“Pak.. cepat anakmu sudah datang
tuh, waktu makan siang sudah tiba”, suara Istriku terdengar
diantara suara deru mobil dan kendaraan yang melaju di hadapan kami. Betul saja disamping istriku sudah kulihat
sosok anak sematawayangku Satria. Satria sudah tumbuh menjadi seorang pemuda
yang gagah dan tampan. Seperti
hari-hari kemarin saat ini tanpa malu
sambil pulang dari sekolah SMAnya membeli
nasi dan lauk pauk untuk aku dan
istriku yang berjualan
dipasar. Aku berjualan cendol,
sedangkan disampingku istriku hanya
dengan beralas tikar menjual sayur dan bumbu-bumbu dapur. Kami berjualan di pinggir jalan samping pasar Harian Simpang Batulicin ,
sebuah pasar tradisional di kota Batu
Licin Kalimantan selatan.
“Pak, Satria besok di disuruh
membeli buku milimeterblok, untuk menggambar teknik, beliin ya Pak!”, pinta
Satria di sela-sela membuka bungkus nasi untuk kami. “iya.. Sat kapan mau belinya?”. “sekarang Pak, karena besok pagi sudah mau
dipakai”. Aku mengeluarkan lembar uang
dua puluh ribuan. Memang sudah menjadi
tekatku apapun yang terjadi harus menjadikan
pendidikan anak sebagai prioritas. Ingin
rasanya keluar dari belenggu kemiskinan
yang akrab sekali dengan keluargaku. Aku
tak ingin mewariskan kembali kemiskinan ini pada generasi sesudahku. Pernah suatu ketika Satria berkata ia ingin berjualan asongan, seperti
teman-temannya yang lain dan berhenti sekolah, aku marah besar saat itu. Hingga
saat ini kata-kata seperti itu tidak pernah keluar dari mulutnya.
Ya..anakku adalah harapan bagiku,
untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, cukuplah sudah diriku yang
sekolah hanya Sekolah Dasar, hingga jadi
orang termajinalkan di sudut kota Batu Licin ini. Seorang ayah yang hanya mengandalkan
berjualan cendol serta terpaksa mengizinkan istrinya membantu perekonomian
keluarga dengan berjualan sayur dan bumbu dapur. Hhh…. Aku menghela nafas, terbayang bagaimana diriku saat kecil, sangat
ingin sekali menjadi insinyur pertanian, karena didesaku dahulu ada seorang penyuluh
pertanian yang kulihat sangat gagah
dengan pakaian seragamnya. Kerap aku
melihatnya saat Bapakku menghadiri acara penyuluhan pertanian yang dipimpin
olehnya. Cita-cita yang harus kukubur
dalam-dalam karena Bapakku hanya seorang buruh tani ditanah seorang kaya
didesaku.
“Pak, Satria pulang kerumah dulu
ya,!”, suara Satria membuyarkan lamunanku. “iya nak, hati-hati ya, jangan lupa
setelah dirumah kamu perisiapkan adonan cendol ya nak!”, “Baik Pak,
Assalamu’alaikum”, “waa’laikum salam warahmatullahi wabarakatuh”. Kutatap punggung Satria anak lelakiku yang
sangat aku banggakan itu, hingga tubuhnya menghilang di kelokan lorong pasar.
Ada kegetiran dalam hatiku, kasihan anakku yang hanya berbapak seorang penjual cendol. Sepulang sekolah dia harus menyiapkan adonan
untuk cendol , hari-hari dijalaninya dengan penuh keprihatinan rumah yang
seadanya saja, pakaian, makanan, yang serba alakadarnya, sering aku menangis
saat membayangkan anakku di sekolahnya, dalam lingkungan pergaulannya di mana
anak-anak sebayanya mendapatkan fasilitas yang serba lebih dari orang tuanya, dimana anak para orang kaya memamerkan
kekayaan orang tuanya, sedang satria…. Apa yang dibanggakannya dari diriku, aku
hanya punya tekat dan cinta untuknya, sebuah tekat untuk menjadikan dirinya
seorang yang bermartabat di masyarakatnya, serta menjunjung nama baik
keluarga, perlahan air mata menyembul
dari sudut mataku, tak dapat kucegah.
