Minggu, 03 November 2013

Tekat dalam Pikulan Cendol

“Pak.. cepat anakmu sudah datang tuh, waktu makan siang sudah tiba”, suara Istriku  terdengar  diantara suara deru mobil dan kendaraan yang melaju di hadapan kami.  Betul saja disamping istriku sudah kulihat sosok anak sematawayangku Satria.   Satria sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.   Seperti hari-hari kemarin saat  ini tanpa malu sambil pulang dari  sekolah SMAnya membeli nasi dan lauk pauk untuk aku dan  istriku  yang berjualan dipasar.   Aku berjualan cendol, sedangkan disampingku  istriku hanya dengan beralas tikar menjual sayur dan bumbu-bumbu dapur.  Kami berjualan di pinggir jalan  samping pasar Harian  Simpang  Batulicin ,  sebuah pasar  tradisional di kota Batu Licin  Kalimantan selatan.

“Pak, Satria besok di disuruh membeli buku milimeterblok, untuk menggambar teknik, beliin ya Pak!”, pinta Satria di sela-sela membuka bungkus nasi untuk kami.  “iya.. Sat kapan mau belinya?”.  “sekarang Pak, karena besok pagi sudah mau dipakai”.  Aku mengeluarkan lembar uang dua puluh ribuan.  Memang sudah menjadi tekatku apapun yang terjadi  harus menjadikan pendidikan anak sebagai prioritas.  Ingin rasanya keluar dari  belenggu kemiskinan yang akrab sekali dengan keluargaku.  Aku tak ingin mewariskan kembali kemiskinan ini pada generasi sesudahku.  Pernah suatu ketika Satria berkata  ia ingin berjualan asongan, seperti teman-temannya yang lain dan berhenti sekolah, aku marah besar saat itu. Hingga saat ini kata-kata seperti itu tidak pernah keluar dari mulutnya.

Ya..anakku adalah harapan bagiku, untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, cukuplah sudah diriku yang sekolah hanya Sekolah Dasar,  hingga jadi orang termajinalkan di sudut kota Batu Licin ini.  Seorang ayah yang hanya mengandalkan berjualan cendol serta terpaksa mengizinkan istrinya membantu perekonomian keluarga dengan berjualan sayur dan bumbu dapur. Hhh…. Aku menghela nafas,  terbayang bagaimana diriku saat kecil, sangat ingin sekali menjadi insinyur pertanian, karena didesaku dahulu ada seorang penyuluh pertanian yang  kulihat sangat gagah dengan pakaian seragamnya.   Kerap aku melihatnya saat Bapakku menghadiri acara penyuluhan pertanian yang dipimpin olehnya.   Cita-cita yang harus kukubur dalam-dalam karena Bapakku hanya seorang buruh tani ditanah seorang kaya didesaku.

“Pak, Satria pulang kerumah dulu ya,!”, suara Satria membuyarkan lamunanku. “iya nak, hati-hati ya, jangan lupa setelah dirumah kamu perisiapkan adonan cendol ya nak!”, “Baik Pak, Assalamu’alaikum”, “waa’laikum salam warahmatullahi wabarakatuh”.  Kutatap punggung Satria anak lelakiku yang sangat aku banggakan itu, hingga tubuhnya menghilang di kelokan lorong pasar. Ada kegetiran dalam hatiku, kasihan anakku  yang  hanya berbapak  seorang penjual cendol.   Sepulang sekolah dia harus menyiapkan adonan untuk cendol , hari-hari dijalaninya dengan penuh keprihatinan rumah yang seadanya saja, pakaian, makanan, yang serba alakadarnya, sering aku menangis saat membayangkan anakku di sekolahnya, dalam lingkungan pergaulannya di mana anak-anak sebayanya mendapatkan fasilitas yang serba lebih  dari orang tuanya,  dimana anak para orang kaya memamerkan kekayaan orang tuanya, sedang satria…. Apa yang dibanggakannya dari diriku, aku hanya punya tekat dan cinta untuknya, sebuah tekat untuk menjadikan dirinya seorang yang bermartabat di masyarakatnya, serta menjunjung nama baik keluarga,  perlahan air mata menyembul dari sudut mataku, tak dapat kucegah.

