Jumat, 24 Juli 2009

Jundi Kecilku

Pengunjung budiman, berikut aku posting kembali sebuah karya sastra, cerpen karya r_khansa yang berjudul Jundi Kecilku, selamat menikmati dan mengambil pelajaran dari padanya


Jundi Kecilku

By : r_khansa

“Oa… oa….”

Rasa sakit di sekujur tubuhku langsung sirna mendengar jeritan nyaring itu. Jundi kecilku telah lahir dengan selamat.

“Alhamdulillah,” syukurku. Kulihat sekilas sosok mungil itu dibawa dan diazankan terlebih dulu.
Rasanya aku ingin beristirahat meregangkan otot-ototku yang telah menegang. Sejenak saja… sejenak saja.
@@@

“Namanya Ahmad Ainul Ilmy,” jawabku atas pertanyaan tetangga di rumah baruku itu.

“Subhanallah… nama yang bagus,” tanggapnya. Aku pun tersenyum mendengarnya. Itu harapanku.

“Tentu berat membesarkan seorang anak tanpa didampingi sang suami,” ujarnya sambil menyingkap sedikit gorden yang menutup jendela rumah kami. Cahaya matahari yang masih lembut pun menyusup ke dalam ruangan.

Kutatap jundi kecilku yang tetap terlelap dengan damai. Ada kehangatan yang menyelemuti batinku saat menatapnya. Sementara itu tak ada dialog lagi antara kami. Yang ada hanyalah sunyi.

“Maaf… saya malah membuka luka yang sudah tertutup,” ujarnya memecah keheningan.

Aku terdiam, mengambil waktu untuk berpikir, kemudian mencoba mengangkat suara, “Kullu nafsin dzaaiqatul maut.” Aku berusaha menahan genangan air mata di pelupuk mataku yang nyaris jatuh lalu kembali mengangkat suara, “Tidak apa-apa. Sudahlah. Tak usah dipikirkan! Lagipula, Allah akan tetap bersama kami, Insya Allah, amin.”

“Semoga mendapat pengganti yang lebih baik lagi ya, Neng,” doanya. Aku kembali tersenyum. Sudah, Bu. Aku sudah dapatkan penggantinya, yaitu si mungil ini.
@@@

Jundi kecilku mulai berjalan. Sesekali ia terjatuh, bahkan hampir-hampir ia menangis. Namun, dengan semua dukungan dan penyemangat dariku, ia melangkah lagi dan lagi. Begitu tiba di hadapanku ia tersenyum dengan manis dan tertawa sambil sesekali terjatuh memeluk kakiku. Kadang dengan merangkak, kadang berguling, atau bahkan terkadang ia berjalan pelan-pelan, ia menghampiriku yang tengah beraktivitas.

“BRUK!” lagi-lagi ia terhampar ke lantai. Aku yang sedang membuat makan siangnya segera menoleh ke arah sumber suara. Kulihat jundi kecilku tengah berguling-guling di atas tikar –tampaknya ia mencoba menarik perhatianku— lalu tertawa.

“Anak bandel!” ujarku geram dengan nada sayang, “mencoba menipu ummi dengan suara jatuhmu, ya?”

Aku tersenyum, ia tertawa. Tawa yang polos mirip tawa seseorang. Mirip sekali. Mirip…
Kupalingkan mukaku dari sosok mungil itu. Aku khawatir ia tahu aku tengah menangis sebab ia pun akan ikut menangis. Kususut air mataku dan cepat-cepat menyajikan santapan untuk jundi kecil yang tetap setia menungguku. “Saatnya makan, Ahmad.”

Kuusap seluruh makanan yang belepotan di mukanya. Tampaknya ia sangat kelaparan. Dengan semangat ia memegang sendok yang terlalu besar untuk ukuran tangannya dan sambil bergetar menyuapkannya sendiri ke mulut. Setelah beberapa saat ia berhenti lalu melihat ke arahku dan memandangku seolah bertanya, “Ummi udah makan?” Ia mengambil sesendok buburnya dan hendak menyuapkannya ke dalam mulutku.

