“Na, cepat sedikitlah!, Kang
Jajang sudah menunggu dari tadi, papamu juga tuh, jangan sampai bikin papamu
marah loh!”, suara mama berteriak dari luar pintu rumah terdengar sampai
kekamarku, begitulah mama jika dia berteriak maka gegerlah orang satu kampung. Hari ini adalah hari supersibuk di
keluargaku, dan hari yang bersejarah bagi keluargaku, khususnya aku, karena
hari ini aku akan berangkat ke kota Jakarta untuk melanjutkan studiku di
Universitas Indonesia. Banyak sekali
bekal yang kami bawa maklum jarak dari kampungku di Cilacap ke Jakarta lumayan
jauh ditempuh dengan perjalanan darat. Ada
berupa makanan, dari makanan berat nasi dan lauk pauk, sampai dengan cemilan,
ada obat-obatan, jaket, bahkan minuman supplement untuk Kang Jajang supir kami
telah juga kami sediakan.
Laju mobil masih perlahan,
samar-samar suara Iwan Fals menyanyikan lagu orang pinggiran terdengar dari
tape mobil kami. “Na, nanti kami tidak
usah menginap di kost kamu ya!”, suara mamaku memecah kebuntuan, sementara laju
mobil kami telah melewati beberapa kilometer namun masih di jalan desa kami. “lo…
kemarin katanya papa mau nginep ?” kataku sedikit protes,”inikan hari pertama
aku di Jakarta”, “ iya, rencananya begitu tetapi rencana berubah karena
pekerjaan papa sangat menumpuk sayang”, papaku kali ini turut berbicara. “Papa harus menyelesaikan proyek-proyek
bangunan yang belum selesai, dan mama sebagaimana biasa harus menemani papa,
karena tanpa mama tidak ada yang mengatur keuangan papa, kamu harus mengerti ya
sayang!, papa yakin putri papa pasti kuat ok..!”. “yah… apa boleh buat, tapi mama dan papa
harus menemani nana sampai sore ya?” pintaku pada mama dan papa. Kurasa hanya permintaan itu yang dapat aku
lakukan, karena jika papa, mama, sudah mengatas namakan kesibukan kerja, mau
tidak mau aku harus menerima.
Hal ini telah sering aku lalui,
tinggal dirumah dalam kesendirian tanpa mama dan papa disisiku, karena sebagai konsultan
proyek bagunan, mereka sangat sibuk. “Ma,
papa dan mama kan lebih sering di jakarta dari pada di Cilacap, karena kerjaan
papa banyak disana, kenapa sih aku nggak tinggal bersama papa dan mama saja di
Jakarta, kenapa aku kost di Depok?”, “nana, papa dan mama sebagai konsultan
property freelance, kami tidak memiliki kantor di Jakarta karena menghindari
berbagai pungutan pajak, dan juga kami tidak ada rumah untuk tempat tinggal
kami, karena kerja kami sangat mobile, dari kota ke kota bahkan sampai ke
daerah Indonesia bagian timur, jadi kami lebih baik menginap di hotel saja,
jelaskan… jadi itu makanya kamu tidak tinggal di rumah papa dan mama di
Jakarta, dan lagi di kost yang dekat kampus kamu akan lebih konsen kuliahnya”.
Kami adalah salah satu keluarga kaya
di desa kami. Rumah kami adalah rumah
yang terbesar disana, namun sebagai anak seorang kaya, aku sering merasa iri
dengan mereka kawan-kawanku yang selalu berkumpul dengan ayah dan Ibunya. Tak terasa aku menangis ada butiran embun
bening di sudut mataku, kutatap jendela mobil dengan pandangan kosong,
pohon-pohon terasa berlari, dan jejeran warung-warung pinggir jalan sudah mulai
dibuka. Seharusnya saat ini aku gembira
karena besok aku sudah menjadi mahasiswi disebuah perguruan tinggi negeri
ternama di kota Jakarta, sebuah status yang amat aku impikan. Yah.. memang sudah nasibku selama ini tinggal
di keluarga kaya di Cilacap, dengan kedua orang tua yang bekerja jauh di kota
Jakarta. Ada harap begitu besar,
setelah diterimanya aku di Universitas Indonesia akan lebih mendekatkan aku
dengan kedua orang tuaku, yang lebih banyak waktunya di Jakarta dari pada di Cilacap.
---ooo0ooo---
Tak terasa telah enambulan aku
kuliah diuniveritas ini, ada kebanggaan dalam hatiku, dapat kuliah dikampus
yang megah ini. Hari-hari kulalui
dengan kesibukan belajar di kampusku ini, apalagi sejak dua bulan terakhir aku
bergabung dengan kegiatan rohani di mesjid kampusku, hingga hari-hariku semakin
supersibuk saja, sebagai masahiswi dan sebagai aktifis mesjid kampus.
Intensitas hubungan dengan kedua
orang tuaku semakin tidak intensif,
sering hanya dapat berhubungan via telpon saja, padahal kami dalam kota
yang berdekatan saja, aku di depok sedangkan mereka dijakarta. Jika aku ingin ketemu ada saja alasan mereka
makan siang dengan partner kerjalah, rapat di hotel ini itulah, hingga jika aku
bertemu mereka, pasti merekalah yang memang berkendak ingin bertemu denganku.
Seperti saat ini aku kangen sekali ingin bertemu mereka, dan mengajak mereka
hadir dalam acara seminar di mesjid kampusku yang terbuka untuk umum, namun
lagi-lagi kesibukan kerja mereka tidak memungkinkan hal itu terlaksana.
“Rum, sebelum kita ke mesjid
kampus, kita sarapan dulu yuk!”, “Ayuuk”, jawab ningrum. “Na.. kamu biasa makan
bakso disini ya?”, tanya ningrum teman baru dikampusku, Alhamdulillah aku sudah
memiliki beberapa teman yang sepertinya dapat dijadikan sahabat, “Nggak juga sih rum,
kan kamu tau aku baru aja di kota ini baru enambulan, makanya ini masih taraf
survey”, jawabku menjelaskan. Ningrum hanya mengangguk kecil sambil
bergumam”oooo…”. Kemudian kami asyik menyantap bakso panas sambil bercerita
persiapan seminar nanti.
Darisudut mataku aku melihat
sepasang kakek nenek, masuk warung bakso tempat kami makan, dengan pakaian,
kumal, tak beralas kaki. Secara reflek aku mengeluarkan dompetku,
sepasang pengemis itu masih meminta kepada orang yang terdekat dengan pintu, aku
telah siapkan uang dua ribuan. Ketika
hampir tiba dihadapanku, aku terperangah melihat kedua pengemis itu yang juga
sedang melirik kepadaku. Aku lihat wajah yang tak asing lagi, yaitu wajah mama dan papaku,
namun mereka jauh lebih tua dan berkulit lebih hitam, kami bertatapan hanya
dalam hitungan detik. Aku masih
terbengong ketika sepasang pengemis itu memalingkan wajah mereka dan berbalik
melangkah keluar, dengan tergopoh-gopoh., “hey tunggu.., tunggu.. aku ada uang
untuk kalian, dengan penasaran kucoba mengejar, mereka sudah berlalu
meninggalkan warung bakso. “Na, nana…
kenapa kamu?”, semangat banget sih mau amal, kan bukan mereka aja pengemis di
Jakarta, ntar juga kamu bisa amal kepengemis yang lain, “eh, iya rum, ntar juga
ada lagi yah”, ujarku berusaha menutupi raut wajah keterkejutanku karena
melihat sepasang pemgemis itu. “ ayo, rum sudah jam delapan pagi nih, kita
harus cepat, aku harus melihat kesiapan seminar, malu nanti kalu pas waktunya
belum pada siap!”, “ok na, biar aku yang bayar!. Sejurus kemudian aku dan ningrum sudah
melaju dengan Honda jazz milik ningrum menuju mesjid kampusku.
Jam dinding kamarku menujukkan
jam tujuh malam, penat rasa seluruh badanku, baru saja aku sukses mengadakan
seminar tentang memberdayakan ekonomi masyarakat marjinal. Aku sebagai ketua panitia sangat penat fisik
dan fikiranku. “hhh..!!” rasa nyaman sekali saat aku rebahkan
tubuh penatku di kasur empuk kost ku.
Kost ku termasuk kost yang mahal di bilangan Depok di lengkapi dengan
springbed, AC, dan kamar mandi yang nyaman di dalam kamar, belum lagi di bagian
luarnya dilengkapi taman kecil yang indah dan parkiran yang luas. Anehnya mata
ini tak mau juga di ajak terpejam bayangan wajah sepasang kakek nenek pengemis
itu masih saja bergayut di mataku. Tatapan
mata kakek itu sama dengan tatapan mata Papa, dan nenek itu mengapa tatapan
teduhnya juga sama dengan tatapan mata yang hanya kutemui diteduhnya tatapan
mata mamaku. Ahhh ini hanya kebetulan
saja hatiku berkata, jika itu mama dan papa,…tak mungkin, itu tidak mungkin,
mereka tampak berkulit lebih hitam lusuh, dan jauh sekali lebih tua. Mereka kakek-kakek dan nenek-nenek sedangkan
papa dan mamaku masih gagah dan jauh lebih segar. “ahh… entahlah hampir sakit kepala aku
memikirnya, apakah papa dan mama memiliki saudara di jakarta ini?, apakah
karena mereka miskin lalu papa dan mama tidak mau mengakui mereka, lalu mengapa
mereka tadi tidak meneruskan minta uang kepadaku, apakah mereka tahu bahwa aku
anak papa dan mama saudaranya.. ahh.. semakin berdenyut rasa dikepala
memikirkannya.
Dari pada pusing-pusing lebih
baik aku telpon saja mereka, aku juga sudah kangen dengan mereka. terdengar
nada dering di ujung nomor yang aku pencet, beberapa detik kemudian suara mama
terdengar di ujung telpon. “Halo,
assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, suara itu begitu khas, “wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”,
aku menjawab salam mama. “Na, bagaimana kuliahmu lancar bukan, mama yakin putri
cantik mama pasti pintar dikelasnya”. “lancar ma, bahkan nana beberapa kali dapat
nilai A”. “wah betul kan, anak mama pasti pintar, eh na
kamu hati-hati ya jaga diri kamu saat ini mama tidak sedang di Jakarta, biasa
papamu mengajak mama keluar kota ada beberapa pekerjaan di Ciamis, kamu jangan
jajan sembarangan ya!, jangan jajan bakso diwarung pinggir jalan seperti
dipoltangan itu”. Deg.. hati ku berdetak warung bakso?, poltangan?, mengapa
mama bisa tahu kalau aku makan bakso di sana.
“ma, kok mama bisa tahu aku makan
bakso di sana”, “eh..hmm, eh gini, mamakan
biasa kalau lagi macet ambil jalan alternatif, yang melewati salah satu warung bakso,
bakso itu laris sekali, banyak para
mahasiswa yang jajan disana, makanya
mama tak suka kamu makan disana kayaknya nggak higienis, kotor cucian piringnya
kan terlihat dari jalan sangat tidak higienis”. “o.. iya lah ma, eh ma papa mana ma?”, “biasa kamu kayak ngak tau kebiasaan papamu
aja, dia lagi dinner sama koleganya”. “ok lah ma, salam ya sama papa”,” o.. iya
na, dua hari lagi papa dan mama mau main ke kost kamu, boleh kan?”, “wah kenapa
nggak boleh ma, jam berapa ma?”, “kayaknya pagi dah ya, karena siangnya papa
dan mama ada acara di hotel Mulya, sudahnya na, belajar baik baik ya sayang,
biar cepat jadi dokter, asalamu’alaikum,
“wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”.
hhh.. aku mengambil nafas kemudian aku tertidur dengan bayangan wajah
kakek nenek pengemis itu tetap di mataku.
---ooo0ooo---
Suasana rapat pengurus Lembaga
dakwah kampus begitu dinamis, banyak sekali masukan dari para
kawan-kawanku. Mereka sangat antusias membahas followup dari
seminar pemberdayaan ekonomi kaum marjinal. “Alhamdulillah acara kita sukses besar,
bahkan yang tidak kita sangka-sangka Bapak Menteri Sosial juga bisa hadir di
acara kita, untuk hal ini, secara khusus Pak Dekan fakultas kita memberikan
apresiasi kepada kita”. Akhi Nandang
memulai rapat dengan beberapa kata pengantar.
Kami semua menyimak pembicaraannya. “dan pada kesempatan ini saya selaku ketua
pengurus masjid kampus mengucapkan selamat kepada Ukhti Nana, sebagai ketua
panitia, telah sukses mengadakan acara yang tak bisa dibilang kecil ini, dan
berkat dia juga berhasil mendatangkan Bapak Menteri Sosial, dan juga Bapak
menteri Perindagkop dan UKM”, tak terbayangkan bagaimana warna wajahku saat
itu, mendapat pujian dari ketua pengurus masjid dihadapan para ikhwan
dan akhwat anggota Lembaga dakwah Kampus. “untuk selanjutnya kita berkumpul disini,
memdiskusikan followup dari acara itu, ada beberapa dana yang terkumpul, dari
para undangan, dan juga dari kedua Bapak Menteri itu, jumlah uangnya tidak
sedikit mari kita diskusikan mau kita apakan uang sebanyak ini.
“begini saja!’ tiba-tiba suara
ikhwan lain terdengar, itu suara Amri dari Fakultas Teknik, “begini, bagaimana
kalau kita salurkan saja uang itu ke Dompet Duafa, biar lembaga itu saja yang,
menyalurkannya toh lembaga itu sudah jelas kredibilitasnya, pasti sampai kepada
sasaran”, “baik, termakasih akh Amri usulnya sangat baik sekali, tetapi saya
akan beri lagi kesempatan pada yang lain apakah ada usulan yang lebih
brilliant”. Kemudian suasana hening
beberapa menit rupanya akh Nandang memang memberikan kesempatan untuk kami
berfikir. Mendadak aku dapat sebuah
ide, “begini saja”, teriakku. “ya
silahkan ukhti nana!”, “begini, alangkah lebih baiknya jika dana itu kita
gunakan untuk program Mesjid kampus kita lagi, kita buat yang benar-benar tepat sasaran”,
seperti apa misalnya na?”, kali ini ningrum menimpali pembicaraan. “Begini bagaimana jika kita buat pelatihan
untuk beberapa masyarakat miskin, seperti pelatihan budidaya ikan kolam,
pelatihan buat kerajinan tangan yang bisa dijual, dan lain-lain”. “tapi siapa yang akan melatihnya na?” akhi
Amri angkat bicara. “kita dapat berkerja sama dengan Dinas Kementrian Sosial, aku
yakin mereka pasti memiliki tenaga pelatih seperti itu, atau paling tidak dapat
mengarahkan kita kepada lembaga-lembaga lain yang bisa melakukannya. sedangkan untuk siapa yang melobi Dinas
Kementrian Sosial biar saya saja, karena saya ada chanel yang daapt menghubungkan
kita dengan pihak kementrian sosial”. “ok
aku rasa hal ini sangat mungkin dilakukan, bagaimana teman-teman usul siapa
yang akan kita pilih apakah usul akh Amri, atau usul dari ukhti Nana, untuk itu
kita polling”. Dan hasil poling ternyata suara bulat memilih usulku.
Suasana jalan Margonda Raya
begitu padat siang ini aku masih di
jalan ini, diantara mobil-mobil yang terjebak macet. Saat
ini aku sedang menjalankan tugas melobi kementrian sosial untuk dapat bekerja
sama dalam program pelatihan kepada para masyarakat miskin. Seperti biasa aku ditemani ningrum dengan
Honda jazznya. Mobil melaju tersendat
sekali, tiba-tiba aku melihat sepasang pengemis kakek nenek , yang aku lihat di
warung bakso kemarin. Sekarang sepasang
pengemis itu berjalan bergandeng tangan menyusuri emperan toko, dengan baju
seperti kemarin. Aku menurunkan kaca
jendela untuk melihat dengan jelas kepada mereka, sementara mobil berjalan
dengan pelannya dalam rhitme kemacetan. Sebentar
lagi akan sampai, mobil ini akan mendahului mereka, saat yang ditunggu tiba mobil
yang kami naiki sudh dekat sekali dengan mereka aku bisa melihat dekat bahu
mereka yang berjalan terbugkuk-bungkuk. Hingga
kami mendahului satu jengkal didepan mereka aku menoleh kebelakang, dan tatapan
mata kami bertemu, tatapan mata teduh itu hanya dimiliki oleh mama tidak pernah
aku melihat orang lain memilikinya. Aku juga
dapat melihat jelas raut wajah sang nenek, wajah itu mirip sekali dengan wajah
mama, namun banyak kerut disana-sini, dan sangat kotor. “Stop dulu rum, aku mau turun dulu nanti kamu
tunggu aku di depan kampus Gunadarma ya, aku akan kesana sebentar lagi”. ”mau ngapain sih na, ngapain kamu turun
disini?” tanya ningrum sedikit bingung. “sudahlah nanti aku ceritain”, jawabku
sambil dengan cepat melompat keluar mobil. Aku menoleh kebelakang dan sepasang pengemis
itu seakan menyadari dan ingin menghindar dariku, kami bertatapan sejenak
kemudian mereka dengan cepat berlari. Aku
kejar mereka melewati lorong-lorong diantara ruko-ruko yang berjajar di tepian
jalan, lari mereka sangat cepat tidak seimbang dengan jalan mereka yang
terbungkuk-bungkuk tadi, aku setengah tak yakin kenapa kakek nenek itu berlari
begitu cepat, hingga tiba pada persimpangan jalan kecil yang aku tak tahu lagi
kemana arah mereka.
Seperti malam kemarin, malam ini
aku masih dibayang-bayangi wajah kakek dan nenek itu, beribu tandatanya
berkecamuk dikepalaku, mengapa wajah mereka sangat mirip dengan wajah mama dan
papaku?, mengapa mereka seakan terkejut saat bertatapan denganku. Pertanyaan yang paling besar lagi adalah
mengapa mereka berlari menghindar dariku saat aku turun dari mobil?. ”hhh.. aku mengambil nafas panjang kemudian
disusul dengan dentang tiang listrik di pukul oleh peronda malam sebagai tanda
bahwa saat ini telah pukul dua dinihari.
---ooo0ooo---
“bagaimana, ukhti nana progress
dari followup ke kementrian sosial”, suara akh Nandang diujung telpon.
“Alhamdulillah lancar semua, saya telah berhasil melobi mereka dan telah
mempertemukan saya dengan salah satu LSM yang bergerak di pembinaan ekonomi
kerakyatan, mereka lengkap dengan tenaga pelatih, mereka tinggal menunggu
konfirmasi waktunya saja Akh”, jawabku. ” Baik kalau begitu, tugas selanjutnya adalah
mensurvey daerah yang merupakan kantong-kantong kemiskinan, karena kita akan
mengadakan pelatihan di lokasi mereka untuk
memberdayakan potensi mereka, itu adalah tugas akh Amri”. “OK Ukhti nana,
sampai bertemu lagi di acara pelatihan, terimakasih telah bekerja dengan baik”.
“Baik Akh.. oh..ya sampaikan pada akh Amri bahwa saya mau turut serta membantu
kegiatan survey, kebetulan besok tidak ada kuliah”.”ok.. akan saya sampaikan, asalamu’alaikum”,
“wa’alaikum salam”.
Aku meletakan Blackbarry Q10 ku
di kasur, hari ini aku tidak ada jadwal kemana-mana. Sebenarnya ningrum memintaku menemaninya ke
toko busana muslim, tetapi aku telah ada janji dengan mama dan papaku mereka
akan berkunjung ke kost ku hari ini. ”Ning…nong…ning..nong..
Assalamualaikum.. bell kamarku berdentang, itu dia pasti mereka. Dengan bergegas karena kangen aku membuka kamar
kost ku, ternyata betul senyum mama dan papaku telah hadir di muka kamarku. “Assalamualaikum”, “waalaikum salam”, aku
menjawab salam mereka. “wah.. silahkan masuk ma, pa!” aku mempersilahkan mereka
masuk. “sedang apa na, pasti sedang tidur ya?, kurangilah tidur pagi na,
perawan nggak baik tidur pagi nanti jauh jodoh lo.!”, biasa mama langsung saja
nasehat panjangnya mengalir tanpa dapat
ku cegah,” waaw.. ada yang berubah dari putri mama nih, sejak kapan kamu berjilbab
na?”, “eh,, iya ma sejak dua bulan terakhir ini ma, aku sekarang aktif di
kegiatan kerohanian di kampus ma”, “oo.. ya itu bagus papa mendukung, karena
itu salah satu efektif menangkal dampak pergaulan yang begitu bebas dikalangan
remaja pelajar dan mahasiswa”, papaku menimpali, “ya.. mama juga mendukungmu
sayang, kata mama.
“lo… mana juga nih kaset-kaset
iwan falsmu, biasanya kalau mama datang pasti suara Iwan Fals memenuhi ruangan
ini?”, “ada ma aku simpan di koper, jika lagi mau aja sesekali aku denger”.
“na.. coba lihat ke parkiran, dari sini, ni dari jendela ini”, sela papa
diantara percakapanku dengan mama. “ada apasih pa?” tanyaku penasaran.
“Sudahlah coba kamu lihat dari sini jelas kok” mama menimpali. Kusibakkan tirai jendelaku, dan tampak di
halaman sebuah mobil Toyota Yaris berwarna pink dengan motif hello kitty. Mobil siapa mama, mama ganti mobil lagi,
terus mobil kita yang kemarin mana ma?”, aku menghujani mereka dengan
pertanyaan. “enggak lah masak mama pake
mobil kayak gitu, ketuaan na”, kata mamaku, “itu mobil hadiah untuk kamu, kamu
sukakan. “hahhh..!! untukku”, aku melonjak kaget bercampur gembira. “iya na itu
untuk kamu”,” terimakasih ma, pa”. kemudian aku raih tangan papa kemudian mama
dan kucium punggung telapak tangan mereka. “sama-sama sayang tapi syaratnya
kamu harus rajin belajar ya, biar anak mama jadi dokter”, “baik ma”, jawabku.
Aku melirik pada jari manis mama
disana melingkar sebuah cincin putih bertahta batu kehijauan,”ma, cincin baru
ya..?”, “oh.. iya ini hadiah dari papa, kata papa ini cicin batu giok bagus gak
na?”, bagus ma, cocok sekali di jari manis mama, jadi semakin manis,
ha..ha..”,ah kamu bisa aja na.. kemudian kami tertawa bersama.
Hari telah menunjukkan pukul
sebelas malam, akhir-akhir Ini semenjak pertemuanku dengan sepasang kakek nenek
pengemis itu. Aku selalu tak dapat tidur
cepat, bayangan tatapan mata dan wajah mereka selalu membuat aku tak dapat
memejamkan mata seperti sekarang ini. Tatapan
mama dan papa tadi pagi begitu sama
dengan tatapan mereka, bayangan itu terus ada dimataku hingga aku tertidur.
---ooo0ooo---
Kali ini aku berada di kawasan
Lenteng Agung, salah satu kantong kemiskinan di Jakarta. Kami saat ini sedang melaksanakan tugas Survey
untuk penggalian potensi yang dapat dikembangkan di daerah ini. Toyota Yaris pemberian mama dan papaku aku
parkir di halaman rumah seorang warga yang berada dipinggir jalan seteah aku
mohon izin pada si pemilik rumah. Setelah
itu kami menelusuri rel kereta dimana di kanan kirinya banyak berdiri
rumah-rumah kardus, dan triplek, yang banyak dihuni oleh keluarga-keluarga
miskin. Kami memasuki satu persatu
rumah itu, mendata, dan sedikit wawancara dengan mereka.
Hingga suatu ketika aku melihat
sepasang kakek dan nenek itu, ternyata mereka tinggal disekitar sini. Kali ini aku tak ingin gagal seperti kemarin,
aku harus tahu siapa mereka. Aku melirik dengan ekor mataku, keduanya berjalan
terbungkuk dan terseok menelusuri rel.
Bagus sepertinya mereka tak mengetahu keberadaanku. “Rum, aku tinggal sebentar ya!, sebentaaar
saja,” pintaku pada ningrum yang sedang memawancari salah seorang kepala
keluarga, “iya..ya” jawab ningrum, jelas sekali nampak keheranan pada wajah
cantiknya.
Setengah berlari aku mengikuti
kedua pengemis itu, mereka berjalan pelan sekali terbungkuk dan terseok,
seok. Jarakku sangat dekat dengan
mereka sesekali aku harus bersembunyi diantara rumah-rumah kardus itu, saat
mereka menoleh kebelakang. Hingga suatu
saat di jarak yang aku dapat mendengar percakapan mereka. “Pa.. hari ini aku dapat cukup lumayan,
bagaimana dengan papa?”, “lumayan juga ma, syukurlah mungkin besok kita sudah
bisa pulang kampung dulu ma”. Deg..suara
itu… suara itu, hampir pingsan aku
mendengarnya suara itu sangat mirip dengan suara papa dan mamaku. Aku kuatkan hatiku untuk terus mengikuti
mereka, ada kejanggalan dari pembicaraan mereka, mereka saling memanggil dengan
sebutan papa, mama, aku semakin yakin bahwa itu adalah papa dan mamaku, tapi..
tapi.. mengapa mereka disini, dan mengapa mereka berperilaku seperti itu. Kepalaku berdenyut sakit sekali, seluruh
persendianku lemas terasa mau lepas.
sementara mereka terus berjalan aku kuatkan hati dan diriku untuk terus
mengikuti mereka.
Aku terus saja mengendap-endap
mengikuti mereka, hingga tibalah pada sebuah rumah kardus. Mereka berhenti, membuka pintu rumah itu dan
masuk, rupanya disini tempat tinggal mereka.
Aku panasaran sekali, aku hampiri
rumah kardus itu, dan berdiri tepat di pintu, ada keraguan dalam hatiku, betulkah
mereka papa dan mamaku. keringat dingin
bercucuran membasahi kerudung dan gamisku, niatku sudah bulat aku harus
masuk. “Assalamu’alaikum, assalamu alaikum, tidak
ada jawaban dari dalam padahal barusaja mereka masuk. Aku mengintip kedalam dari sobekan kardus
pintu rumah itu, gelap tidak ada siapapun disana. Aku ragu, padahal dengan sekali dorong saja
sudah dapat terbuka pintu kardus itu. Dalam
keraguan aku berjalan mondar-mandir di muka rumah itu, hingga kuputuskan untuk
membuka dan masuk kedalam, Brak… suara kardus sobek terdengar manakala aku
mendorong paksa rumah itu, nampak oleh
ku sedua kakek-nenek itu duduk di pojok rumah mereka sangat ketakutan, “ada apa ini cu?, tolong jangan sakiti kami, kami hanya sepasang gelandangan!”,
Mendadak ada perasaan menyesal dalam hatiku, aku sangat iba sekali pada keadaan mereka
suasana di dalam yang remang sedikit mengaburkan pandangan ku pada wajah
mereka. Suara itu lebih tua dari yang
dengar di jalan tadi yang sekarang jelas bukan suara mamaku. “maafkan saya nek,kek, saya hanya mampir
saja, saya datang kesini untuk kunjungan kerja mensurvey untuk mendata warga
disini?, boleh kita ngobrol-ngobrol sebantar kek”, “jangan cu, kami orang-orang
bodoh tak tahu apa-apa, tak ada informasi yang akan cucu dapatkan dari kami”,
kata mereka. Mereka masih saja duduk di
pojok yang merupakan daerah tergelap karena tak ada cahaya masuk, “tolong bantu saya nek, kek data ini sangat
saya perlukan, nantinya akan ada program bantuan untuk warga disini” jawabku
dengan sangat sopan. Aku beringsut
mendekat tanpa aku sengaja salah satu dinding kardus tertusuk penaku, hingga
cahaya menorobos masuk, tepat mengenai jari manis sang nenek, aku terperangah,
kaget bukan kepalang, cincin itu.. ya cincin itu adalah cincin yang diperlihatkan
kemarin oleh mamaku. Cincin emas putih
bertahtakan batu giok, aku pucat pasi keringat dingin semakin membasahi jilbab
dan bajuku, dengan terbata-bata aku berkata..”mama..mamakah itu, mama?”, “siapa
cu, mamamu, mana mamamu cu, diluarkah?, kamu kesini dengan mamamu kah?”, “ma..
berterus teranglah, pa… berterus teranglah sebenarnya apa yang terjadi mengapa
mama dan papa di sini, berterus teranglah ma”. Aku tergugu air mataku tak dapat kubendung tumpah, sementara mereka
masih saja dengan mimik keheranan,”siapa yang kau sebut mama dan papa cu?..
apakah kami?, bukan cu, kami hanyalah sepasang kakek nenek tunawisma yang
kerjanya mengemis, bukan papa dan mamamu”, “tidak.. mama papa mengakulah ma, coba
tunjukkan jari manis mama, bukankah
disitu ada cincin yang kemarin mama tunjukkan padaku”, sesaat kemudian pecahlah
tangis nenek itu tangis itu adalah tangis mama.
Kemudian disusul suara sesegukan sang kakek,
mereka menangis sangat sedih, hingga salah satu diantara mereka berbicara,
“betul na.. papa harus membuka semua ini,.. kami adalah papa dan mamamu”, deg.. bagai disambar petir hatiku terguncang,
ternyata benar mereka adalah mama dan papaku, ternyata selama ini kesibukan kerja,
konsultan proyek bangunan, meeting dengan rekan kerja, tinggal dihotel, semua
itu adalah bohong belaka, mendadak
kepalaku berkunang –kunang dunia seakan berputar dan semuanya menjadi serba gelap
---ooo0ooo---
“Alhamdulillah kamu sudah sadar
na?” suara khas mama terdengar
ditelingaku, diringi suara papa “Alhamdulillah, na tenangkan hatimu kami
disini di sisimu. Kemudian kubuka
mataku nampak mama dan papaku, dalam
penampilan seperti basa mamaku yang masih cantik dan papaku yang terlihat gagah
dengan setelah kemeja dan celana berwarna coklat dan krem, aku mencoba tersenyum.
“ma..pa.. dimana aku, kita di kamar
kostmu na”. aku teringat pada kejadian
itu dengan cepat aku duduk, “ma, pa, mengapa ini harus terjadi ?, nana nggak
habis pikir, kita enak-enakan minta-minta sementara orang luar sana, papa
lihatkan ada buruh bangunan, buruh pelabuhan, buruh pabrik, mereka berpeluh
berkeringat tuk mencari rizki pa, sedang kita.hh..”. Tak sanggup aku meneruskan kata-kataku aku
tergugu, terisak semakin lama isakan itu semakin jelas terdengar dan aku
menangis.”na..nana”,papa mencoba menenangiku. “tidak pa!”, ini adalah kali pertama aku bersuara keras
terhadap papa dan mamaku, aku sadar bahwa itu salah namun aku begitu kecewa
dengan mereka, mama dan papaku. ”Pa..ma..
aku bukan malu pa, tolong papa dan mama mengerti, aku sangat kecewa karena
mengemis sama dengan menipu, papa dan mama telah menipu banyak orang, agar
mereka berbelas kasih dan memberikan uang itu adalah penipuan ma!, dan aku menyesal hidup dalam darah dan daging
hasil dari perbuatan mama dan papa yang menipu orang banyak”.
Lamat-lamat kuamati ada butiran
embun bening disudut mata papa dan mamaku, mereka terisak. Kemudian
diantara isakan mereka papku berkata “Baiklah na kami mengaku salah, hal ini
terjadi setelah usaha kontraktor papamu bangkrut sepuluh tahun yang lalu, papa buntu tidak menemukan jalan keluar. Kemudian kami melihat pengemis jalanan, enak
sekali mereka semua orang memberikan recehan dalam fikiran kami, jika sehari
ada seratus orang memberikan recehannya maka sebulan sudah berapa, dan saat ini
orang yang memberikan kepada kami adalah rata-rata uang dua ribuan, bahkan ada
yang memberi sampai lima ribu, rata-rata penghasilan kami berdua adalah
duabelas juta rupiah perbulan, mamamu rata-rata enam juta dan papa juga enam
juta, karena kami mengemis ditempat yang terpisah, maafkan kami na.. maafkan kami kami telah
mengecewakan hatimu”.
Aku harus kuat aku harus
menyadarkan mereka bahwa perbuatan mereka selama ini adalah salah dan aku harus
mengajak mereka untuk berusaha yang sebenarnya. ”ma..pa.. aku tak apa-apa, yang
sudah biaralah sudah, maka lebih baik uang yang ada papa gunakan untuk mengurus
legalitas usaha kontraktor papa, dan sisanya untuk menebus kesalahan papa aku
mohon papa sumbangkan pada LSM, dan lembaga yang bergerak di kemanusiaan, jika
papa tidak mau melakukan itu, lebih baik nana pergi dari kehidupan papa dan
mama!”, nana masih bisa berusaha
sendiri tanpa bantuan papa dan mama. Mereka
tambah terisak bahkan kali ini mereka menangis, “baik na.. papa dan mama akan
melakukannya, sekarang kami sadar bahwa yang kami lakukan adalah salah”, tangis
itu pecah lagi, akupun tak kuat untuk membendung tangisku, akhirnya kami
menangis bersama dengan berpelukan.
---ooo0ooo---
Aku sangat bahagia sekali, hari
ini adalah hari wisudaku, hatiku tambah senang ketika papa dan mama hadir
disisiku pada saat yang bersejarah ini. Lengkaplah sudah semua impianku menjadi
dokter namaku sekarang adalah dr. Trisna Tiara Azzahra. Kebahagiaanku tembah lengkap ketika kemudian diadakan acara syukuran yang lakukan di kantor papa PT Bangkit
Bersama Dhuafa, dimana papa sebagai pemiliknya, dan sekaligus direktur
utamanya. Acara dilakukan dengan sangat
hikmat dengan mengundang beberapa yayasan yatim piatu, rumah-rumah jompo, dan para
LSM yang bergerak dalam pengentasan kemiskinan dan ekonomi kerakyatan. Mama.
Papa aku bangga padamu…
TAMAT
Sang Penetes Embun
Batu Licin 14 okt 13
Tidak ada komentar :
Posting Komentar