 ---oo0oo---

Hari telah menjelang malam, aku merebahkan tubuh letihku di atas kasur, kasur kapuk yang sudah begitu tipis, sementara istriku sibuk memasak air, seperti kebiasannya diwaktu sore menjelang malam, dia akan menyediakan teh tubruk kesukaanku.  Satria pun sedang dalam kesibukannya belajar  mengulang pelajaran yang diterimanya pagi tadi.   Aku memandanginya dari tempat tidurku, kasihan dia belajar hanya dengan penerangan lampu minyak . “komputer terdiri dari beberapa bagian yaitu CPU, dan layar monitor, serta mouse dan keyboard”,  terdengar lirih suara Satria mengahafal pelajarannya, yang terasa aneh ditelingaku, dan sangat berbeda dengan pelajaran di SDku dulu. Ada doa dalam hatiku ya  Tuhanku jadikan satria orang yang pandai dan bermanfaat bagi orang banyak, serta mampu mengangkat harkat dan martabat orang  tuanya di dunia dan disisiMu kelak ya Rabb… perlahan aku menangis lagi.  Pak teh tubruknya sudah siap tuh ayo bangun kita ke teras depan saja sambil minum teh  sambil melihat padang bulan. Lalu aku beringsut ke teras rumah kami yang sederhana, rumah yang  dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu.  Rumah yang tidak ada listrik, penerangan hanya dari lampu minyak yang di gantung di beberapa dinding , di bawah temaram sinar lampu minyak itulah, aku dan istriku melepas kepenatan tadi siang dengan meminum teh bersama, sementara satria masih berkutat dengan buku-buku pelajarannya.  

‘Kebakaran….kebakaran” suara orang berteriak-teriak dan berlari lari mengagetkan kami. Salah seorang dari mereka menghampiri kami, dialah Yu Jum, tetangga sebelah kami, “Pak Joko, rumah Kang Dahlan terbakar Pak!”, “apa rumah Kang Dahlan?” kataku ku setengah kaget. Rumah Kang Dahlan adalah rumah yang berada persis di belakang rumahku, rumah yang kondisinya juga sama dengan kondisi rumahku rumahku dan rumahnya saling membelakangi.   Karena posisiku duduk di teras rumahku, maka sedari tadi aku tidak dapat melihat kobaran api yang sudah berkobar, api itu berawal dari lampu minyak di teras rumahnya yang tertiup angin sehingga jatuh dan pecah berantakan.  Api cepat menjilat dinding rumah itu yang hanya terbuat dari anyaman bambu, bermula dari dinding depan rumahnya, dan saat ini sudah hampir setengah rumah itu terbakar sedangkan rumahku tepat di belakang rumahnya.

Aku menjadi panik sambil berteriak-teriak aku berlari kebelakang rumah, sementara anak dan istriku juga ikut berhambur ke luar, api begitu cepat menjalar, saat ini rumah Kang Dahlan sudah habis terbakar, sebentar lagi api akan menjilat dinding belakang rumahku karena jaraknya begitu dekat  hanya berupa lorong yang hanya dapat di lewati oleh satu orang saja.  Istriku dengan sigap mengeluarkan apa yang dapat dikeluarkan dari rumahku, yang pertama di keluarkan adalah sebuah koper, ya koper yang berisi ijasah satria dari SD hingga SMP, kemudian buku-buku pelajaran satria karena tidak ada barang berharga di rumahku selain koper, dan buku-buku itu. Aku dan satria serta beberapa orang tetanggaku berusaha keras menyiramkan air dari sumur dapur rumahku, tapi apalah daya laju jilatan api lebih cepat membakar segala yang ditemuinya, hingga saat ini sudah separuh rumahku habis terbakar.