---oo0oo---
Hari telah menjelang malam, aku
merebahkan tubuh letihku di atas kasur, kasur kapuk yang sudah begitu tipis,
sementara istriku sibuk memasak air, seperti kebiasannya diwaktu sore menjelang
malam, dia akan menyediakan teh tubruk kesukaanku. Satria pun sedang dalam kesibukannya
belajar mengulang pelajaran yang
diterimanya pagi tadi. Aku
memandanginya dari tempat tidurku, kasihan dia belajar hanya dengan penerangan
lampu minyak . “komputer terdiri dari beberapa bagian yaitu CPU, dan layar
monitor, serta mouse dan keyboard”,
terdengar lirih suara Satria mengahafal pelajarannya, yang terasa aneh
ditelingaku, dan sangat berbeda dengan pelajaran di SDku dulu. Ada doa dalam
hatiku ya Tuhanku jadikan satria orang
yang pandai dan bermanfaat bagi orang banyak, serta mampu mengangkat harkat dan
martabat orang tuanya di dunia dan
disisiMu kelak ya Rabb… perlahan aku menangis lagi. Pak teh tubruknya sudah siap tuh ayo bangun
kita ke teras depan saja sambil minum teh sambil melihat padang bulan. Lalu aku
beringsut ke teras rumah kami yang sederhana, rumah yang dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu. Rumah yang tidak ada listrik, penerangan
hanya dari lampu minyak yang di gantung di beberapa dinding , di bawah temaram
sinar lampu minyak itulah, aku dan istriku melepas kepenatan tadi siang dengan
meminum teh bersama, sementara satria masih berkutat dengan buku-buku
pelajarannya.
‘Kebakaran….kebakaran” suara
orang berteriak-teriak dan berlari lari mengagetkan kami. Salah seorang dari mereka
menghampiri kami, dialah Yu Jum, tetangga sebelah kami, “Pak Joko, rumah Kang Dahlan
terbakar Pak!”, “apa rumah Kang Dahlan?” kataku ku setengah kaget. Rumah Kang Dahlan
adalah rumah yang berada persis di belakang rumahku, rumah yang kondisinya juga
sama dengan kondisi rumahku rumahku dan rumahnya saling membelakangi. Karena posisiku duduk di teras rumahku, maka
sedari tadi aku tidak dapat melihat kobaran api yang sudah berkobar, api itu
berawal dari lampu minyak di teras rumahnya yang tertiup angin sehingga jatuh
dan pecah berantakan. Api cepat menjilat
dinding rumah itu yang hanya terbuat dari anyaman bambu, bermula dari dinding
depan rumahnya, dan saat ini sudah hampir setengah rumah itu terbakar sedangkan
rumahku tepat di belakang rumahnya.
Aku menjadi panik sambil
berteriak-teriak aku berlari kebelakang rumah, sementara anak dan istriku juga
ikut berhambur ke luar, api begitu cepat menjalar, saat ini rumah Kang Dahlan
sudah habis terbakar, sebentar lagi api akan menjilat dinding belakang rumahku
karena jaraknya begitu dekat hanya
berupa lorong yang hanya dapat di lewati oleh satu orang saja. Istriku dengan sigap mengeluarkan apa yang
dapat dikeluarkan dari rumahku, yang pertama di keluarkan adalah sebuah koper,
ya koper yang berisi ijasah satria dari SD hingga SMP, kemudian buku-buku
pelajaran satria karena tidak ada barang berharga di rumahku selain koper, dan
buku-buku itu. Aku dan satria serta beberapa orang tetanggaku berusaha keras
menyiramkan air dari sumur dapur rumahku, tapi apalah daya laju jilatan api
lebih cepat membakar segala yang ditemuinya, hingga saat ini sudah separuh
rumahku habis terbakar.
