Minggu, 21 Juli 2013

Pasangan angka sepuluh



Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam namun hingga saat ini aku belum bisa memejamkan mata, suara dengkur suamiku sangat mengganggu pendengaranku, dalam hati aku mengumpat sungguh terlalu, dengkur yang tidak berpengertian, sampai kapan aku harus begini.. sungguh mengesalkan. Ini adalah salah satu dari banyak sekali kekurangan suamiku.

Sejak aku menikah dengan Mas Irvan, yang kutemui adalah serba kekurangan darinya, jauh dari sosok lelaki ideal, yang aku idamkan semasa masih gadis dahulu, ya diantara lelaki yang datang meminangku Mas Irvan adalah yang ketujuh, itupun belum termasuk ikhwan yang belum sempat datang karena kriterianya sudah ku tolak, karena tidak sesuai dengan tipeku. Teringat kala sudah enam kali proses semua teman-temanku seakan sinis memandangku, “sudahlah la,.. yang kayak mana lagi sih yang kau cari, lelaki sekaliber Bang Ma’ruf kau tolak, Beliau itu ustadz muda impian para akhwat lo..hafalan Qur’anya banyak, lulusan timur tengah lagi, terus Mas Handoko juga kau tolak padahal dia itu pengusaha muda loh, dialah penyumbang segala kegiatan beberapa masjid disekitar kotanya“, kata-kata itu meluncur begitu saja dari ita sahabat karibku. Dia baru sebulan ini melangsungkan pernikahan, juga dengan lelaki yang pernah ku “tolak”. “entah lah it.. pokoknya aku merasakan nggak ada chemistry ketika aku melihatnya”, ah kamu,… itulah makanya jangan terlalu serius liat tv, jadi gitu tuh korban take me out kamu itu la..pake chemistry-chemistry-an segala””ha..aha..ha.. “ kami tertawa bersama entah kenapa kalau ita yang bicara aku tak akan pernah marah walau dia bilang apapun… mungkin karena kedekatan diantara kami sebagai seorang sahabat. “laila.. ini serius aku ada calon untuk kamu seorang ikhwan dekat sini aja rumahnya di Plaihari, dia masih sepupu Mas Arif, namanya Irvan,.. sudahlah la.. apalagi yang kau fikirkan, dia itu lulusan UGM, dan saat ini bekerja sebagai pegawai negeri department pertanian kabupaten plaihari kalsel, gimana”… jika iya.. nanti aku bicarakan dengan Mbak Nafsiah nanti biar Beliau yang mengatur pertemuannya,” dengan semangat ita mempromosikan sepupu suaminya itu. “alahhh… paling kayak yang udah-udah it”, jawabku enteng, yang udah-udah gimana?” semua ikhwan rekomendasi kamu dibawah standar semua..hee..he..”. bukan mereka yang dibawah standar la, kamu aja yang sok tinggi kriterianya..”” ha..ha..ha” kami tertawa berdua kembali, “ ya udah kalo emang kamu PD it akan calonmu itu, ya udah masukin aja ke mbak nafsiah ‘.. jawabku enteng.   
“Laila.. kapan koe nikah nduk..?, pertanyaan  berulang-ulang yang sering aku dengar dari ibuku, entah mengapa akhir-akhir ini ibu tampak kurus, dan tidak sesegar dahulu . “nanti Bu,.. jika sudah ada pilihan ati laela yang cocok,” “ kamu laela jawabannya itu-itu saja!”, yang koyo opo lagi to nduk sing ko’ gole’i..nduk?.  Ibu,.. aku sadar bahwa Ibu begitu sangat menginginkan aku cepat menikah, dan jawabanku hanya itu-itu saja, tapi kali ini ada yang bebeda, tak seperti biasanya Ibu terlihat sedih sekali, rona wajah tuanya yang biasanya ceria kini nampak pucat dan memudar,.. ah Ibu maafkan anakmu.., “sudahlah nduk Ibu mau Istirahat dulu, pesen Ibu cepat-cepatlah kau tentukan pilihan masak diantara enam orang lelaki yang datang kerumah ini dengan baik-baik, tidak ada satupun yang nyantol dihatimu”, ucap Ibu sambil melangkah pergi, aku mengikuti kepergan Ibu dengan ekor mataku, namun beberapa langkah lagi menuju pintu kamar “gubrakksss, Ibu yang aku sayangi itu terjerembab tubuh tuanya jatuh tepat di muka kamarnya, dan aku menyaksikan dengan kaku, hanya memandang kaget dan tercenung, “Ibuuuuuu…..