Merasa putus asa karena percuma saja menyiramkan air pada api yang berkobar itu, aku putuskan untuk membantu Istriku, mengeluarkan barang-barang yang dapat dikeluarkan,  sementara satria dengan beberapa orang tetangga masih mencoba terus menyiramkan air ketengah kobaran api yang meluluh lantakkan hampir dua pertiga rumahku.   Barang  yang belum dikeluarkan  adalah pikulan cendolku, dan sayur   yang akan kami jualbesok. Aku berlari  kedalam kudengar sayup teriakan istriku melarangku, tapi aku harus menyelamatkan pikulan cendolku itulah satu-satunya alat untuk aku mencari riski.   Aku melompati kobaran api,  sampai didalam aku  melihat api  terus saja menjalar membakar apa saja yang ditemui meja, kursi, tempat tidur yang semuanya dari kayu, dan pikulan cendolku masih utuh.  Dengan cepat kuraih pikulan cendol itu dan membalikan tubuhku untuk berlari keluar, namun kulihat sekelebat tubuh berlari di sampingku, ya tiulah istriku rupanya dia ingin membantuku, setelah melarangku tadi. “Ibu cepat keluar aku sudah mendapatkan pikulancendolku ini, ayo kita keluar bersama!”.  Namun Istriku masih saja berdiri melihat sekitar rupanya sayur dan bumbu dapur yang akan dijual esok jugamasih utuh karena terletak di lantai . “Pak aku akan mengambil sayurku dulu” teriak istriku, “jangan Bu lihat keatas kayu-kayu itu akan runtuh” aku melarangnya, namun tanpa dapat dicegah istriku beringsut mengambil sayur, dan tepat bersamaan kayu penyangga genteng yang  penuh dengan kobaran api jatuh menimpanya..” Ibuuuuuuu…..!!!” aku tercekat tubuh istriku bergelinjang kepanasan didepan mataku, dan aku menyadari bahwa kayu diatas kepalaku juga sudah terbakar dan beberapa detik lagi juga akan jatuh menimpa kepalaku, maka dengan cepat aku berbalik dan berlari keluar rumah dengan melompati kobaran api.   Setelah aku sampai diluar bersamaan dengan runtuhnya keseluruhan rumahku, dimana tubuh istriku ada didalamnya.

Suasana sedih menyelimuti perkampunganku, terlebih aku karena istriku tak dapat terselamatkan.  Satria masih saja menangis tangisnya sudah sedikit reda setelah semalam dia meraung-raung seakan tak rela atas takdir yang telah ditetapkan tuhan untuk Ibunya, Ibu yang sangat dicintainya kini telah pergi.  Orang-orang telah beringsut pulang dari pemakaman. Istriku yang telah menemati sekian lama perjalanan hidupku kini telah pergi, yang tinggal hanya gundukan tanah pusaranya.  Hatiku semakin teriris tatkala satria menagis lagi, “Sudah nak, relakan kepergian ibumu, Allah yang mencintai Ibumu telah memangginya, kita hanya bisa mendoakannya semoga Ibu menadapat tempat disisiNYA”.  Satria hanya mengangguk pelan, tampak jelaskesedihan di pelupuk matanya, dan kami berdua mennggalkan gundukan tanah dimana jasad orang yang sangat kami sayangi berada di dalamnya.

---oo0oo---
Hari-hari kulalui terasa berat kenangan akan istriku selalu bergayut di mataku. Kenangan kala brangkat kepasar bersama, saat pulang kerumah bersama. Apalagi saat-saat seperti ini sore menjelang malam biasanya aku bersama istriku minum teh  tubruk bersama, yang sekarang tak mungkin lagi kami lakukan. Sore menjelang malam adalah saat yang paling aku takutkan tak ingin rasanya aku bertemu sore menjelang malam, karena saat seperti inilah kepergian istriku terjadi.

Saat ini aku dudukdi serambi rumah.  Rumah yang baru saja selesai dibangun dari dana bantuan pemerintah dan hasil sumbangan beberapa warga.   Kenangan akan kejadian itu masih saja menghantuiku.  Dengan enggan aku melangkah masuk kedalam kulihat  buku pelajaran Satria berantakan.  Aku merapikan buku-buku yang berserak.  Entah kemana anak itu, biasanya saat seperti ini dia balajar mengulang palajarannya.  Ada perubahan dalam diri Satria,  kehilangan sosok seorang Ibu mungkin terlalu berat bagi anak seusia dia, ia seperti kehilangan pegangan, cepat tersinggung, dan malas belajar. Aku masukkan beberapa buku kedalam tasnya, dan tanpa sengaja aku melihat secarik surat,  ternyata surat berlogo sekolahnya
Kepada Yth Bapak/Ibu Orang tua Wali Murid Satria Dharma Wijaya
Dengan Hormat,

Dengan ini kami  guru bimbingan dan konseling menyampaikan bahwa telah terjadi perkelahian antar Satria dengan Marjuki, perkelahian ini terjadi di dalam kelas pada saat selesai istirahat pada hari kamis tanggal 13 Oktober 2013, maka dengan ini kami mengundang Bapak Ibu orang tua wali murid Satria Dharma Wijaya untuk hadir ke sekolah pada:
Hari/tanggal: senin 17 Oktober 2013
Waktu       : pukul 10 pagi
Tempat  : Ruang Guru Bimbingan dan konseling