Aku menggeleng. “Ummi sudah kenyang kok liat jundi kecil ummi yang lagi makan,” ujarku sambil mengelap mulutnya yang masih belepotan.
@@@

Dengan rasa gelisah campur takut aku menekan tuts telepon di hadapanku. Sambil terus menahan kegugupanku, dengan gemetar kutekan tuts terakhir.

“Halo?” sapa suara di seberang sana.

“Ma, ini Maria, Ma,” ucapku setengah berbisik. Perasaanku pun berpendar.

“Maria, kamu kemana saja, Nak? Kamu dimana sekarang?” tanya suara lembut itu, “mengapa kamu tidak pulang saja setelah suamimu meninggal?”

“Ma, bagaimana kabar semuanya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil terus mengendalikan semua suara yang berkecamuk dalam hatiku.

“Baik. Semuanya baik-baik saja. Adikmu sudah sarjana dan ayahmu tetap aktif di misinya,” jelas mama, “kapan kamu pulang? Kami menunggumu dan anakmu…”

“Tuut…tuut….” Tiba-tiba bunyi itu terputus. Entah karena kartu teleponku yang sudah habis pulsanya atau karena seseorang sudah memutuskan kabelnya di seberang sana.

Aku menghela napas pelan. Aku harus pulang sebelum Leni yang kutitipi Ahmad kerepotan. Aku harus pulang sebelum Ahmad menangis karena lama tak menemukanku. Bagaimanapun juga aku harus pulang, tapi tidak ke rumah itu sebab bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan aqidahku dan terutama aqidah jundi kecilku.
@@@



Sudah tiga hari jundi kecilku sakit. Badannya panas sekali. Ada sekitar tiga-empat orang yang menjenguknya setiap hari baik tetangga atau teman SDnya. Hari ini untuk ketiga kalinya Leni yang paling rajin menjenguk datang lagi ke rumah.

“Gimana kabar si cakep, Mi?” tanyanya.

“Panasnya sudah agak turun, tapi ia tetap mengigau,” jawabku, “maaf ya, untuk sementara privatnya diliburkan dulu.”

“Yang itu mah jangan dipikirin, Mi! Ummi sendiri jadi kelihatan semakin kurus. Nah, jadi Ummi perhatiin aja dulu kesehatan Ummi sendiri,” sarannya.

“Iya, Mi. Nyantai aja lagi kita-kita mah ga privat juga. Ntar, kalau Ummi yang sakit, kan kita malah yang repot,” tambah Hesti.

Aku tersenyum. Bagiku mereka adalah hiburan yang berharga. Mereka adalah saudari-saudariku yang masih belia. Meskipun aku tidak mengajar mereka sejak Ahmad sakit, mereka tetap membayar uang lelahku. Untuk biaya pengobatan Ahmad, kata mereka.

“Mana Euis dan Siti?” tanyaku.

“SMA mereka ada acara gitu, Mi. Jadi, mereka mau bantu bikin dekorasi ruangan buat acara nanti,” jelas Hesti.

Pembicaraan kami pun meluas. Dari satu topik ke topik yang lain. Beberapa lama kemudian mereka pun pamit bersamaan.

“Ummi… ummi…,” panggil Ahmad dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Ada apa, Ahmad? Ummi di sini,” ucapku, juga dengan nada lemah. Sudah hampir tiga hari ini aku tidak cukup makan dan istirahat.

“Ummi, kepala Ahmad sakit. Sakit, Mi,” ujarnya.

Kupandangi ia dengan penuh kasih sayang. Maafkan Ummi, sayang. Ummi tak bisa apa-apa.

“Ummi, Ahmad jadi pengen ketemu ayah, Mi. Bisa ketemu tidak, Mi?” tanyanya polos dengan nada suara yang semakin melemah.

Mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut jundi kecilku itu, aku tak bisa menahan air mataku jatuh. Aku menangis sesenggukan.

“Ummi, kenapa? Jangan menangis, Mi!” ujar Ahmad, “nanti kalau Ahmad bisa ketemu ayah, Ahmad sampaikan salam Ummi.”

Aku mengengguk-angguk sambil terus menahan nyeri di dadaku. “Iya, Ahmad. Iya,” bisikku menenangkan.
@@@

Ya Rabb,
Segala puji bagi Engkau yang telah mengenalkanku iman
Tanpa ia, aku tak sanggup menata hidup seindah ini
Tanpa ia, tentu aku akan mengambil jalan putus asa

Ya Rabb,
Shalawat tetap tercurah kepada Muhammad saw, penyampai risalah ini
Kuharap darinya syafaat di hari nanti
Kuharap aku bagian dari air mata cintanya

Ya Rabb,
Aku hanya hamba-Mu, tak kurang dan tak lebih
Kuadukan segala kelemahanku, kubeberkan semua kelalaianku
Aku mengetuk pintu rahmat-Mu, memohon cinta-Mu

Kasihilah jundi kecilku… jangan Kau buat kesakitannya lebih lama lagi! Ia buah hatiku, tapi demi Engkau, Kaulah cinta pertamaku. Seandainya Kau membutuhkannya, maka tegakkanlah ia di jalan-Mu! Namun, seandainya Kau berkehendak untuk mengambilnya, maka janganlah lama-lama kau cederai ia! Ia hamba-Mu dan aku hamba-Mu. Aku pun menderita ketika ia menderita

Ya Rabb, aku adalah seorang ibu: pengasih bagi anaknya
Dan Engkau adalah Pencipta: Pengasih bagi ciptaannya
Aku menagih janji-Mu
kasih-Mu lebih kasih dari kasih seorang ibu kepada anaknya
kasih-Mu mengalahkan murka-Mu

Maafkan hamba-Mu ini… jangan Kau dera aku sebegini pahit! Aku lari, sungguhpun tanpa sesuatu serta, hanya tangan hampa, selain dengan harapanku pada-Mu. Seandainya Kau masih membutuhkanku untuk jundi kecilku, maka kuatkanlah aku tegak di jalan-Mu! Namun, seandainya Kau memilihku di sisi-Mu, maka gantikanlah jundi kecilku wali yang lebih baik dariku, yaitu Engkau Sebaik-baik Pemelihara. Aku hamba-Mu dan ia hamba-Mu. Perasaanku terpelihara ketika Kau memeliharanya.
@@@

Malam itu aku berbicara empat mata dengan Nita, sepupu almarhum suamiku dari pihak ayahnya. “Kamu tak keberatan kutitipi dia?” tanyaku meminta jawaban tegas darinya.

“Insya Allah,” jawabnya melegakanku, “dia adalah titipan Mas Irvan yang terakhir. Aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri.”

Aku memeluk Nita dengan haru. Betapa Allah menyayangi setiap hamba-Nya. Aku menemukan jalan keluar setelah menemukan masalah. “Terima kasih, Nita. Hanya Allah yang akan membalas semua kebaikanmu,” ucapku.

Nita memandangku dengan mata yang basah. Kami pun berpelukan dan menghamburkan air mata yang dari tadi menyesakkan dada. “Mbak, cobalah dulu terapinya! Setidaknya masih bisa memperpanjang umur,” sarannya untuk kesekian kalinya.

Aku memandang wajah ayu itu kemudian menggeleng pelan. “Yang memperpanjang umur itu hanya Allah, Nit. Lebih baik dana yang ada kuberikan kepadamu untuk memperbesar usaha suamimu. Dengan begitu, Ahmad pun akan mendapat bagiannya,” jelasku. Sekali lagi kami berpelukan. “Maaf, aku selalu merepotkanmu. Maaf…”
@@@

“Ummi, cepat sembuh, ya!” ujar Ahmad sambil memijat kakiku.

