Rabu, 28 April 2010

bergetar hati sewaktu menulis ini

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Sahabat Pengunjung Saung Hijau Pawewet yang berbahagia

Postingan kali ini, pawewet ingin membahas sebuah karya sastra, rentetan puisi sarat makna dari penulis paling fenomenal di negeri ini WS RENDRA. Puisi ini pawewet dapatkan dari salah seorang sahabat via email, terimakasih Pak Mijo atas kiriman e-mailnya dan izinkan pawewet membahasnya ya..

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali,

kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
Seolah ...
semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"

(WS Rendra).

======================================================
Siapa yang tak kenal penulis legendaris negeri ini, karyanya sangat penuh nuansa warna bak pelangi membelah katulistiwa, kadang setenang biru, tak jarang lebut dan sesuci putih, bahkan dapat bergelora,menyala secerah merah.
begitulah karya-karya Beliau penuh warna, takjarang membuat mata ini terbelalak akibat terkesima. Salah satu contoh adalah puisi ini.

Puisi yang sangat ganteng, dengan bentuk rangkaian diksi yang tersusun apik, dan membentuk rangkaian kalimat yang sarat nilai.

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Dua paragraf pertama sang maestro mencoba menggiring kita para pembacanya, akan benturan dua sisi yang berlawanan sering kita berkata bahkan sangat enteng bahwa semua harta, istri,. anak hanyalah titipan dariNYA. namun kita tak pernah bertanya mengapa Dia menitipkannya pada kita,untuk apa, dan bagaimana kita bersikap atas titipannya ini.

Sungguh pembaca sekan dihujani dengan pertanyaan berbobot, to the point, dan dipaksa untuk merenung suatu nilai yang maha tinggi.

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali,

Jika ini hanya titipan mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali olehnya,..? ada butiran hangat mengalir dan terbendung disudut mata pawewet ketika harus menuliskan ini,...mengapa justru sangat berat melepaskan apa yang telah ditipkanNYA pada kita padahal yangmengambil adalah sang penitip..?

Air mata seakan hendak tumpah manakala membaca bait-bait berikutnya

kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

kutarik nafas dalam-dalam menahan selaksa gejolak dalam dada,...kusebut sebagai musibah, ujian, petaka padahal titipan itu diambil oleh yang menitipkan,...Rabbi..ampunilah hambaMU ini,...yang sangat melampaui batas,..padahal kataku keredhaanMU adalah tujuan hidupku,..mengapa aku tak redha manakala kau akan ambil semua itu..??

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
Seolah ...
semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Tak kuasa lagi aku membahas bait-bait berikutnya,...sungguh bagai palu godam menotok relung jiwa terdalam,..coba simak bait diatas ketika bardoa kita minta yang cocok dengan hawa nafsu kita,...padahal firmanNYA tidak slamanya yang baik menurutmu adalah baik menurut Allah, dan tidak selamanya yang buruk menurutmu adalah buruk pula menurut Allah sungguh sangat lancang kita mendekte DIA, sekehendak kemauan kita.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

tumpah sudah air mata ini,..membasahi tut-tut komputerku,....apakah telah kubuat Tuhanku sebagai mitra dagang kubuat DIA agar membalas perlakuan baikku dan menolak keputusanNYA yang tidak sesuai dengan keinginanku...

padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

dalam tiap shalatku, sehari semalam beberapa kali kuucapkan itu,..

dan pada akhirnya penulis ingin menancapkan dengan kokoh suatu nilai bahwa "ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja" ya sama saja semua itu adalah keredhaan dariNYA, dan kita juga harus redha akan itu

Rodhitu billahi rabba, wabil Islamadina, wabi Muhammadinnabiyawarasulla

Rabbi tancapkan nilai itu dengan kokoh pada dadaku, sehingga aku redha akan setiap keputusanMU..

Alhamdulillahirabbil Alamiin

Pawewet

2 komentar :

  1. Membuat hati bergetar saat membacanya. Sungguh mengingatkan kita

    Salam ukhuwah

    BalasHapus
  2. bergetar pula saat saya membacanya

    BalasHapus