“Suasana rumah sakit sangat membuat sedih, kesedihan yang serba mendadak, berdasakan hasil pemeriksaan ternyata Ibuku mengidap kanker hati, ah..Ibu.. mungkin derita itu sudah dirasa sejak lama, namun engkau merasakannya sendiri dan menyimpannya rapat-rapat dari kami, duka ini bertambah parah ketika aku ingat akhir pembicaraan kami,  ya… sebelum Ibuku tercinta menghembuskan nafas yang terakhir dalam pelukanku, “Nduk.. Ibu mau pergi jauh… menyusul Ayahmu Ibu rasa kamu sudah kuat untuk ditinggal.. kamu sudah sarjana sekarang dan sudah bekerja ditempat yang enak, agamamu juga bagus.. ibu sangat bangga padamu la…, sebelum Ibu pergi ingat pesan Ibu yo nduk…terimalah lelaki yang datang meminangmu setelah ini, ya… Ibu akan seneng sekali kalu koe berjanji nduk”, aku tercekat tak dapat ku berkata apa-apa hanya anggukan kecil, setelah itu.. Asyhaduallaaillahaillallahu, wasyhaduannamuhammadarrasullulah,.. itulah kalimat terakhir Ibu, aku menangis sejadi-jadinya kemudian semuanya gelap… 

Walimahtul ursy  telah selesai dilakukan, suasana rumahku masih ramai, aku melirik sosok suamiku, sosok yang asing sekali, gemuk dan pendek, ingin rasanya hati ini berontak mengatakan tidak.. tetapi janjiku pada Ibu, mengharuskan aku untuk bertahan, lelaki itu adalah ikhwan yang direkomendasikan oleh sahabatku ita, semua merasa lega sekali setelah aku menyatakan menerima pinangannya terutama ita, wajah cantiknya bersinar kegirangan, namun ada satu sosok yang tidak lagi dapat kulihat senyumnya, cerianya, dan binar mata tuanya yang masih saja terlihat cantik bila ia berbinar,…Ibu… ini adalah baktiku padamu terimalah Ibu.. kuharap engkau bahagia di sana..

-----ooooo0ooooo-----

Kejadian itu sudah tiga tahun yang lalu, saat ini waktu sudah menunjukkan jam satu tengah malam, namun mataku belum mampu tertutup juga, dengkur yang menyebalkan masih saja terdengar, sejenak kupandangi wajah putriku ani.  Dialah satu-satunya alasan  aku masih dapat bertahan,  wajahnya mengingatkan aku pada Ibu, ada garis-garis wajahnya disana, Ibu semoga engkau tenang dan bahagia disana.  

Dalam kebingungan karena tak mampu tidur aku berjalan menuju ruang keluarga, melihat tumpukan album foto keluarga, hatiku tergerak untuk membukanya, kulihat foto-foto saat pesta pernikahanku, nampak sosok Mas Irvan yang kurasa sangat tidak serasi dengan ku, badannya dan gemuk pendek mengingatkanku pada angka sepuluh saat berfose berdiri tegak bersamanya, entah kenapa rasa sesal dan tak ikhlas ini tak juga hilang, padahal sebagai seorang suami didepanku mas Irvan sangat sayang padaku, namun entah mengapa aku masih juga suudzun padanya, jangan-jangan sikap ngalahnya dan sayangnya hanya didepanku saja, lelaki manasih yang tahan jika setiap hari aku cemberuti, tapi biarlah mau seperti apa diluar sana toh aku juga belum dapat menerima dia. Entah mengapa aku tidak tahu mengapa rasa tak ikhlas sangat susah aku hilangkan.

“mi.. ngapain tengah malam di ruang tamu… eh ummi menangis ya..” suara Mas Irvan mengagetkanku, hingga album foto jatuh dari tanganku, perlahan mas irvan mengambil album foto itu dan meletakkannya di tempat semula, aku tahu pasti dia aka melihat responku dengan sabar, dan takut-takut, betulkan, dia tidak berbicara apa-apa, “nggak apa-apa bi,  sudah tidur aja lagi” jawabku dengan ketus, hampir dapat kupastikan dia akan berjalan menuju kamarnya dan tidur kembali seperti suruhanku, begitulah sikapnya selalu sabar dalam menghadapiku, entah sabar yang dibuat-buat atau memang sabar sesungguhnya, tapi aku tak peduli, setiap saat aku berlaku tak menyenangkan hatinya, atau berkata ketus, setiap itu pula senyum itu selalu terkembang. 

Sebenarnya aku sadar sikapku selama ini adalah salah, aku sadar, apa yang selalu aku sampaikan kepada  orang lain saat aku mengisi pengajian umum, atau pengajian rutin pekanan tentag akhlaq Istri sholehah,    hanya dapat aku katakan, dan sampaikan, saat audiens perserta majelis pengajianku berdecak kagum akan materi yang aku sampaikan, saat itulah hatiku menangis karena tak satupun itu semua dapat aku terapkan dalam kehidupan rumahtanggaku,

“ya..sudah mi kalu ummi tak mau diganggu, abi mau pergi wudhu dulu mau sholat malam, ini lagi jika aku bangun malam, pasti dia langsung melakukan sholat malam, aku mulai suudzon jangan-jangan sholat hanya didepanku saja entah jika aku tidur apakah dia masih melakukan sholat malam, entah lah siapa yang tahu…dan aku juga juga tak mau peduli.

 “ah.. Mas Irvan mengapa hati ini, keras sekali untuk menerimamu, akupun tak tahu mengapa hingga saat ini aku masih terbayang-bayang sosok lelaki idealku, yang jauh sekali dari kamu Mas,… perlahan ada setitik embun dimataku.. ah masa bodo pokoknya aku tak bisa titik!.

-----ooo0ooo-----

Suasana jalan Trikora banjar baru sangat padat, memang jalan ini salah satu dari beberapa jalan yang terkenal dengan lalu lalang truk-truk pengangkut barang antar kota di Kalimantan, panas terik mantari membakar kulitku, aku saat ini sedang dalam perjalanan ke rumah salah seorang binaanku siang ini habis dzuhur, ada jadwal pengajian pekanan di rumahnya, jam menunjukan pukul 11.30, aku harus cepat, karena sebentar lagi hari akan hujan, ku putar gas sepeda motorku, mendadak, dari arah kanan berkelebat seorang menyebrang, secara reflek aku banting kekiri stang sepeda motorku, aku menjerit ternyata di sebelah kiri melaju kencang truk tronton batu bara, menyambar sepeda motorku,… alllahuuuuu akbaarrr….. kemudian…. Gelap…. 

Ada apa denganku… kudapati tubuhku seperti tergeletak di atas tempat tidur…dengan selang melalui lubang hidungku, dan infuse ditangan kiriku, kesadaranku sudah mulai pulih.. namun,, akhhh… seluruh ototku tak dapat aku gerakkan,… tanganku…kakiku..semua kaku,.. bahkan mulutkupun tak dapat digerakkan, aku ingin berteriak namun tak bisa, aku bagai terjebak dalam tubuh patung besi… mataku juga tak sanggup aku buka, ada apa ini… Ya.. Rabb,, kau apakan aku… aku menagis namun tak sanggup.. hanya hatiku merintih…

Perlahan ku mendengar pintu di buka orang, dari langkah kakinya mungkin sekitar tiga orang, sekali lagi aku berusaha untuk mengirimkan sinyal bahwa aku saat in sadar,namum lagi-lagi mulutku kaku, mataku juga kaku, dan seluruh persendianku tak dapat aku gerakkan usahaku gagal,.. “jadi begini Pak Irvan”, suara yang belum pernah kukenal memulai percakapan mereka, “kami team dokter sudah berusaha, namun hingga hari ke duabelas ini kondisi istri Bapak belum ada perubahan”.  Haaaahhh,… duabelas hari.. jadi aku seperti ini sudah dua belas hari, dan aku baru sadar kira-kira sepuluh menit yang lalu, “kami serahkan keputusan kepada pihak keluarga, apakah terus dirawat disini atau di bawa pulang saja karena biaya disini sangat malal”, “tidak dok kami minta istri saya tetap dirawat disini, berapapun biaya akan kami tanggung”.itu adalah suara Mas Irvan, “betul dok usahakan sekuat yang bisa dilakukan tim dokter kami akan tanggung biayanya”, itu adalah suara pamanku, sejak Ibu meninggal menyusul bapak memang pamankulah yang menghandle jika ada permasalahan dalam keluarga besar kami, “Betul dok tolong usahakan, jangan sampai gagal”, suara Mas Irvan yang tadinya jernih sekarang sudah bercampur dengan isakan,.. “terus lah dok usahakan dia adalah satu-satunya orang yang sangat aku cintai”, perlahan isakan itu berubah menjadi tangisan yang sesungguhnya, bahkan semakin lamakeras, allaahhh paling itu adalah tangisan pura-pura karena masih ada dokter dan pamanku di ruangan ini, lelaki manasih yang selalu mendapat perlakuan buruk dari istrinya mempunyai rasa cinta yang setulus itu, ingin aku berteriak “hentikan kepuraanmu mas” namun berulang kali kucoba,  namun lagi-lagi lidah dan mulutku kaku, 

“Baiklah  jika demikian kami akan bersaha sekuat tenaga kami, kami permisi dulu Pak Irvan, Pak Ahmad Assalamu’alaikum”, serentak mas Irvan dan pamanku menjawab “wa’alaikum salam”, ..” Sudahlah Nak Irvan.. paman yakin laila akan sembuh, baiklah paman mau pulang dulu ya jaga baik—baik istrimu itu, kabarkan pada perawat dan juga saya setiap perkembangan baik itu negative atau positif, “ baik Paman” jawab mas Irvan masih dengan isakan buayanya, huhh!!!.

Nah ruangan sudah sepi ini yang kutunggu apakah dia masih dalam tangisannya, ataukah malah tertawa gembira, sayang mataku tidak dapat melihat mungkin saat ini dia sedang terseyum melihat kondisiku koma tak berdaya di tempat tidur rumah sakit ini,… “Ummi .. kuharap engkau dapat mendengar kata-kataku, walaupun tubuhmu kaku tak bergerak… cepat sembuh..ya sayang.. kasihan abi.. juga ani putri kita,kemarin dia juara pertama di kelasnya, dia pinter mi sama seperti kamu, .. abi tak mau kehilangan kamu ummi”.  suara itu terisak lagi, dengan iskan yang terlihat begitu tulus..” jangan tinggalkan abi mi... karena Allah SWT telah mempertemukan kita dalam suatu ikatan yang agung… tolong mi beri kesempatan untuk kita bersama lagi… ummi harus kuat ayuu mi lawan penyakit ini..” kemudian tangisnya pecah, menjadi isakan yang semakin sering.. Hatiku terpukul… Subahannallah.. sebesar itukah cinta mas Irvan kepada ku, aku yakin ini bukan kepuraan, karena tidak ada orang lain yang harus melihat sandiwaranya, ohh… betapa kejamnya aku.. teganya aku menyiakan perasaan orang sebaik Mas Irvan,..ohhh robbi astaghfirullah… hamba mohon ampun kepadamu, hatiku terenyuh manakala di pegangnya tangan ku yang kaku,… kemudian diciumnya berulang kali dengan isakan yang tidak juga kunjung berhenti.  Ingin aku bangun dan bersujud di kakinya, ya di kaki suamiku yang selama  ini aku sangat tidak ikhlas akan kehadirannya. Namun apa boleh buat kesadaran ini datang terlambat, aku hanya bisa menyesalinya. 

Aku terbangun saat kudengar dengan lirih suara lantunan ayat-ayat diringi dengan suara isakan tangis, ohh Mas Irvan sedang shalat malam, aku sudah tak tahu lagi apakah ini malam, pagi atau siang,karena aku dalam keadaan koma tak mampu menggerakkan semua organku, namun aku yakin ini adalah tengah malam. Ohh… mas Irvan ternyata sangkaanku selama ini salah aku dengan suudzunnya manyangka engkau shalat malam hanya didepanku saja ternyata semua itu adalah, baru kali ini aku sadar betapa merdunya   suaramu, karena kita tidak pernah sholat malam bersama, sebab aku selalu menolak jika kau ajak, “Ya .. Rabbi, dalam keheningan malam ini hamba bersimpuh kepadaMu, Mas Irvan mengawali doanya, dengan pujian kepada kebesaran Allah SWT, Ya.. Rabbi, saat ini istri hamba sedang tergeletak tak berdaya, ya Rabb Engkaulah maha pemberi penyakit dan maha penyembuhnya, maka sembuhkanlah ia ya Allah,”..suara itu begitu menyayat hati.. aku tak kuasa ,menahan tangis namun tangis yang terpendam dalam hati karena aku sudah tidak dapat menangis.  Ya Allah jika sekiranya memang karena kasihMu Engkau bermaksud mengambil ia, jika boleh ditukar ambillah nyawa hamba ya Rabb, namun jika memang harus ia, berilah kerdhoan hamba dalam menerima keputusanMU, namun jika kesembuhan adalah baik untuk ia,.. maka sembuhkanlah ya Allah”..

Tangisku hampir pecah sungguh aku tersiksa sekali, lidah kaku, mulut kaku namun hati menangis.. teringat hari-hari begitu buruk akhlaqku kepada mas Irvan, teringat bagaimana jika menghadiri kondangan atau acara-acara lain ,aku tidak mau berjalan disampingnya karena dalam perasaanku kami bagai angka sepuluh yang berjalan, teringat pula saat ada pengajian di rumahku maka pantang mas irvan untuk keluar karena aku melarangnya, aku malu memiliki suami yang pendek dan gembrot seperti itu. 

Terbayang juga bagaimana sabarnya Mas Irvan merespon sikapku, yang selama ini aku anggap adalah kesabaran yang semu, ternyata memang begitu sabarnya engkau mas.. “bi… maafkan aku… maafkan aku… aku hanya bisa menangis dalam hati, tangisan yang teramat sangat karena penyesalan yang teramat sangat pula,… maafkan aku mas…aku merasa hina.. aku merasa sanga tdzolim terhadpmu… astaghfirullah… maafkan aku mas”…. Mendadak seluruh persendianku seakan ditarik dengan kuatnya hingga sakit bukan main,, lututku, tangan ku, mulutku, bagai ditarik oleh kekuatan besar sehingga aku teriak… 

“ummi..ummi… kamu bisa ngomong mi??,,, ummi,… suara mas irvan keheranan kemudian menyudahi doanya yang panjang , lalu berlari menuju kearahku… aku lemah lunglai setelah merasakan kesakitan yang teramat sangat.. kucoba untuk berkata “ Mas.. Mas..Irvan” “alhamduliiah kau sudah bisa bicara mi… syukurlah Ya Rabbi.. coba gerakkan jari kelingmu mi!.. aku menggerakkan jari kelingku, dan berhasil bergerak, .. Mas Irvan setengah terpekik begitu gembira ..”alhamdulillah Engkau mengabulkan doaku ya Allah”.. tubuhku masih lemas…  namun aku harus bicara dengan MasIrvan aku harus minta maaf atas kehilafanku selama ini, bi .. maafkan aku bi.. apanya yang harus abi  maafin mi.bimaafin atas semua kehilafan ummi bi,.. ummi telah banyak berbuat salah sama abi, air mataku tumpah membunccah tanpa dapat ku cegah”… Mi abi sudah memaafkan ummi, sebelum ummi minta maaf ke abi, ada kelegaan yang teramat sangat aku rasakan, rasa bahagia merasuk dalam setiap relung hatiku… kupegang tangan suamiku itu yang entah mengapa saat ini aku amat mencintainya..  kuyakin rasa ituadalah anugrah dari sang pemilik cinta yaitu Allah SWT, hingga aku tertidur dengan hati yang teramat tentram sambil tetap terus menggenggam tangan Mas Irvan..ada tekat dalam hatiku  setelah ini aku akan menjadi istri yang baik bagi Mas Irvan, dan Ibu yang baik pula untuk ani anakku..

TAMAT 

Sang Penenetes Embun

Tidak ada komentar :

Posting Komentar