“Ahmad, jangan urus Ummi saja. Cepat menghapal sana! Besok kan kamu ada UAN?” ujarku membelokkan pembicaraan.

Ia menampilkan ekspresi usilnya dan dengan tenangnya ia menjawab, “Tenang, Mi! Insya Allah SMA favorit di tangan.”

Aku tersenyum. Jundi kecilku kini sudah besar. Banyak prestasi yang telah diraihnya, salah satunya adalah olimpiade sains tingkat SMP. Karena ia sudah maju ke tingkat nasional, surat rekomendasi ke sekolah impiannya diterima dengan mudah. Berarti tinggal beberapa saat lagi…

“Mi… Ummi… wah sudah terlelap padahal Ahmad belum memperlihatkan surat sakti ini. Hehehe, Ummi pasti senang apalagi kalau sekarang Ahmad belajar,” ujarnya sementara aku tetap pura-pura memejamkan mataku dengan rapat.

“Mi… wah, tidur beneran! Ya udah, Ahmad belajar, deh!”

Dalam hati aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu itu. Kubuka mataku pelan; ia sudah meninggalkan kamarku. Setelah agak lama, kulangkahkan kakiku yang sedikit ngilu itu keluar. Kulihat ia sedang terbaring di lantai dengan buku-buku yang terbuka di sekelilingnya. “Kok ikhwan berantakan?” Kuusap kepalanya.

“Tanpa berantakan tak ada belajar, Mi!” ujarnya tiba-tiba bangun.

Aku agak terkejut. “Ya Ampun, ni anak bisanya hanya menggoda Ummi!” ujarku sambil mengacak-acak rambutnya.

“Habis Ummi tidur terus. Ahmad jadi khawatir,” ujarnya.

“Orang tidur apanya yang harus dikhawatirkan? Aneh kamu!”

Dia terdiam sesaat dan akhirnya mengangkat suara, “Ummi, jangan buat Ahmad sendirian, ya!”

Aku sedikit terpukul mendengarnya. Kenapa kau katakan itu? “Tidak. Kita tak pernah sendirian. Ada Allah dimanapun kita berada,” nasihatku padanya.

“Ahmad, kamu ingin menjadi jundullah seperti ayah, kan?” tanyaku. Ia mengangguk. “Jangan putus asa menghadapi apapun! Cintailah Allah dan Rasul-Nya melebihi apapun!”

“Melebihi Ummi juga?”

“Iya. Melebihi apapun dan siapapun.”

“Ahmad akan berusaha!”

“Nah, itu baru anak Ummi. Ummi pegang lho janjimu itu.”

“Nah juga, Ummi lekas istirahat! Jangan duduk di lantai dingin! Biar nanti Tante Nita yang mau kesini sama Ahmad yang masak makan malam.”

Aku pun beranjak dari tempat itu. Aku memang perlu istirahat agak lama, ah tidak, maksudku istirahat sampai “hari itu” tiba.


6 komentar :

  1. Subhanallah, bisa jadi itu semua merupakan ujian dan amanat dari Allah SWT karena sayangnya Dia pada antum:) Semoga diberi kelancaran dalam setiap hal ya:)

    BalasHapus
  2. terharu membacanya... nice story...

    BalasHapus
  3. salam sobat ,,ikut terhanyut baca cerpen ini,,kasihan jundi kecil,AHMAD, dan salut sama umminya,,yang sabar dan tabah.

    BalasHapus
  4. semoga bisa memetik manfaat dr cerita yg menggugah ini...terimakasih.

    BalasHapus
  5. Trimakasih komentarnya...tuk sobat semua semoga banyak hikmah dari cerpen ini yang dapat dijadikan salah satu sumber inspirasi..

    BalasHapus
  6. Subhanaallah . , keren banget cerpennya. Sampek merinding saya bacanya. .

    BalasHapus