Merasa putus asa karena percuma
saja menyiramkan air pada api yang berkobar itu, aku putuskan untuk membantu
Istriku, mengeluarkan barang-barang yang dapat dikeluarkan, sementara satria dengan beberapa orang
tetangga masih mencoba terus menyiramkan air ketengah kobaran api yang meluluh
lantakkan hampir dua pertiga rumahku. Barang yang belum dikeluarkan adalah pikulan cendolku, dan sayur yang akan kami jualbesok. Aku berlari kedalam kudengar sayup teriakan istriku
melarangku, tapi aku harus menyelamatkan pikulan cendolku itulah satu-satunya
alat untuk aku mencari riski. Aku
melompati kobaran api, sampai didalam
aku melihat api terus saja menjalar membakar apa saja yang
ditemui meja, kursi, tempat tidur yang semuanya dari kayu, dan pikulan cendolku
masih utuh. Dengan cepat kuraih pikulan
cendol itu dan membalikan tubuhku untuk berlari keluar, namun kulihat sekelebat
tubuh berlari di sampingku, ya tiulah istriku rupanya dia ingin membantuku,
setelah melarangku tadi. “Ibu cepat keluar aku sudah mendapatkan
pikulancendolku ini, ayo kita keluar bersama!”.
Namun Istriku masih saja berdiri melihat sekitar rupanya sayur dan bumbu
dapur yang akan dijual esok jugamasih utuh karena terletak di lantai . “Pak aku
akan mengambil sayurku dulu” teriak istriku, “jangan Bu lihat keatas kayu-kayu
itu akan runtuh” aku melarangnya, namun tanpa dapat dicegah istriku beringsut
mengambil sayur, dan tepat bersamaan kayu penyangga genteng yang penuh dengan kobaran api jatuh menimpanya..”
Ibuuuuuuu…..!!!” aku tercekat tubuh istriku bergelinjang kepanasan didepan
mataku, dan aku menyadari bahwa kayu diatas kepalaku juga sudah terbakar dan
beberapa detik lagi juga akan jatuh menimpa kepalaku, maka dengan cepat aku
berbalik dan berlari keluar rumah dengan melompati kobaran api. Setelah aku sampai diluar bersamaan dengan
runtuhnya keseluruhan rumahku, dimana tubuh istriku ada didalamnya.
Suasana sedih menyelimuti
perkampunganku, terlebih aku karena istriku tak dapat terselamatkan. Satria masih saja menangis tangisnya sudah sedikit
reda setelah semalam dia meraung-raung seakan tak rela atas takdir yang telah
ditetapkan tuhan untuk Ibunya, Ibu yang sangat dicintainya kini telah pergi. Orang-orang telah beringsut pulang dari
pemakaman. Istriku yang telah menemati sekian lama perjalanan hidupku kini
telah pergi, yang tinggal hanya gundukan tanah pusaranya. Hatiku semakin teriris tatkala satria menagis
lagi, “Sudah nak, relakan kepergian ibumu, Allah yang mencintai Ibumu telah
memangginya, kita hanya bisa mendoakannya semoga Ibu menadapat tempat
disisiNYA”. Satria hanya mengangguk
pelan, tampak jelaskesedihan di pelupuk matanya, dan kami berdua mennggalkan
gundukan tanah dimana jasad orang yang sangat kami sayangi berada di dalamnya.
---oo0oo---
Hari-hari kulalui terasa berat kenangan
akan istriku selalu bergayut di mataku. Kenangan kala brangkat kepasar bersama,
saat pulang kerumah bersama. Apalagi saat-saat seperti ini sore menjelang malam
biasanya aku bersama istriku minum teh
tubruk bersama, yang sekarang tak mungkin lagi kami lakukan. Sore
menjelang malam adalah saat yang paling aku takutkan tak ingin rasanya aku
bertemu sore menjelang malam, karena saat seperti inilah kepergian istriku
terjadi.
Saat ini aku dudukdi serambi
rumah. Rumah yang baru saja selesai
dibangun dari dana bantuan pemerintah dan hasil sumbangan beberapa warga. Kenangan akan kejadian itu masih saja
menghantuiku. Dengan enggan aku
melangkah masuk kedalam kulihat buku
pelajaran Satria berantakan. Aku
merapikan buku-buku yang berserak. Entah
kemana anak itu, biasanya saat seperti ini dia balajar mengulang
palajarannya. Ada perubahan dalam diri
Satria, kehilangan sosok seorang Ibu
mungkin terlalu berat bagi anak seusia dia, ia seperti kehilangan pegangan,
cepat tersinggung, dan malas belajar. Aku masukkan beberapa buku kedalam
tasnya, dan tanpa sengaja aku melihat secarik surat, ternyata surat berlogo sekolahnya
Kepada Yth Bapak/Ibu Orang tua
Wali Murid Satria Dharma Wijaya
Dengan Hormat,
Dengan ini kami guru bimbingan dan konseling menyampaikan
bahwa telah terjadi perkelahian antar Satria dengan Marjuki, perkelahian ini
terjadi di dalam kelas pada saat selesai istirahat pada hari kamis tanggal 13
Oktober 2013, maka dengan ini kami mengundang Bapak Ibu orang tua wali murid
Satria Dharma Wijaya untuk hadir ke sekolah pada:
Hari/tanggal: senin 17 Oktober
2013
Waktu : pukul 10 pagi
Tempat : Ruang Guru Bimbingan dan konseling
Demikian disampaikan, mengingat
pentingnya acara maka kehadiran Bapak/Ibu sangat kami harapkan
Hormat Kami
Djaenal Marbun
Guru Bimbingan dan Konseling
Tergetar surat di tanganku, aku
begitu terpukul, satria sudah begitu jauh berubah, ini harus di hentikan.
Darahku terasa mendidih, gemeretak
gigiku menahan emosi ini.
“Assalamu’alaikum”, itu suara satria.
“walaikum salam” jawabku. Aku sudah tidakkuat lagi menahan emosi, dengan
suara keras aku membentak anakku “Satria dari mana saja kamu, duduk sini!”, dia
sangat kaget tampak sekali ketakutan di raut wajahnya. “Ada Apa Pak?”. “sini kamu, begitu sekarang
kelakuanmu ya, sudah merasa jago kamu ya?, baca surat ini!” kataku masih dengan
nada tinggi. Satria begitu kaget mungkin tak disangkanya aku menemukan surat
itu, surat yang disimpan rapi dalam tasnya, dia terdiam. “Kenapa diam, ayuu jawab, kenapa kamu tidak
memperlihatkan surat itu pada Bapak?. Ayoo jawab”, dan secara reflek tanganku
melayang menamparnya “Plakk..!”. “Bapak..??”, satria meringis kesakitan. Ada penyesalan dalam hatiku, belum pernah
selama ini aku menamparnya, paling-paling yang aku lakukan adalah mencubit di
pahanya jika ingin memberikan pelajaran untuknya, itupun hanya cubitan kecil
dan itu sudah mampu membuatnya menurut pada kata-kataku. Sejenak satria melirik kepadaku, dan beranjak
berdiri dan berlari keluar rumah, “Satria mau kemana kau?”, dia tidak menjawab
dan terus berlari. Aku tidak mengejarnya hanya perasaan sedih dan menyesal
mengapa ini harus terjadi. Ya.. Rabb saat seperti ini kehadiran seorang istri
sangat berarti bagiku, ternyata aku belum bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi
Satria anakku.
---oo0oo---
Suasana sekolah SMAN 1 batulicin terasa ramai, ramai oleh anak-anak sekolah
yang berlalu lalang, ada yang bergerombol, ada yang berjalan sendiri-sendiri
maklumlah saat ini adalah jam istirahat waktu menunjukan pukul 10.05 Wita,
sudah lima menit terlambat dari waktu undangan.
Aku mencari ruang bimbingan konseling.
Aku belum pernah kesana karena sebagai orang tua aku belum pernah berurusan
dengan guru Bimbingan dan Konseling. Selama
ini anakku tak pernah ada masalah disekolahnya, hanya belakangan ini setelah
kematian Ibunya anakku begitu berubah hingga puncaknya adalah hari ini aku
terpaksa menghadiri undangan dari guru bimbingan dan konseling, sebuah undangan
yang sangat memalukan.
Setelah bertanya dengan salah
seorang murid, aku memasuki sebuah
ruangan yang bersih dan teratur rapi, dan didalam sudah menunggu Pak
Djaenal Marbun. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aku mengucapkan
salam,” Wa’alaikum salam”, jawab Pak Djaenal. “Silahkan duduk Pak!”, “Baik Pak,
perkenalkan saya Joko orang tua dari dari Satria”. “oh.. ya Pak senang Bapak
dapat hadir disini, begini Pak sesuai dengan surat saya, saya mengundang Bapak
untuk sharing saja tentang satria”. Kesan pertamaku pada Pak Djaenal adalah dia
orang yang bijaksana, lembut dan bertoleransi tinggi”. “ akhir-akhir ini dia tampak sangat berubah,
yang biasanya ceria sekarang jadi pemurung”. Pak Djaenal membuka peembicaraan
yang lebih serius, dan aku dengan seksama memperhatikan arah
pembicaraanya. “saya ingin dapat
keterangan dari Bapak mungkin ada hal-hal yang sangat urgent yang selama ini dapat
mempengaruhi prilaku satria”. Ada
keseriusan dan keprihatinan di nada bicaranya. “Begini Pak, saya sebagai orang
tuanya juga merasakan, perubahan itu terjadi setelah kematian ibunya,
sepertinya dia kehilangan sosok yang sangat dicintainya”. Jawabku mencoba untuk
jujur dan terbuka, memang aku pikir ada kesungguhan dan niat tulus Pak Djaenal
untuk membantu kami. “Dia menjadi anak yang tertutup bahkan dengan
saya selaku Bapaknya”. ”Bapak yakin
hanya itu penyebabnya, maksud saya apakah tidak ada penyebab lain seperti
pergaulan dengan taman-temannya, atau yang lainnya?” tanya Pak Djaenal. “saya sangat yakin Pak, adapun
kejadian-kejadian dalam pergaulannya seperti perkelahian itu, adalah dampak
turunan dari perasaan kehilangan Ibunya tadi Pak”. “ Baik lah kalau begitu saya
akan pantau terus Satria di sekolah ini, dan saya akan melakukan pendekatan
kepada dia, untuk mengembalikan psikologinya. Lanjut Pak Djaenal. “ dan saya
harap Bapak coba pendekatan secara lebih lembut lagi, psikologi satria belum stabil, jangan memberikan pengarahan padanya dengan
emosi tapi pelan-pelan sentuh hatinya perasaannya
dengan kasih sayang Bapak kepada anaknya”, “Baik Pak akan saya lakukan”. “Baik
Pak Joko, kalau memang itu penyebabnya saya rasa cukup pertemuan kita kali ini,
dan secara berkala nanti mungkin Bapak akan saya panggil sesuai dengan
perkembangan kondisi Satria, dan ini nomor HP saya jika ada kejadian penting
tolong kabari saya”. Baik Pak asslamu’alaikum”. “wa’alaikum salam
warahmatullahi wabaraktu”. Dan akupun
meninggalkan ruang Pak Djaenal dengan perasaan lebih lega karena ada tempat
untuk mencurahkan perasaanku yang selama ini tidak dapat aku curahkan pada
siapapun setelah istriku tidak berada
disisiku. Aku bertekat untuk dapat
lebih memperhatikan Satria lebih sabar lagi dalam menghadapinya.
Panas sekali suasana pasar Harian
Batu Licin, maklum saat ini sudah hampir tengah hari, sebentar lagi Satria akan
datang membawakan makanan yang dibelinya di warung nasi, untuk kami makan siang
bersama. Cendolku juga sudah hampir
habis Alhamdulillah cuaca panas menyebabkan orang-orang membeli cendolku untuk
pelapas dahaga. “Assalamu’alaikum” betul saja terdengar suara satria
ditangananya sudah menjinjing dua bungkus nasi, “wa’alaikum salam” aku menjawab
salamnya. “Bagaimana sekolahmu Sat,
baik-baik saja bukan?” tanyaku, “Baik Pak”.
Hanya itu, kemudian dia asyik menyantap makan siangnya. Hhh…
aku menghela nafas aku teringat istriku andaikan istriku ada disisi kami saat
ini, mungkin kejadian tidak seperti ini, satria akan dengan riang bercerita
tentang segala kejadian yang dialaminya di sekolahnya. ahh… aku rindu suasana seperti
itu lagi. “sat kemarin Bapak menghadiri
undangan Pak Djaenal, katanya nilai kamu merosot, kamu menjadi lebih pendiam,
ada apa sebenarnya?, coba katakana pada Bapakmu ini!”, aku perhatikan raut
wajah anakku, wajah tampan itu berubah menjadi murung, kemudian ada tetes air
mata menetes di sudut matanya. “Pak sudahlah, Satria mau makan”, “Sat,…kepada
siapa lagi kamu mau bercerita kecuali kepada Bapak!” aku sedikit mendesak. Namun tiba-tiba dia menghentikan makannya
dan berdiri. “Bapak Satria mau pergi”, kemudian berlari dari hadapanku, “sat
mau kemana?”. Ahhh dia ngambek lagi bagaimana jadinya jika setiap hari seperti
ini?.
Aku coba meredam emosiku dan
mencoba berfikir jernih, setelah aku titipkan daganganku kepada Pak Amat
penjual jamtangan dan kacamata disampingku,
aku mengikuti langkah satria. Kupercepat
laju lariku agar dapat lebih mendekat kebelakangnya. Satria memperlambat laju larinya hingga
akhirnya berjalan, mungkin dia tidak mengetahui keberadaanku, dan aku menjaga
jarak beberapa meter dibelakangya. Aku
terus mengikutinya dengan sedikit mengendap, dan ternyata tujuan anakku adalah
ke makam Ibunya.
“Bu.. mengapa ibu pergi begitu
cepat.. satria masih ingin bersama Ibu”. Satria anak itu menangis di pusara
ibunya, tangisnya sesegukan begitu sedih.
Aku mendekati satria,”satria, relakan nak, Ibumu sudah dipanggil oleh
sang pemiliknya”. Dengan terkejut dia menoleh kepadaku, kemudian berlari dan
memelukku”. “Bapak, satria kangen Ibu Pak”. “bukan kamu saja Nak, bapak juga
kangen sama Ibu, tapi ini sudah kehendak Allah SWT, kita haru rela nak”. “iya
Pak’. “sebagai hamba yang baik kita harus redho akan segalakeputusanNYA”. Sesegukan itu berangsur menghilang dan Satria
menjadi lebih tenang. “ ayo kita bersihkan makam Ibu”, ajakku, setelah itu kami
membersihkan makan dengan mencabuti rumput dan tumbuh semak yang mulai tumbuh
diatasnya.
---oo0oo---
Waktu terus berlalu, aku mencoba
menghadapai Satria dengan lebih sabar lagi, dan hasilnya hubunganku dengan
satria sedikit-demi sedikit mengalami perbaikan, dia menjadi lebih terbuka
denganku, segala permasalahannya sudah dibicarakan kepadaku, itu semua berkat
kerjasama yang baik antara aku dan Pak Djaenal sebagai Guru bimbingan
konselingnya disekolah.
Tak terasa tahun ini sudah genap satu
tahun kepergian Istriku, dan saat ini adalah tahun terakhir Satria di SMA,
nilainyapun tidak mengecewakan, Pak Djaenal terus memberikan support kepada
satria dan juga aku agar Satria meneruskan kuliah. Aku terus menguatkan tekatku untuk
menjadikan pendidikan anaku sebagai prioritas dalam hidupku, namun aku sempat
gamang apakah aku sanggup. Aku yang hanya penjual cendol, seorang ayah tanpa
istri. Bagaimana dengan biaya?. Apalagi
banyak tetangga yang mencibir, “alah paling-paling Cuma berjalan satu semester
sudah berhenti”, adayang
mengatakan,”Memangnya nggak mahal kuliah memang Pak Joko pemimpi besar”. Keraguan sempat merayap dalam hatiku,
bagaimana jika hal itu terjadi, sungguh kasihan satria, sudah aku besarkan hatinya untuk melanjutkan
kuliah, jika harus kandas ditengah jalan.
Tidak aku harus terus bertekat,
entah apa yang akan terjadi nanti yang penting satria harus masuk kuliah dulu.
Hhh… andai aku seorang kaya.
“Pak.. satria telah memilih
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat”. Kata satria setelah pada
siang harinya dia mendaftarkan diri pada universitas itu. Alangkah senang
hatiku. Ingatanku melayang jauh pada suatu masa, saat aku begitu terkesima
melihat sosok seorang penyuluh pertanian dengan seragamnya. Dan mengingat harus
kukubur dalam-dalam cita-citaku dulu, ada doa dalam hatiku ”ya..Rabb … kabulkan
cita-cita anaku ini, lancarkan lah segala urusannya ya Rabb, perkenankan ia untuk kuliah di perguruan tinggi yang
diinginkannya, yang juga sesuai dengan keinginan hamba.. aamiin”.
“iya Sat.. itu pilihan yang
sangat bagus, rajin-rajinlah kau belajar”.Iya Pak, Satria akan ingat kata-kata
Bapak”. “Sat kapan ujiannya?’ tanyaku kemudian.
“satu minggu lagi Pak “. “ya sudah hari sudah malam ayo kita tidur
jangan lupa berdoa untuk Ibumu, dan juga untuk keberhasilan ujian mu nanti”.
Kemudian kami terlelap dalam alam tidur kami masing-masing.
Aku masuki hari ini dengan penuh harap. Satria
anakku satu-satunya ujian penerimaan mahasiswa baru. kuperbanyak
beberapa sholat sunnah dan diselingi dengan doa dan permohonan kepada
Allah SWT agar Satria diberikan kemudahan dalam menjawab semua soal-soal ujian
yag dihadapinya. “Pak Amat.. doain satria ya, dia sedang ujian sekarang, semoga
lancar ujiannya”, kataku pada Pak Amat pedagang kacamata dan jam yang berdagang
disebelahku, dan kata-kata ini aku
ucapkan pada orang lain yag aku anggap bisa memberikan support pada
diriku. “iya Pak Joko saya ikut doakan
satria semoga dipermudah urusannya oleh Allah SWT”. “Terimakasih Pak Amat”.
Hari itu aku lalui dengan gelisah harap cemas aku rasakan, dan hari kulalui
terasa sangat lama.
“Bagaimana ujianmu Sat?”. Tanyaku disela-sela makan malam.
“Alhamdulillah Pak satria merasakan bisa menjawab hampir semua pertanyaan yang
diajukan?”. Alhamdulillah jawaban satria melegakanku. “Namun kita lihat aja
nanti Pak, semoga yang satria rasakan sama dengan hasilnya”. Kata satria
kemudian.
---oo0oo---
Saat yang ditunggu telah tiba,
hari ini adalah hari pengumuman ujian penerimaan mahasiswa baru. Aku menanti
saat ini dengan cemas. Aku tetap
berdagang cendol seperti biasa, tetapi hatiku saat ini sedang tidak fokus
berdagang, cemas apakah anakku akan lulus ujian ini. Jika aku teringat satria keringat dingin
keluar membasahi bajuku. Sudah tiga jam
satria pamit ke Sekolahnya untuk melihat pengumuman hasil ujian. Detik-detik
terasa sangat lambat hingga akhirnya..”Assalamu’alaikum Warahmatullahi
wabaraktuh”. Suara Satria mengagetkanku. Kulihat senyum di wajahnya aku yakin
pasti berita baik yang dibawanya. “Paaakk … satria lulus Pak, satria diterima
di UNLAM Fakultas Pertanian Pak”. Dengan sedikit berteriak satria menyampaikan
hasil pengumuman ini sehingga orang-orang di pasar yang berdekatan dengan kami
dapat mendengar jelas.” Alhamdulillah ya Rabb.. engkau mengabulkan
permohonanku”. Tanpa dapat ku bendung lagi air mata ini mengalir deras
membahasi pipiku. Secara reflek aku tersungkur sujud syukur atas karunia allah
SWT ini. Orang-orang menyalami kami, para pedagang dan juga para pembeli yang
kebetulan berada di sekitar kami menyalami aku dan satria itu adalah hari yang
sangat bersejarah bagiku. Bersejarah bagi keluargaku, baru kali ini salah satu anggota
keluarga besarku mengenyam bangku kuliah dan itu adalah Satria anakku.
“Fakultas Pertanian, kali ini
jumlah wisudawan berjumlah 125 wisudawan”.. suara pembawa acara mengagetkan
lamunanku. Entah mengapa
kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu melintas bagai film layar lebar
dalam benakku. Padahal sekarang akusedang duduk di bangsal kehormatan yaitu
tempat duduk para orang tua wisudawan. Saat
ini hampir tidak dapat kupercaya.. Joko santoso menghadiri acara wisuda anaknya
Satria Darma Wijaya. Suatu hal yang tak mungkin aku seorang penjual cendol
mempunyai anak seorang Sarjana Pertanian.
Satria memang anak yang pintar
aku hanya mengeluarkan biaya saat pendaftaran pertama kuliahnya saja selebihnya
dia mendapat beasiswa dari berbagai lembaga.
“Wisudawan selanjutnya adalah Satria Darma Wijaya Sarjana Pertanian”. Suara
pembawa acara bergema seantero gedung megah ini, nama anak kebanggaanku disebut
menggema membahana memenuhi seisi ruangan. namun bahananya masih kalah dengan
degup jantungku yang termat sangat. Itu dia… anakku berpakaian toga hitam baju
kebesaran para sarjana, ya… baju itu sekarang dipakai oleh anakku, dia begitu
gagah, melangkah dengan elegan menaiki tangga panggung, sejenak kepalanya
mendongak dan berputar aku tahu dia sedang mencariku. Aku melambaikan tanganku sambil berteriak “
Bapak disini Nak”. Alhamdulillah satria melihatku dan tersenyum manis kearahku.
Dan sampailah penyematan topi toganya, jantungku berdegup keras. Saat yang paling tidak mungkin kini terjadi
didepan mataku. Tanpa sadar aku berteriak “itu anaku… itu anak ku.. “, sehingga
perhatian orang-orang mengarah kepadaku, dan mereka mengucapkan selamat
kepadaku kepada seorang penjual cendol di pingir jalan pasar Harian Batu Licin.
Airmata bercucuran membasahi pipi, mendadak terbayang dipelupuk mataku senyum
ceria Istriku, “Ibu…, cita-cita kita
tercapai Bu, satria sekarang jadi Sarjana Pertanian…. Kurasa Ibu sedang tersenyum di syurga.
TAMAT
Sang Penetes Embun
Batu Licin 3- 11 2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar