian matanya terpejam
sementara hatinya tetap dalam kegundahan.
---oo0oo---
“assalamu’alaikum..” Tanri mengeraskan suaranya, saat ini dirinya tepat
didepan pintu Rumah Mbak Mela
“wa’alaikum salam..” terdengar
suara lembut mbak Mela dari dalam rumah.
Rumah mbak Mela sudah nampak berubah, yang terbuat dari kayu sekarang
sudah di beton asri sekali dengan taman yang hijau dan sejuk dimata.
“wah.. dek Tanri to, angin apa ini yang membuatmu dating kesini?, ayo
cepat masuk!” Mbak Mela masih seperti dulu ramah dan lembut
“iya.. Mbak, ndak ada apa-apa mbak, tanrikan denger katanya mbak lagi
ada di sini, makanya tanri kesini sudah kengen juga hamper lima tahunan
mungkin ya kita ndak ketemu?”.
“iya tan, lama juga ya nggak terasa, iya mbak sudah dua hari datang
dari Kalimantan”. selama mbak Mela berbicara tak jemu-jemunya Tanri memandang
wajahnya, tampak sekali berubah terlihat lebih muda dan cantik, apalagi
penampilannya serenceng gelang emas di pergelangan tangan kanannya, dan
selingkar cincin batu berlian ungu berikat emas putih di jari manis tangan
kirinya, menambah sempurna kecantikannya.
“Tan..Tanri, kenapa kok bengong?, lagi ada masalah ya?, sini bilang
embak kalao kamu ada kesulitan
Tanri tergagap memang dia sangat terkesima melihat penampilan Mbak
Mela
“eh..hh.. nggak Mbak nggak ada apa-apa, emangnya mbak kalmantannya di
mana?”
“mbak di Batu licin Tan, salah satu Ibukota kabupaten di Kalimantan
selatan”
“bagaimana kondisinya Mbak, enakkah disana?”
“ enak kok Tan, sama aja kayak disini, disana juga banyak orang jawa,
dari kota kita ini tulung agung juga banyak di sana Tan”
‘o.. mbok ajak-ajak saya to mbak, seriusnih”
“bener nih tan, kan kamu masih sekolah?”
“sudah tidak lagi mbak, makanya tanri mau cari kerja aja”. Beberapa
saat kemudian diceritakannyalah bahwa dirinya di keluarkan dari sekolah dan
saat ini sangat bosan dirumah dan ingin perubahan.
“o.. ya sudah kalau mau ikut minggu depan aku kembali lagi kesana,
kamu siap-siap, pagi pagi lo karena pesawatnya tengah hari!”
“bener nih mbak.?”
“iya bener, masak mbak bohong sih?
“terimakasih-mbak, terimakasih banyak”, Tanri begitu senang harapannya
membuncah ingin merubah hidup, bosan rasanya mengenyam kemiskinan sejak dia
dilahirkan.
“ ya sudah terimakasih banyak mbak, saya permisi dulu,
assalamu’alaikum”
“waa’laikum salam warahmatullahi wa barakatuh”
Hari telah senja matahari sebentar lagi, akan turun menuruni cakrawala dan menenggelamkan diri di perut
bumi. Seperti biasa Tanri membantu
Ibunya memotong sayuran tuk membuat gorengan, sehari ini tidak ada kata-kata
banyak keluar dari mulut Ibunya. Kalaupun ada hanya sepatah-duapatah kata
saja. Hal ini semakin menjadikan rasa
perih di dada Tanri semakin bertambah.
“mbok.. Tanri boleh ya ikut Mbak Mela ke Kalimantan ?” Tak henti ia merengek sambil menarik ujung
kain Ibunya. Sementara sang Ibu tak bergeming sama sekali.
“mbok di jawab to..!, Tanri kan pingin kayak mbak Mela yang sudah
sukses di Kalimantan, apa mbok ndak seneng to lihat anaknya sukses, pulang
lebaran bawa uang banyak”. Dicobanya terus merayu Ibunya.
“hhhhh..” sang Ibu menarik nafas panjang, guratan dan keriput di wajahnya semakin tegang, seakan ada beban
berat yang difikirkannya.
“pokonya tidak yo tidak koe ki kok ngeyel wae to.. wes kono ojo
nggrusuhi Ibu dengan ocehanmu”. Setelah itu suasana hening tidak ada lagi
percakapan antara mereka
Malam semakin larut Tantri semakin sulit terpejam, semakin dia fikirkan,
semakin dia tidak bisa tidur, besok adalah hari terakhir Mbak Mela berada di
desa ini. Masih ada kesempatan, otaknya berfikir keras bagaimana besok pagi dia
harus berangkat bersama Mbak Mela ke Kalimantan. Diam-diam telah tersusun sebuah rencana dalam
benaknya, besok pagi dia akan mengendap-endap ke rumah keluar dari rumah dan
tepat jam 6 pagi bersama mbak Mela berangkat menuju kota Surabaya kemudian
melanjutkan penerbangan ke Kalimantan selatan. Secara reflek dia bangkit dari
tempat tidur menyiapkan pakaian dan dikemasnya kedalam koper, hingga semua
pakaian yang dianggap pantas menjejali kopernya yang kecil. Sebentar di helanya
nafas lagi terlihat jelas kegamangan dalam hatinya.. perlahan matanya terpejam
seiring dengan detak jantung dan detik jam didinding kamarnya.
Mentari sepertinya masih enggan menyembul karena saat ini masih jam 5
pagi namun Tanri telah siap dengan segala persiapannya. Dilangkahkan kaki kanannya sambil berlari
kecil kepalanya menengok kekiri dan kekanan, dilihat Ibunya sedang sholat
subuh.
“ini kesempatan” hatinya berkata, keringat dingin keluar dari setiap
porimya,
“ Mbok Tanri nyuwun ngapuro!”, hatinya menjerit keras, namun apa boleh
buat tekadnya sudah bulat harus ada perubahan dalam hidupnya, kemudian secepat
kilat dia berlari menuju pintu, dan semakin dipercepat larinya setelah dia
keluar hingga tubuhnya tak terlihat di telan tebalnya kabut pagi Desa Ngantru.
---oo0oo---
“Pian hanyar kah disini?, ulun kada pinandu tu nah, asal pian dari
mana Gerang ?” Tanri hanya tersenyum mendapat pertanyaan seperti itu, sebab ia sama sekali tidak mengerti apa maksud
pertanyan itu, sesampainya di Batu Licin, banyak sekali bahasa-bahasa aneh
ditelinganya yang tidak dimengertinya. Namun
ia salut dengan keramahan orang Kalimantan, seperti pertanyaan tadi ia hanya menjawab
dengan anggukan dan senyuman, dan itu cukup untuk membalas keramahannya, karena
ia fikir orang itu pasti akan faham bahwa dia tidak mengerti apa ayang
ditanyakannya.
Tubuhnya terasa penat setelah menjalani perjalanan yang cukup jauh. Beruntung
Mbak Mela menyediakan kamar di rumah kontrakkannya. Rumah kontrakkan Mbak Mela begitu besar, di
penuhi dengan perabotan yang mahal .
“Pasti sewa rumah ini mahal sekali”
“kerja apa sih mbak Mela”
“ apa jabatannya dalam pekerjaannya”
Serentet pertanya memenuhi otaknya, hingga akhirnya di putuskan untuk
tidak memikirkan itu lagi toh nanti dia tahu dengan sendirinya karena ia juga
akan bekerja seperti mbak mela, dapat uang banyak, dapat mengirimkan kepada
Ibunya, dan dapat pulang kampong dengan penampilan yang berbeda. Tidak seperti
Tanri yang dulu, tanri yang lugu, tanri gadis desa yang lusuh, dan tidak
memiliki kebanggaan apa-apa.
“Tanri ayo bangun kita siap-siap tuk masuk kerja!” Tantri tergagap
karena letihnya tak terasa ia tidur sangat pulas.
“Sudah jam berapa mbak?”
“sebentar lagi isya”
“hah.. berarti lama sekali tanri tidur mbak jadi malu”
“ sudahlah namanya juga habis perjalanan jauh, sekarang cepat mandi
tuh sudah mbak siapkan pakaianmu dan kita mulai bekerja, maklum aja ya kalo
pakaiannya kurang pas karena mbak hanya mengira-ira saja”.
“wah terimakasih banyak mbak, mbak mela sudah sangat baik pada ku”
“ ahh.. sudah lupakanlah kitakan satu desa, sudah sepntasnya mbak
mbantu kamu”
Tanri begitu bahagia di lihatnya tumpukan baju baru, juga beberapa
aksesoris telah tertata di meja rias kamarnya, bagus-bagus bentuknya, semuanya
bermerek yang banyak diklankan di tv-tv. Dicobanya kenakan sesetel baju yang
berwarna unggu, namun setelah dikenakannya ia merasa risih baju ini terlalu
terbuka dan menunjukkan jelas lekuk tubuhnya.
Kemudian di cobanya baju yang lain walaupun modelnya berbeda namun tetap
saja membuatnya risih karena semua terlalu terbuka, tanri tidak terbiasa
mengenakn baju seperti itu. Akhirnya di
kenakan pula baju yang terkahir “ ahh tak mengapa tak enak hatiku jika tidak
makai baju pemberian mbak mela dia sudah begitu baik untukku”. Hatinya bergumam.
“Wah cantik sekali adik mbak ini” Suara mbak mela langsung meluncur
ketika Tanri keluar dari kamarnya
“ahh… mbak jadi malu, tapi tanri risih mbak terlalu terbuka”
“nggak apa-apa Tan, disini di kota ini semua itu biasa, dan nanti kamu
juga akan terbiasa.
---oo0oo---
Kejadian itu sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, masih jelas dalam
ingatan Tanri bagaimana setelah itu dirnya mulai pekerjaan. Yang sangat membuatnya syok,
ternyata pekerjaan yang dimaksud Mbak Mela adalah sebagai PSK di Kapis sebuah
komplek pelacuran yang letaknya dekat sekali dengan kota Batu licin. Ia begitu syok saat pertama kali mengetahui
jenis pekerjaanya hati kecilnya berontak, namun keinginan untuk merubah
hidupnya begitu besar, hingga lama-kelamaan ia terbiasa dengan pekerjaan itu.
“hhhhh… “ dia coba gerakkan tubuhnya yang sangat susah untuk bergerak,
otot-otot tuanya sudah tidak sekencang
dulu, saat dimana dia menjadi promadona kapis, benar.. kala itu baru beberapa
bulan saja dia bekerja di kapis dirinya sudah naik daun begitu cepat banyak
pelanggan yang tdak mau berpindah darinya, hingga ia menjadi primadona ratu
lokasasi.
Itu dahulu berapa tahun yang lalu, ada butir embun bening dan hangat
keluar dari sudut matanya, masih teringat bagaimana dia diminta oleh salah
seorang pelanggannya untuk dinikahkan sebagai istri simpanan, hingga
mengharuskan ia hijrah ke Jakarta, semuanya begitu indah, harta banyak mobil
mewah selalu menemani kesehariannya..
sesak dada tanri jika mengingat itu. Semakin sesak bila teringat kesudahan
akhirnya saat dirinya sudah tidak cantik lagi sang suami tidak lagi mengindahkanya,
dirinya tercampakkan, hingga pada klimakanya saat sang suami meninggal dirinya
terusir dan tidak mendapatkan hak waris sepeserpun karena pernikahan dianggap tak
legal dimata hukum.
Hingga kini dirinya menjadi gelandangan dan pesakitan berteduh dalam
rumah kardus di pinggir rel Lenteng Agung Jakarta Selatan, berteman kereta yang
menjadi saksi segala kesedihan dirinya, tidak ada yang dapat mendengar keluh
kesahnya, ia hanya dapat bicara dengan kereta yang setia datang dan pergi
melewati depan rumah kardusnya.
Perlahan embun bening itu telah berubah menjadi tetesan air yang lebih
besar, isakannyapun berubah menjadi tangisan, tangsan pilu seorang nenek tua
renta mantan ratu lokalisasi. Di dapati
dirinya saat ini berbaring di atas tumpukan kardus didalam rumah yang juga
terbuat dari kardus. Terbayang wajah
simbok yang hingga akhir hayatnya tidak dapat bertemu dengan anak yang dicintainya,
tangisan itu terdengar lagi bahkan lebih keras dan lebih memilukan.
Hatinya merintih “maafkan aku mbok,,, maafkan aku,, aku telah banyak
berbuat dosa pada mbok..maafkan aku “, Bahunya terguncang hebat isakannya
semakin keras, seiring dengan rasa sesal yang semakin besar.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar … “ sayup sayup terdengar suara azan
subuh.. hatinya tersentak baru didengarkan suara azan yang begitu merdu padahal
setiap hari suara itu didengarnya, entah mengapa suara itu disubuh ini begitu
merdu ditelinganya. Dan tangisannya kembali pecah karena tidak ingat lagi Tanri
shalat yang terakhir dilakukannya, karena begitu lama ia tidak melakukannya.
Hatinya tergerak dan secara reflek menggerakkan anggota badannya untuk
bangkit tujuannya satu yaitu mencari air untuk berwudhu, ahhh… begitu susah
menggerakkan tubuh rentanya ini, kakinya tergetar tak kuat menopang berat
badannya yang sebenarnya kurus, dicoba melangkahkan kakinya yang berat, dirinya
hampir sampai menggapai pintu rumah kardusnya yang juga terbuat dari kardus, tinggal
selangkah lagi.. namun dirasakan kakinya sudah sangat tidak kuat lagi, namun
tekatnya sudah bulat tuk menunaikan sholat subuh, hingga akhirnya tubuhnya
limbung jatuh terjerembab diiringi
dengan rasa kesakitan yang teramat sangat hanya sebentar setelahnya adalah gelap…
---oo000---
Suasana rel lenteng agung gempar karena ditemukan sesosok nenek tua
yang telah menjadi mayat dalam gubuk kardusnya, tidak ada yang peduli
dengannya, tidak ada upacara penguburan yang layak untuknya, hanya sekenanya
sekedar menunaikan kewajiban penguburan, tidak ada yang menangisi dirinya,
tidak ada yang merasa kehilangan dirinya…. Selamat tinggal Tanri ……
Tamat
Batu Licin 24 -08 2014
Sang Penetes Embun
Tidak ada komentar :
Posting Komentar