Demikian disampaikan, mengingat pentingnya acara maka kehadiran Bapak/Ibu sangat kami harapkan
Hormat Kami

Djaenal Marbun
Guru Bimbingan dan Konseling

Tergetar surat di tanganku, aku begitu terpukul, satria sudah begitu jauh berubah, ini harus di hentikan. Darahku terasa mendidih,  gemeretak gigiku menahan emosi ini.  “Assalamu’alaikum”, itu suara satria.  “walaikum salam” jawabku. Aku sudah tidakkuat lagi menahan emosi, dengan suara keras aku membentak anakku “Satria dari mana saja kamu, duduk sini!”, dia sangat kaget tampak sekali ketakutan di raut wajahnya.  “Ada Apa Pak?”. “sini kamu, begitu sekarang kelakuanmu ya, sudah merasa jago kamu ya?, baca surat ini!” kataku masih dengan nada tinggi. Satria begitu kaget mungkin tak disangkanya aku menemukan surat itu, surat yang disimpan rapi dalam tasnya, dia terdiam.  “Kenapa diam, ayuu jawab, kenapa kamu tidak memperlihatkan surat itu pada Bapak?. Ayoo jawab”, dan secara reflek tanganku melayang menamparnya “Plakk..!”.   “Bapak..??”, satria meringis kesakitan.  Ada penyesalan dalam hatiku, belum pernah selama ini aku menamparnya, paling-paling yang aku lakukan adalah mencubit di pahanya jika ingin memberikan pelajaran untuknya, itupun hanya cubitan kecil dan itu sudah mampu membuatnya menurut pada kata-kataku.  Sejenak satria melirik kepadaku, dan beranjak berdiri dan berlari keluar rumah, “Satria mau kemana kau?”, dia tidak menjawab dan terus berlari. Aku tidak mengejarnya hanya perasaan sedih dan menyesal mengapa ini harus terjadi. Ya.. Rabb saat seperti ini kehadiran seorang istri sangat berarti bagiku, ternyata aku belum bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi Satria anakku.

---oo0oo---

Suasana sekolah SMAN 1 batulicin  terasa ramai, ramai oleh anak-anak sekolah yang berlalu lalang, ada yang bergerombol, ada yang berjalan sendiri-sendiri maklumlah saat ini adalah jam istirahat waktu menunjukan pukul 10.05 Wita, sudah lima menit terlambat dari waktu undangan.  Aku mencari ruang bimbingan konseling.  Aku belum pernah kesana karena sebagai orang tua aku belum pernah berurusan dengan guru Bimbingan dan Konseling.  Selama ini anakku tak pernah ada masalah disekolahnya, hanya belakangan ini setelah kematian Ibunya anakku begitu berubah hingga puncaknya adalah hari ini aku terpaksa menghadiri undangan dari guru bimbingan dan konseling, sebuah undangan yang sangat memalukan.

