Senin, 14 Oktober 2013

Cincin Bermata Giok itu...



“Na, cepat sedikitlah!, Kang Jajang sudah menunggu dari tadi, papamu juga tuh, jangan sampai bikin papamu marah loh!”, suara mama berteriak dari luar pintu rumah terdengar sampai kekamarku, begitulah mama jika dia berteriak maka gegerlah orang satu kampung.  Hari ini adalah hari supersibuk di keluargaku, dan hari yang bersejarah bagi keluargaku, khususnya aku, karena hari ini aku akan berangkat ke kota Jakarta untuk melanjutkan studiku di Universitas Indonesia.   Banyak sekali bekal yang kami bawa maklum jarak dari kampungku di Cilacap ke Jakarta lumayan jauh ditempuh dengan perjalanan darat.   Ada berupa makanan, dari makanan berat nasi dan lauk pauk, sampai dengan cemilan, ada obat-obatan, jaket, bahkan minuman supplement untuk Kang Jajang supir kami telah juga kami sediakan.

Laju mobil masih perlahan, samar-samar suara Iwan Fals menyanyikan lagu orang pinggiran terdengar dari tape mobil kami.  “Na, nanti kami tidak usah menginap di kost kamu ya!”, suara mamaku memecah kebuntuan, sementara laju mobil kami telah melewati beberapa kilometer namun masih di jalan desa kami. “lo… kemarin katanya papa mau nginep ?” kataku sedikit protes,”inikan hari pertama aku di Jakarta”, “ iya, rencananya begitu tetapi rencana berubah karena pekerjaan papa sangat menumpuk sayang”, papaku kali ini turut berbicara.   “Papa harus menyelesaikan proyek-proyek bangunan yang belum selesai, dan mama sebagaimana biasa harus menemani papa, karena tanpa mama tidak ada yang mengatur keuangan papa, kamu harus mengerti ya sayang!, papa yakin putri papa pasti kuat ok..!”.   “yah… apa boleh buat, tapi mama dan papa harus menemani nana sampai sore ya?” pintaku pada mama dan papa.   Kurasa hanya permintaan itu yang dapat aku lakukan, karena jika papa, mama, sudah mengatas namakan kesibukan kerja, mau tidak mau aku harus menerima. 

Hal ini telah sering aku lalui, tinggal dirumah dalam  kesendirian  tanpa mama dan papa disisiku, karena sebagai konsultan proyek bagunan, mereka sangat sibuk.  “Ma, papa dan mama kan lebih sering di jakarta dari pada di Cilacap, karena kerjaan papa banyak disana, kenapa sih aku nggak tinggal bersama papa dan mama saja di Jakarta, kenapa aku kost di Depok?”, “nana, papa dan mama sebagai konsultan property freelance, kami tidak memiliki kantor di Jakarta karena menghindari berbagai pungutan pajak, dan juga kami tidak ada rumah untuk tempat tinggal kami, karena kerja kami sangat mobile, dari kota ke kota bahkan sampai ke daerah Indonesia bagian timur, jadi kami lebih baik menginap di hotel saja, jelaskan… jadi itu makanya kamu tidak tinggal di rumah papa dan mama di Jakarta, dan lagi di kost yang dekat kampus kamu akan lebih konsen kuliahnya”.

Kami adalah salah satu keluarga kaya di desa kami.  Rumah kami adalah rumah yang terbesar disana, namun sebagai anak seorang kaya, aku sering merasa iri dengan mereka kawan-kawanku yang selalu berkumpul dengan ayah dan Ibunya.  Tak terasa aku menangis ada butiran embun bening di sudut mataku, kutatap jendela mobil dengan pandangan kosong, pohon-pohon terasa berlari, dan jejeran warung-warung pinggir jalan sudah mulai dibuka.  Seharusnya saat ini aku gembira karena besok aku sudah menjadi mahasiswi disebuah perguruan tinggi negeri ternama di kota Jakarta, sebuah status yang amat aku impikan.   Yah.. memang sudah nasibku selama ini tinggal di keluarga kaya di Cilacap, dengan kedua orang tua yang bekerja jauh di kota Jakarta.   Ada harap begitu besar, setelah diterimanya aku di Universitas Indonesia akan lebih mendekatkan aku dengan kedua orang tuaku, yang lebih banyak waktunya di Jakarta dari pada di Cilacap.

---ooo0ooo---

Tak terasa telah enambulan aku kuliah diuniveritas ini, ada kebanggaan dalam hatiku, dapat kuliah dikampus yang megah ini.   Hari-hari kulalui dengan kesibukan belajar di kampusku ini, apalagi sejak dua bulan terakhir aku bergabung dengan kegiatan rohani di mesjid kampusku, hingga hari-hariku semakin supersibuk saja, sebagai masahiswi dan sebagai aktifis mesjid kampus.

Intensitas hubungan dengan kedua orang tuaku semakin tidak intensif,  sering hanya dapat berhubungan via telpon saja, padahal kami dalam kota yang berdekatan saja, aku di depok sedangkan mereka dijakarta.  Jika aku ingin ketemu ada saja alasan mereka makan siang dengan partner kerjalah, rapat di hotel ini itulah, hingga jika aku bertemu mereka, pasti merekalah yang memang berkendak ingin bertemu denganku. Seperti saat ini aku kangen sekali ingin bertemu mereka, dan mengajak mereka hadir dalam acara seminar di mesjid kampusku yang terbuka untuk umum, namun lagi-lagi kesibukan kerja mereka tidak memungkinkan hal itu terlaksana.

“Rum, sebelum kita ke mesjid kampus, kita sarapan dulu yuk!”, “Ayuuk”, jawab ningrum. “Na.. kamu biasa makan bakso disini ya?”, tanya ningrum teman baru dikampusku, Alhamdulillah aku sudah memiliki beberapa teman yang sepertinya  dapat dijadikan sahabat, “Nggak juga sih rum, kan kamu tau aku baru aja di kota ini baru enambulan, makanya ini masih taraf survey”, jawabku menjelaskan. Ningrum hanya mengangguk kecil sambil bergumam”oooo…”. Kemudian kami asyik menyantap bakso panas sambil bercerita persiapan seminar nanti.

Darisudut mataku aku melihat sepasang kakek nenek, masuk warung bakso tempat kami makan, dengan pakaian, kumal, tak beralas kaki.   Secara reflek aku mengeluarkan dompetku, sepasang pengemis itu masih meminta kepada orang yang terdekat dengan pintu, aku telah siapkan uang dua ribuan.   Ketika hampir tiba dihadapanku, aku terperangah melihat kedua pengemis itu yang juga sedang  melirik kepadaku.   Aku lihat wajah yang tak  asing lagi, yaitu wajah mama dan papaku, namun mereka jauh lebih tua dan berkulit lebih hitam, kami bertatapan hanya dalam hitungan detik.   Aku masih terbengong ketika sepasang pengemis itu memalingkan wajah mereka dan berbalik melangkah keluar, dengan tergopoh-gopoh., “hey tunggu.., tunggu.. aku ada uang untuk kalian, dengan penasaran kucoba mengejar, mereka sudah berlalu meninggalkan warung bakso.   “Na, nana… kenapa kamu?”, semangat banget sih mau amal, kan bukan mereka aja pengemis di Jakarta, ntar juga kamu bisa amal kepengemis yang lain, “eh, iya rum, ntar juga ada lagi yah”, ujarku berusaha menutupi raut wajah keterkejutanku karena melihat sepasang pemgemis itu. “ ayo, rum sudah jam delapan pagi nih, kita harus cepat, aku harus melihat kesiapan seminar, malu nanti kalu pas waktunya belum pada siap!”, “ok na, biar aku yang bayar!.   Sejurus kemudian aku dan ningrum sudah melaju dengan Honda jazz milik ningrum menuju mesjid kampusku.

Jam dinding kamarku menujukkan jam tujuh malam, penat rasa seluruh badanku, baru saja aku sukses mengadakan seminar tentang memberdayakan ekonomi masyarakat marjinal.   Aku sebagai ketua panitia sangat penat fisik dan fikiranku.   “hhh..!!” rasa nyaman sekali saat aku rebahkan tubuh penatku di kasur empuk kost ku.  Kost ku termasuk kost yang mahal di bilangan Depok di lengkapi dengan springbed, AC, dan kamar mandi yang nyaman di dalam kamar, belum lagi di bagian luarnya dilengkapi taman kecil yang indah dan parkiran yang luas. Anehnya mata ini tak mau juga di ajak terpejam bayangan wajah sepasang kakek nenek pengemis itu masih saja bergayut di mataku.  Tatapan mata kakek itu sama dengan tatapan mata Papa, dan nenek itu mengapa tatapan teduhnya juga sama dengan tatapan mata yang hanya kutemui diteduhnya tatapan mata mamaku.  Ahhh ini hanya kebetulan saja hatiku berkata, jika itu mama dan papa,…tak mungkin, itu tidak mungkin, mereka tampak berkulit lebih hitam lusuh, dan jauh sekali lebih tua.  Mereka kakek-kakek dan nenek-nenek sedangkan papa dan mamaku masih gagah dan jauh lebih segar.  “ahh… entahlah hampir sakit kepala aku memikirnya, apakah papa dan mama memiliki saudara di jakarta ini?, apakah karena mereka miskin lalu papa dan mama tidak mau mengakui mereka, lalu mengapa mereka tadi tidak meneruskan minta uang kepadaku, apakah mereka tahu bahwa aku anak papa dan mama saudaranya.. ahh.. semakin berdenyut rasa dikepala memikirkannya. 

Dari pada pusing-pusing lebih baik aku telpon saja mereka, aku juga sudah kangen dengan mereka. terdengar nada dering di ujung nomor yang aku pencet, beberapa detik kemudian suara mama terdengar di ujung telpon.  “Halo, assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, suara itu begitu khas,  “wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”, aku menjawab salam mama. “Na, bagaimana kuliahmu lancar bukan, mama yakin putri cantik mama pasti pintar dikelasnya”.  “lancar ma, bahkan nana beberapa kali dapat nilai A”.   “wah betul kan, anak mama pasti pintar, eh na kamu hati-hati ya jaga diri kamu saat ini mama tidak sedang di Jakarta, biasa papamu mengajak mama keluar kota ada beberapa pekerjaan di Ciamis, kamu jangan jajan sembarangan ya!, jangan jajan bakso diwarung pinggir jalan seperti dipoltangan itu”. Deg.. hati ku berdetak warung bakso?, poltangan?, mengapa mama bisa tahu kalau aku makan bakso di sana.   “ma, kok mama bisa tahu aku makan bakso di sana”, “eh..hmm, eh gini,  mamakan biasa kalau lagi macet ambil jalan alternatif,  yang melewati salah satu warung bakso, bakso  itu laris sekali, banyak para mahasiswa yang  jajan disana, makanya mama tak suka kamu makan disana kayaknya nggak higienis, kotor cucian piringnya kan terlihat dari jalan sangat tidak higienis”.   “o.. iya lah ma, eh ma papa mana ma?”,  “biasa kamu kayak ngak tau kebiasaan papamu aja, dia lagi dinner sama koleganya”. “ok lah ma, salam ya sama papa”,” o.. iya na, dua hari lagi papa dan mama mau main ke kost kamu, boleh kan?”, “wah kenapa nggak boleh ma, jam berapa ma?”, “kayaknya pagi dah ya, karena siangnya papa dan mama ada acara di hotel Mulya, sudahnya na, belajar baik baik ya sayang, biar cepat jadi dokter,  asalamu’alaikum, “wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”.  hhh.. aku mengambil nafas  kemudian aku tertidur dengan bayangan wajah kakek nenek pengemis itu tetap di mataku.

---ooo0ooo---

Suasana rapat pengurus Lembaga dakwah kampus begitu dinamis, banyak sekali masukan dari para kawan-kawanku.   Mereka sangat antusias membahas followup dari seminar pemberdayaan ekonomi kaum marjinal.   “Alhamdulillah acara kita sukses besar, bahkan yang tidak kita sangka-sangka Bapak Menteri Sosial juga bisa hadir di acara kita, untuk hal ini, secara khusus Pak Dekan fakultas kita memberikan apresiasi kepada kita”.   Akhi Nandang memulai rapat dengan beberapa kata pengantar.   Kami semua menyimak pembicaraannya.  “dan pada kesempatan ini saya selaku ketua pengurus masjid kampus mengucapkan selamat kepada Ukhti Nana, sebagai ketua panitia, telah sukses mengadakan acara yang tak bisa dibilang kecil ini, dan berkat dia juga berhasil mendatangkan Bapak Menteri Sosial, dan juga Bapak menteri Perindagkop dan UKM”, tak terbayangkan bagaimana warna wajahku saat itu, mendapat pujian dari   ketua pengurus masjid dihadapan para ikhwan dan akhwat anggota Lembaga dakwah Kampus.   “untuk selanjutnya kita berkumpul disini, memdiskusikan followup dari acara itu, ada beberapa dana yang terkumpul, dari para undangan, dan juga dari kedua Bapak Menteri itu, jumlah uangnya tidak sedikit mari kita diskusikan mau kita apakan uang sebanyak ini.

“begini saja!’ tiba-tiba suara ikhwan lain terdengar, itu suara Amri dari Fakultas Teknik, “begini, bagaimana kalau kita salurkan saja uang itu ke Dompet Duafa, biar lembaga itu saja yang, menyalurkannya toh lembaga itu sudah jelas kredibilitasnya, pasti sampai kepada sasaran”, “baik, termakasih akh Amri usulnya sangat baik sekali, tetapi saya akan beri lagi kesempatan pada yang lain apakah ada usulan yang lebih brilliant”.  Kemudian suasana hening beberapa menit rupanya akh Nandang memang memberikan kesempatan untuk kami berfikir.   Mendadak aku dapat sebuah ide,  “begini saja”, teriakku. “ya silahkan ukhti nana!”, “begini, alangkah lebih baiknya jika dana itu kita gunakan untuk program Mesjid kampus kita lagi,  kita buat yang benar-benar tepat sasaran”, seperti apa misalnya na?”, kali ini ningrum menimpali pembicaraan.  “Begini bagaimana jika kita buat pelatihan untuk beberapa masyarakat miskin, seperti pelatihan budidaya ikan kolam, pelatihan buat kerajinan tangan yang bisa dijual, dan lain-lain”.  “tapi siapa yang akan melatihnya na?” akhi Amri angkat bicara. “kita dapat berkerja sama dengan Dinas Kementrian Sosial, aku yakin mereka pasti memiliki tenaga pelatih seperti itu, atau paling tidak dapat mengarahkan kita kepada lembaga-lembaga lain yang bisa melakukannya.  sedangkan untuk siapa yang melobi Dinas Kementrian Sosial biar saya saja, karena saya ada chanel yang daapt menghubungkan kita dengan pihak kementrian sosial”.  “ok aku rasa hal ini sangat mungkin dilakukan, bagaimana teman-teman usul siapa yang akan kita pilih apakah usul akh Amri, atau usul dari ukhti Nana, untuk itu kita polling”. Dan hasil poling ternyata suara bulat memilih usulku.

Suasana jalan Margonda Raya begitu padat  siang ini aku masih di jalan ini, diantara mobil-mobil yang terjebak macet.   Saat ini aku sedang menjalankan tugas melobi kementrian sosial untuk dapat bekerja sama dalam program pelatihan kepada para masyarakat miskin.  Seperti biasa aku ditemani ningrum dengan Honda jazznya.   Mobil melaju tersendat sekali, tiba-tiba aku melihat sepasang pengemis kakek nenek , yang aku lihat di warung bakso kemarin.   Sekarang sepasang pengemis itu berjalan bergandeng tangan menyusuri emperan toko, dengan baju seperti kemarin.  Aku menurunkan kaca jendela untuk melihat dengan jelas kepada mereka, sementara mobil berjalan dengan pelannya dalam rhitme kemacetan.  Sebentar lagi akan sampai, mobil ini akan mendahului mereka, saat yang ditunggu tiba mobil yang kami naiki sudh dekat sekali dengan mereka aku bisa melihat dekat bahu mereka yang berjalan terbugkuk-bungkuk.  Hingga kami mendahului satu jengkal didepan mereka aku menoleh kebelakang, dan tatapan mata kami bertemu, tatapan mata teduh itu hanya dimiliki oleh mama tidak pernah aku melihat orang lain memilikinya.  Aku juga dapat melihat jelas raut wajah sang nenek, wajah itu mirip sekali dengan wajah mama, namun banyak kerut disana-sini, dan sangat kotor.  “Stop dulu rum, aku mau turun dulu nanti kamu tunggu aku di depan kampus Gunadarma ya, aku akan kesana sebentar lagi”.  ”mau ngapain sih na, ngapain kamu turun disini?” tanya ningrum sedikit bingung. “sudahlah nanti aku ceritain”, jawabku sambil dengan cepat melompat keluar mobil.  Aku menoleh kebelakang dan sepasang pengemis itu seakan menyadari dan ingin menghindar dariku, kami bertatapan sejenak kemudian mereka dengan cepat berlari.  Aku kejar mereka melewati lorong-lorong diantara ruko-ruko yang berjajar di tepian jalan, lari mereka sangat cepat tidak seimbang dengan jalan mereka yang terbungkuk-bungkuk tadi, aku setengah tak yakin kenapa kakek nenek itu berlari begitu cepat, hingga tiba pada persimpangan jalan kecil yang aku tak tahu lagi kemana arah mereka.

Seperti malam kemarin, malam ini aku masih dibayang-bayangi wajah kakek dan nenek itu, beribu tandatanya berkecamuk dikepalaku, mengapa wajah mereka sangat mirip dengan wajah mama dan papaku?, mengapa mereka seakan terkejut saat bertatapan denganku.   Pertanyaan yang paling besar lagi adalah mengapa mereka berlari menghindar dariku saat aku turun dari mobil?.  ”hhh.. aku mengambil nafas panjang kemudian disusul dengan dentang tiang listrik di pukul oleh peronda malam sebagai tanda bahwa saat ini telah pukul dua dinihari.

---ooo0ooo---

“bagaimana, ukhti nana progress dari followup ke kementrian sosial”, suara akh Nandang diujung telpon. “Alhamdulillah lancar semua, saya telah berhasil melobi mereka dan telah mempertemukan saya dengan salah satu LSM yang bergerak di pembinaan ekonomi kerakyatan, mereka lengkap dengan tenaga pelatih, mereka tinggal menunggu konfirmasi waktunya saja Akh”,  jawabku.  ” Baik kalau begitu, tugas selanjutnya adalah mensurvey daerah yang merupakan kantong-kantong kemiskinan, karena kita akan mengadakan pelatihan di lokasi mereka  untuk memberdayakan potensi mereka, itu adalah tugas akh Amri”. “OK Ukhti nana, sampai bertemu lagi di acara pelatihan, terimakasih telah bekerja dengan baik”. “Baik Akh.. oh..ya sampaikan pada akh Amri bahwa saya mau turut serta membantu kegiatan survey, kebetulan besok tidak ada kuliah”.”ok.. akan saya sampaikan, asalamu’alaikum”, “wa’alaikum salam”.  

Aku meletakan Blackbarry Q10 ku di kasur, hari ini aku tidak ada jadwal kemana-mana.   Sebenarnya ningrum memintaku menemaninya ke toko busana muslim, tetapi aku telah ada janji dengan mama dan papaku mereka akan berkunjung ke kost ku hari ini.  ”Ning…nong…ning..nong.. Assalamualaikum.. bell kamarku berdentang, itu dia pasti mereka.   Dengan bergegas karena kangen aku membuka kamar kost ku, ternyata betul senyum mama dan papaku telah hadir di muka kamarku.   “Assalamualaikum”, “waalaikum salam”, aku menjawab salam mereka. “wah.. silahkan masuk ma, pa!” aku mempersilahkan mereka masuk. “sedang apa na, pasti sedang tidur ya?, kurangilah tidur pagi na, perawan nggak baik tidur pagi nanti jauh jodoh lo.!”, biasa mama langsung saja nasehat panjangnya mengalir  tanpa dapat ku cegah,” waaw.. ada yang berubah dari putri mama nih, sejak kapan kamu berjilbab na?”, “eh,, iya ma sejak dua bulan terakhir ini ma, aku sekarang aktif di kegiatan kerohanian di kampus ma”, “oo.. ya itu bagus papa mendukung, karena itu salah satu efektif menangkal dampak pergaulan yang begitu bebas dikalangan remaja pelajar dan mahasiswa”, papaku menimpali, “ya.. mama juga mendukungmu sayang, kata mama.

“lo… mana juga nih kaset-kaset iwan falsmu, biasanya kalau mama datang pasti suara Iwan Fals memenuhi ruangan ini?”, “ada ma aku simpan di koper, jika lagi mau aja sesekali aku denger”. “na.. coba lihat ke parkiran, dari sini, ni dari jendela ini”, sela papa diantara percakapanku dengan mama. “ada apasih pa?” tanyaku penasaran. “Sudahlah coba kamu lihat dari sini jelas kok” mama menimpali.  Kusibakkan tirai jendelaku, dan tampak di halaman sebuah mobil Toyota Yaris berwarna pink dengan motif hello kitty.  Mobil siapa mama, mama ganti mobil lagi, terus mobil kita yang kemarin mana ma?”, aku menghujani mereka dengan pertanyaan.  “enggak lah masak mama pake mobil kayak gitu, ketuaan na”, kata mamaku, “itu mobil hadiah untuk kamu, kamu sukakan. “hahhh..!! untukku”, aku melonjak kaget bercampur gembira. “iya na itu untuk kamu”,” terimakasih ma, pa”. kemudian aku raih tangan papa kemudian mama dan kucium punggung telapak tangan mereka. “sama-sama sayang tapi syaratnya kamu harus rajin belajar ya, biar anak mama jadi dokter”, “baik ma”, jawabku.

Aku melirik pada jari manis mama disana melingkar sebuah cincin putih bertahta batu kehijauan,”ma, cincin baru ya..?”, “oh.. iya ini hadiah dari papa, kata papa ini cicin batu giok bagus gak na?”, bagus ma, cocok sekali di jari manis mama, jadi semakin manis, ha..ha..”,ah kamu bisa aja na.. kemudian kami tertawa bersama.

Hari telah menunjukkan pukul sebelas malam, akhir-akhir Ini semenjak pertemuanku dengan sepasang kakek nenek pengemis itu.  Aku selalu tak dapat tidur cepat, bayangan tatapan mata dan wajah mereka selalu membuat aku tak dapat memejamkan mata seperti sekarang ini.   Tatapan mama dan papa tadi pagi  begitu sama dengan tatapan mereka, bayangan itu terus ada dimataku hingga aku tertidur.

---ooo0ooo---

Kali ini aku berada di kawasan Lenteng Agung, salah satu kantong kemiskinan di Jakarta.  Kami saat ini sedang melaksanakan tugas Survey untuk penggalian potensi yang dapat dikembangkan di daerah ini.  Toyota Yaris pemberian mama dan papaku aku parkir di halaman rumah seorang warga yang berada dipinggir jalan seteah aku mohon izin pada si pemilik rumah.   Setelah itu kami menelusuri rel kereta dimana di kanan kirinya banyak berdiri rumah-rumah kardus, dan triplek, yang banyak dihuni oleh keluarga-keluarga miskin.   Kami memasuki satu persatu rumah itu, mendata, dan sedikit wawancara dengan mereka.

Hingga suatu ketika aku melihat sepasang kakek dan nenek itu, ternyata mereka tinggal disekitar sini.   Kali ini aku tak ingin gagal seperti kemarin, aku harus tahu siapa mereka. Aku melirik dengan ekor mataku, keduanya berjalan terbungkuk dan terseok menelusuri rel.  Bagus sepertinya mereka tak mengetahu keberadaanku.  “Rum, aku tinggal sebentar ya!, sebentaaar saja,” pintaku pada ningrum yang sedang memawancari salah seorang kepala keluarga, “iya..ya” jawab ningrum, jelas sekali nampak keheranan pada wajah cantiknya.

Setengah berlari aku mengikuti kedua pengemis itu, mereka berjalan pelan sekali terbungkuk dan terseok, seok.   Jarakku sangat dekat dengan mereka sesekali aku harus bersembunyi diantara rumah-rumah kardus itu, saat mereka menoleh kebelakang.  Hingga suatu saat di jarak yang aku dapat mendengar percakapan mereka.  “Pa.. hari ini aku dapat cukup lumayan, bagaimana dengan papa?”, “lumayan juga ma, syukurlah mungkin besok kita sudah bisa pulang kampung dulu ma”.  Deg..suara itu… suara itu,  hampir pingsan aku mendengarnya suara itu sangat mirip dengan suara papa dan mamaku.   Aku kuatkan hatiku untuk terus mengikuti mereka, ada kejanggalan dari pembicaraan mereka, mereka saling memanggil dengan sebutan papa, mama, aku semakin yakin bahwa itu adalah papa dan mamaku, tapi.. tapi.. mengapa mereka disini, dan mengapa mereka berperilaku seperti itu.   Kepalaku berdenyut sakit sekali, seluruh persendianku lemas terasa mau lepas.  sementara mereka terus berjalan aku kuatkan hati dan diriku untuk terus mengikuti mereka.

Aku terus saja mengendap-endap mengikuti mereka, hingga tibalah pada sebuah rumah kardus.   Mereka berhenti, membuka pintu rumah itu dan masuk, rupanya disini tempat tinggal mereka.   Aku panasaran sekali, aku hampiri rumah kardus itu, dan berdiri tepat di pintu, ada keraguan dalam hatiku, betulkah mereka papa dan mamaku.   keringat dingin bercucuran membasahi kerudung dan gamisku, niatku sudah bulat aku harus masuk.    “Assalamu’alaikum, assalamu alaikum, tidak ada jawaban dari dalam padahal barusaja mereka masuk.   Aku mengintip kedalam dari sobekan kardus pintu rumah itu, gelap tidak ada siapapun disana.  Aku ragu, padahal dengan sekali dorong saja sudah dapat terbuka pintu kardus itu.   Dalam keraguan aku berjalan mondar-mandir di muka rumah itu, hingga kuputuskan untuk membuka dan masuk kedalam, Brak… suara kardus sobek terdengar manakala aku mendorong paksa rumah itu,  nampak oleh ku sedua kakek-nenek itu duduk di pojok rumah mereka sangat ketakutan, “ada apa  ini cu?,  tolong jangan sakiti kami,  kami hanya sepasang gelandangan!”,

 Mendadak ada perasaan menyesal dalam hatiku,  aku sangat iba sekali pada keadaan mereka suasana di dalam yang remang sedikit mengaburkan pandangan ku pada wajah mereka.  Suara itu lebih tua dari yang dengar di jalan tadi yang sekarang jelas bukan suara mamaku.  “maafkan saya nek,kek, saya hanya mampir saja, saya datang kesini untuk kunjungan kerja mensurvey untuk mendata warga disini?, boleh kita ngobrol-ngobrol sebantar kek”, “jangan cu, kami orang-orang bodoh tak tahu apa-apa, tak ada informasi yang akan cucu dapatkan dari kami”, kata mereka.   Mereka masih saja duduk di pojok yang merupakan daerah tergelap karena tak ada cahaya masuk,  “tolong bantu saya nek, kek data ini sangat saya perlukan, nantinya akan ada program bantuan untuk warga disini” jawabku dengan sangat sopan.   Aku beringsut mendekat tanpa aku sengaja salah satu dinding kardus tertusuk penaku, hingga cahaya menorobos masuk, tepat mengenai jari manis sang nenek, aku terperangah, kaget bukan kepalang, cincin itu.. ya cincin itu adalah cincin yang diperlihatkan kemarin oleh mamaku.  Cincin emas putih bertahtakan batu giok, aku pucat pasi keringat dingin semakin membasahi jilbab dan bajuku, dengan terbata-bata aku berkata..”mama..mamakah itu, mama?”, “siapa cu, mamamu, mana mamamu cu, diluarkah?, kamu kesini dengan mamamu kah?”, “ma.. berterus teranglah, pa… berterus teranglah sebenarnya apa yang terjadi mengapa mama dan papa di sini, berterus teranglah ma”.   Aku tergugu air mataku  tak dapat kubendung tumpah, sementara mereka masih saja dengan mimik keheranan,”siapa yang kau sebut mama dan papa cu?.. apakah kami?, bukan cu, kami hanyalah sepasang kakek nenek tunawisma yang kerjanya mengemis, bukan papa dan mamamu”,  “tidak.. mama papa mengakulah ma, coba tunjukkan jari manis mama,  bukankah disitu ada cincin yang kemarin mama tunjukkan padaku”, sesaat kemudian pecahlah tangis nenek itu tangis itu adalah tangis mama. 

Kemudian disusul suara sesegukan sang kakek, mereka menangis sangat sedih, hingga salah satu diantara mereka berbicara, “betul na.. papa harus membuka semua ini,.. kami adalah papa dan mamamu”,  deg.. bagai disambar petir hatiku terguncang, ternyata benar mereka adalah mama dan papaku, ternyata selama ini kesibukan kerja, konsultan proyek bangunan, meeting dengan rekan kerja, tinggal dihotel, semua itu adalah bohong belaka,  mendadak kepalaku berkunang –kunang dunia seakan berputar dan semuanya menjadi  serba gelap

---ooo0ooo---

“Alhamdulillah kamu sudah sadar na?” suara khas mama terdengar  ditelingaku, diringi suara papa “Alhamdulillah, na tenangkan hatimu kami disini di sisimu.   Kemudian kubuka mataku nampak mama dan papaku,  dalam penampilan seperti basa mamaku yang masih cantik dan papaku yang terlihat gagah dengan setelah kemeja dan celana berwarna coklat dan krem, aku mencoba tersenyum. “ma..pa.. dimana aku,  kita di kamar kostmu na”.   aku teringat pada kejadian itu dengan cepat aku duduk, “ma, pa, mengapa ini harus terjadi ?, nana nggak habis pikir, kita enak-enakan minta-minta sementara orang luar sana, papa lihatkan ada buruh bangunan, buruh pelabuhan, buruh pabrik, mereka berpeluh berkeringat tuk mencari rizki pa, sedang kita.hh..”.   Tak sanggup aku meneruskan kata-kataku aku tergugu, terisak semakin lama isakan itu semakin jelas terdengar dan aku menangis.”na..nana”,papa mencoba menenangiku. “tidak pa!”,  ini adalah kali pertama aku bersuara keras terhadap papa dan mamaku, aku sadar bahwa itu salah namun aku begitu kecewa dengan mereka, mama dan papaku.  ”Pa..ma.. aku bukan malu pa, tolong papa dan mama mengerti, aku sangat kecewa karena mengemis sama dengan menipu, papa dan mama telah menipu banyak orang, agar mereka berbelas kasih dan memberikan uang itu adalah penipuan ma!,  dan aku menyesal hidup dalam darah dan daging hasil dari perbuatan mama dan papa yang menipu orang banyak”.

Lamat-lamat kuamati ada butiran embun bening disudut mata papa dan mamaku, mereka terisak.   Kemudian diantara isakan mereka papku berkata “Baiklah na kami mengaku salah, hal ini terjadi setelah usaha kontraktor papamu bangkrut  sepuluh tahun yang lalu,  papa buntu tidak menemukan jalan keluar.  Kemudian kami melihat pengemis jalanan, enak sekali mereka semua orang memberikan recehan dalam fikiran kami, jika sehari ada seratus orang memberikan recehannya maka sebulan sudah berapa, dan saat ini orang yang memberikan kepada kami adalah rata-rata uang dua ribuan, bahkan ada yang memberi sampai lima ribu, rata-rata penghasilan kami berdua adalah duabelas juta rupiah perbulan, mamamu rata-rata enam juta dan papa juga enam juta, karena kami mengemis ditempat yang terpisah,  maafkan kami na.. maafkan kami kami telah mengecewakan hatimu”.

Aku harus kuat aku harus menyadarkan mereka bahwa perbuatan mereka selama ini adalah salah dan aku harus mengajak mereka untuk berusaha yang sebenarnya. ”ma..pa.. aku tak apa-apa, yang sudah biaralah sudah, maka lebih baik uang yang ada papa gunakan untuk mengurus legalitas usaha kontraktor papa, dan sisanya untuk menebus kesalahan papa aku mohon papa sumbangkan pada LSM, dan lembaga yang bergerak di kemanusiaan, jika papa tidak mau melakukan itu, lebih baik nana pergi dari kehidupan papa dan mama!”,   nana masih bisa berusaha sendiri tanpa bantuan papa dan mama.  Mereka tambah terisak bahkan kali ini mereka menangis, “baik na.. papa dan mama akan melakukannya, sekarang kami sadar bahwa yang kami lakukan adalah salah”, tangis itu pecah lagi, akupun tak kuat untuk membendung tangisku, akhirnya kami menangis bersama dengan berpelukan.

---ooo0ooo---

Aku sangat bahagia sekali, hari ini adalah hari wisudaku, hatiku tambah senang ketika papa dan mama hadir disisiku pada saat yang bersejarah ini. Lengkaplah sudah semua impianku menjadi dokter namaku sekarang adalah dr. Trisna Tiara Azzahra.   Kebahagiaanku tembah lengkap ketika  kemudian diadakan acara syukuran  yang lakukan di kantor papa PT Bangkit Bersama Dhuafa, dimana papa sebagai pemiliknya, dan sekaligus direktur utamanya.  Acara dilakukan dengan sangat hikmat dengan mengundang beberapa yayasan yatim piatu, rumah-rumah jompo, dan para LSM yang bergerak dalam pengentasan kemiskinan dan ekonomi kerakyatan. Mama. Papa aku bangga padamu…

TAMAT 

Sang Penetes Embun
Batu Licin 14 okt 13  

Tidak ada komentar :

Posting Komentar