Setelah bertanya dengan salah seorang murid, aku memasuki sebuah  ruangan yang bersih dan teratur rapi, dan didalam sudah menunggu Pak Djaenal Marbun. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aku mengucapkan salam,” Wa’alaikum salam”, jawab Pak Djaenal. “Silahkan duduk Pak!”, “Baik Pak, perkenalkan saya Joko orang tua dari dari Satria”. “oh.. ya Pak senang Bapak dapat hadir disini, begini Pak sesuai dengan surat saya, saya mengundang Bapak untuk sharing saja tentang satria”. Kesan pertamaku pada Pak Djaenal adalah dia orang yang bijaksana, lembut dan bertoleransi tinggi”.  “ akhir-akhir ini dia tampak sangat berubah, yang biasanya ceria sekarang jadi pemurung”.  Pak Djaenal membuka peembicaraan yang lebih serius, dan aku dengan seksama memperhatikan arah pembicaraanya.  “saya ingin dapat keterangan dari Bapak mungkin ada hal-hal yang sangat urgent yang selama ini dapat mempengaruhi prilaku satria”.  Ada keseriusan dan keprihatinan di nada bicaranya. “Begini Pak, saya sebagai orang tuanya juga merasakan, perubahan itu terjadi setelah kematian ibunya, sepertinya dia kehilangan sosok yang sangat dicintainya”. Jawabku mencoba untuk jujur dan terbuka, memang aku pikir ada kesungguhan dan niat tulus Pak Djaenal untuk membantu kami.   “Dia menjadi anak yang tertutup bahkan dengan saya selaku Bapaknya”.  ”Bapak yakin hanya itu penyebabnya, maksud saya apakah tidak ada penyebab lain seperti pergaulan dengan taman-temannya, atau yang lainnya?” tanya Pak Djaenal.  “saya sangat yakin Pak, adapun kejadian-kejadian dalam pergaulannya seperti perkelahian itu, adalah dampak turunan dari perasaan kehilangan Ibunya tadi Pak”. “ Baik lah kalau begitu saya akan pantau terus Satria di sekolah ini, dan saya akan melakukan pendekatan kepada dia, untuk mengembalikan psikologinya. Lanjut Pak Djaenal. “ dan saya harap Bapak coba pendekatan secara lebih lembut lagi,  psikologi satria belum stabil,  jangan memberikan pengarahan padanya dengan emosi  tapi pelan-pelan sentuh hatinya perasaannya dengan kasih sayang Bapak kepada anaknya”, “Baik Pak akan saya lakukan”. “Baik Pak Joko, kalau memang itu penyebabnya saya rasa cukup pertemuan kita kali ini, dan secara berkala nanti mungkin Bapak akan saya panggil sesuai dengan perkembangan kondisi Satria, dan ini nomor HP saya jika ada kejadian penting tolong kabari saya”. Baik Pak asslamu’alaikum”. “wa’alaikum salam warahmatullahi wabaraktu”.  Dan akupun meninggalkan ruang Pak Djaenal dengan perasaan lebih lega karena ada tempat untuk mencurahkan perasaanku yang selama ini tidak dapat aku curahkan pada siapapun setelah  istriku tidak berada disisiku.   Aku bertekat untuk dapat lebih memperhatikan Satria lebih sabar lagi dalam menghadapinya.

Panas sekali suasana pasar Harian Batu Licin, maklum saat ini sudah hampir tengah hari, sebentar lagi Satria akan datang membawakan makanan yang dibelinya di warung nasi, untuk kami makan siang bersama.  Cendolku juga sudah hampir habis Alhamdulillah cuaca panas menyebabkan orang-orang membeli cendolku untuk pelapas dahaga. “Assalamu’alaikum” betul saja terdengar suara satria ditangananya sudah menjinjing dua bungkus nasi, “wa’alaikum salam” aku menjawab salamnya.  “Bagaimana sekolahmu Sat, baik-baik saja bukan?” tanyaku, “Baik Pak”.  Hanya itu, kemudian dia asyik menyantap makan siangnya.   Hhh… aku menghela nafas aku teringat istriku andaikan istriku ada disisi kami saat ini, mungkin kejadian tidak seperti ini, satria akan dengan riang bercerita tentang segala kejadian yang dialaminya di sekolahnya. ahh… aku rindu suasana seperti itu lagi.  “sat kemarin Bapak menghadiri undangan Pak Djaenal, katanya nilai kamu merosot, kamu menjadi lebih pendiam, ada apa sebenarnya?, coba katakana pada Bapakmu ini!”, aku perhatikan raut wajah anakku, wajah tampan itu berubah menjadi murung, kemudian ada tetes air mata menetes di sudut matanya. “Pak sudahlah, Satria mau makan”, “Sat,…kepada siapa lagi kamu mau bercerita kecuali kepada Bapak!” aku sedikit mendesak.   Namun tiba-tiba dia menghentikan makannya dan berdiri. “Bapak Satria mau pergi”, kemudian berlari dari hadapanku, “sat mau kemana?”. Ahhh dia ngambek lagi bagaimana jadinya jika setiap hari seperti ini?.

Aku coba meredam emosiku dan mencoba berfikir jernih, setelah aku titipkan daganganku kepada Pak Amat penjual  jamtangan dan kacamata disampingku, aku mengikuti langkah satria.  Kupercepat laju lariku agar dapat lebih mendekat kebelakangnya.  Satria memperlambat laju larinya hingga akhirnya berjalan, mungkin dia tidak mengetahui keberadaanku, dan aku menjaga jarak beberapa meter dibelakangya.   Aku terus mengikutinya dengan sedikit mengendap, dan ternyata tujuan anakku adalah ke makam Ibunya. 
“Bu.. mengapa ibu pergi begitu cepat.. satria masih ingin bersama Ibu”. Satria anak itu menangis di pusara ibunya, tangisnya sesegukan begitu sedih.  Aku mendekati satria,”satria, relakan nak, Ibumu sudah dipanggil oleh sang pemiliknya”. Dengan terkejut dia menoleh kepadaku, kemudian berlari dan memelukku”. “Bapak, satria kangen Ibu Pak”. “bukan kamu saja Nak, bapak juga kangen sama Ibu, tapi ini sudah kehendak Allah SWT, kita haru rela nak”. “iya Pak’. “sebagai hamba yang baik kita harus redho akan segalakeputusanNYA”.  Sesegukan itu berangsur menghilang dan Satria menjadi lebih tenang. “ ayo kita bersihkan makam Ibu”, ajakku, setelah itu kami membersihkan makan dengan mencabuti rumput dan tumbuh semak yang mulai tumbuh diatasnya.

---oo0oo---

Waktu terus berlalu, aku mencoba menghadapai Satria dengan lebih sabar lagi, dan hasilnya hubunganku dengan satria sedikit-demi sedikit mengalami perbaikan, dia menjadi lebih terbuka denganku, segala permasalahannya sudah dibicarakan kepadaku, itu semua berkat kerjasama yang baik antara aku dan Pak Djaenal sebagai Guru bimbingan konselingnya disekolah. 

Tak terasa tahun ini sudah genap satu tahun kepergian Istriku, dan saat ini adalah tahun terakhir Satria di SMA, nilainyapun tidak mengecewakan, Pak Djaenal terus memberikan support kepada satria dan juga aku agar Satria meneruskan kuliah.   Aku terus menguatkan tekatku untuk menjadikan pendidikan anaku sebagai prioritas dalam hidupku, namun aku sempat gamang apakah aku sanggup. Aku yang hanya penjual cendol, seorang ayah tanpa istri.  Bagaimana dengan biaya?. Apalagi banyak tetangga yang mencibir, “alah paling-paling Cuma berjalan satu semester sudah berhenti”,  adayang mengatakan,”Memangnya nggak mahal kuliah memang Pak Joko pemimpi besar”.  Keraguan sempat merayap dalam hatiku, bagaimana jika hal itu terjadi, sungguh kasihan satria,  sudah aku besarkan hatinya untuk melanjutkan kuliah, jika harus kandas ditengah jalan.   Tidak aku harus terus bertekat, entah apa yang akan terjadi nanti yang penting satria harus masuk kuliah dulu. Hhh… andai aku seorang kaya.

“Pak.. satria telah memilih Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat”. Kata satria setelah pada siang harinya dia mendaftarkan diri pada universitas itu. Alangkah senang hatiku. Ingatanku melayang jauh pada suatu masa, saat aku begitu terkesima melihat sosok seorang penyuluh pertanian dengan seragamnya. Dan mengingat harus kukubur dalam-dalam cita-citaku dulu, ada doa dalam hatiku ”ya..Rabb … kabulkan cita-cita anaku ini, lancarkan lah segala urusannya ya Rabb, perkenankan  ia untuk kuliah di perguruan tinggi yang diinginkannya, yang juga sesuai dengan keinginan hamba.. aamiin”.  
“iya Sat.. itu pilihan yang sangat bagus, rajin-rajinlah kau belajar”.Iya Pak, Satria akan ingat kata-kata Bapak”. “Sat kapan ujiannya?’ tanyaku kemudian.  “satu minggu lagi Pak “. “ya sudah hari sudah malam ayo kita tidur jangan lupa berdoa untuk Ibumu, dan juga untuk keberhasilan ujian mu nanti”. Kemudian kami terlelap dalam alam tidur kami masing-masing.
Aku  masuki hari ini dengan penuh harap.   Satria anakku satu-satunya ujian penerimaan mahasiswa baru.  kuperbanyak  beberapa sholat sunnah dan   diselingi dengan doa dan permohonan kepada Allah SWT agar Satria diberikan kemudahan dalam menjawab semua soal-soal ujian yag dihadapinya. “Pak Amat.. doain satria ya, dia sedang ujian sekarang, semoga lancar ujiannya”, kataku pada Pak Amat pedagang kacamata dan jam yang berdagang disebelahku, dan kata-kata ini  aku ucapkan pada orang lain yag aku anggap bisa memberikan support pada diriku.  “iya Pak Joko saya ikut doakan satria semoga dipermudah urusannya oleh Allah SWT”. “Terimakasih Pak Amat”. Hari itu aku lalui dengan gelisah harap cemas aku rasakan, dan hari kulalui terasa sangat lama.

“Bagaimana ujianmu Sat?”.  Tanyaku disela-sela makan malam. “Alhamdulillah Pak satria merasakan bisa menjawab hampir semua pertanyaan yang diajukan?”. Alhamdulillah jawaban satria melegakanku. “Namun kita lihat aja nanti Pak, semoga yang satria rasakan sama dengan hasilnya”. Kata satria kemudian.

 ---oo0oo---

Saat yang ditunggu telah tiba, hari ini adalah hari pengumuman ujian penerimaan mahasiswa baru. Aku menanti saat ini dengan cemas.  Aku tetap berdagang cendol seperti biasa, tetapi hatiku saat ini sedang tidak fokus berdagang, cemas apakah anakku akan lulus ujian ini.  Jika aku teringat satria keringat dingin keluar membasahi bajuku.  Sudah tiga jam satria pamit ke Sekolahnya untuk melihat pengumuman hasil ujian. Detik-detik terasa sangat lambat hingga akhirnya..”Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabaraktuh”. Suara Satria mengagetkanku. Kulihat senyum di wajahnya aku yakin pasti berita baik yang dibawanya. “Paaakk … satria lulus Pak, satria diterima di UNLAM Fakultas Pertanian Pak”. Dengan sedikit berteriak satria menyampaikan hasil pengumuman ini sehingga orang-orang di pasar yang berdekatan dengan kami dapat mendengar jelas.” Alhamdulillah ya Rabb.. engkau mengabulkan permohonanku”. Tanpa dapat ku bendung lagi air mata ini mengalir deras membahasi pipiku. Secara reflek aku tersungkur sujud syukur atas karunia allah SWT ini. Orang-orang menyalami kami, para pedagang dan juga para pembeli yang kebetulan berada di sekitar kami menyalami aku dan satria itu adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Bersejarah bagi keluargaku, baru kali ini salah satu anggota keluarga besarku mengenyam bangku kuliah dan itu adalah Satria anakku.
“Fakultas Pertanian, kali ini jumlah wisudawan berjumlah 125 wisudawan”.. suara pembawa acara mengagetkan lamunanku.  Entah mengapa kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu melintas bagai film layar lebar dalam benakku. Padahal sekarang akusedang duduk di bangsal kehormatan yaitu tempat duduk para orang tua wisudawan.  Saat ini hampir tidak dapat kupercaya.. Joko santoso menghadiri acara wisuda anaknya Satria Darma Wijaya. Suatu hal yang tak mungkin aku seorang penjual cendol mempunyai anak seorang Sarjana Pertanian.

Satria memang anak yang pintar aku hanya mengeluarkan biaya saat pendaftaran pertama kuliahnya saja selebihnya dia mendapat beasiswa dari berbagai lembaga.  “Wisudawan selanjutnya adalah Satria Darma Wijaya Sarjana Pertanian”. Suara pembawa acara bergema seantero gedung megah ini, nama anak kebanggaanku disebut menggema membahana memenuhi seisi ruangan. namun bahananya masih kalah dengan degup jantungku yang termat sangat. Itu dia… anakku berpakaian toga hitam baju kebesaran para sarjana, ya… baju itu sekarang dipakai oleh anakku, dia begitu gagah, melangkah dengan elegan menaiki tangga panggung, sejenak kepalanya mendongak dan berputar aku tahu dia sedang mencariku.  Aku melambaikan tanganku sambil berteriak “ Bapak disini Nak”. Alhamdulillah satria melihatku dan tersenyum manis kearahku. Dan sampailah penyematan topi toganya, jantungku berdegup keras.   Saat yang paling tidak mungkin kini terjadi didepan mataku. Tanpa sadar aku berteriak “itu anaku… itu anak ku.. “, sehingga perhatian orang-orang mengarah kepadaku, dan mereka mengucapkan selamat kepadaku kepada seorang penjual cendol di pingir jalan pasar Harian Batu Licin. Airmata bercucuran membasahi pipi, mendadak terbayang dipelupuk mataku senyum ceria Istriku,  “Ibu…, cita-cita kita tercapai Bu, satria sekarang jadi Sarjana Pertanian…. Kurasa Ibu sedang  tersenyum di syurga.

TAMAT 


Sang Penetes Embun 
Batu Licin 3- 11 2013 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar