Rabu, 02 Oktober 2013

Kotak Infaq Supinah





Suasana pagi pasar Kebayoran Lama Jakarta Selatan begitu riuh, ramai sekali, orang-orang yang akan membeli berbagai keperluan, mereka lalu lalang tak beraturan, maklum ini hanya pasar tradisional, yang memanjang menyusuri jalan raya beraspal, Supinah menghentikan langkahnya di depan tumpukan sampah, “hhhh..” desahan nafas itu terdengar lagi, dirinya terlihat ragu melangkah, bola matanya liar menatap kesana-kemari, “mari Bulek Pinah…!”, suara Njun anak tetangganya mengagetkannya.. “eh iya Njun.. mau kemana kamu”, “mau ke pasar Bulek disuruh enyak beli singkong”, “ufttt.. hampir aja ketahuan, bisa berabe nanti, bisa-bisa kesebar berita kalau gorengan aku di buat dari bahan-bahan yang dipungut di sampah” supinah bergumam. Kemudian aksinya dilanjutkan kembali mencari dan mengumpulkan kubis, wortel, tauge, dari sampah yang bertumpuk di sudut pasar, untuk diolah menjadi isi gorengan yang akan dijualnya dengan berkeliling, tentu saja hal itu dilakukan dengan mengendap-endap dan selalu waspada agar jangan sampai ketahuan tetangganya.  Apa mau dikata hal ini harus dilakukan, harga bahan-bahan sudah melambung tinggi, dirinya sudah tidak kuat lagi membeli bahan-bahan dasar pembuat gorengan, sehingga ia hanya membeli tahu dan Tempe yang baik, sedang selebihnya ia harus memungutnya di tempat sampah, mengais-ngais dan memilah diatara tumpukan sampah itu bahan-bahan sayuran yang masih dapat diambil.  Orang seperti dirinya yang merantau dari sebuah desa di jawa tengah, yang hanya mengandalkan fisik dan tenaga, tanpa skill dan keterampilan memang harus rela, rela sebagai kaum yang termajinalkan dalam rimba kota Jakarta yang ganas.

“Tin.. kamu potongin ubi ini ya, ibu yang motongin kolnya!”, “iya Bu”, Tina anaknya sangat begitu penurut, namun ia sudah tidak sekolah lagi. Hatinya menangis manakala mengingat itu. Anak wanita seusia tina sudah harus membantu keuangan keluarga dengan menyemir sepatu hingga sampai ke terminal Lebak Bulus. Perlahan airmatanya tumpah, Supinah tergugu, “Bu.. kenapa Bu.. Ibu menangis ya..”.”eh.. ini tin jari Ibu keiris kecil aja sih, tapi cukup sakit”, terpaksa dirinya berbohong demi anak yang dicintainya itu tidak melihat kegundahan hatinya,  “Ibu keluar dulu ya, mau beli  obat merah”. Diluar rumah tangisan itu pecah lagi tanpa dapat dibendung. Ia teringat akan mendiang suaminya yang sudah dua tahun meninggalkannya tidak ada kabar berita entah kemana. “Ups..”, sekejap ia tersadar bahwa perkerjaan telah menantinya, serangkaian kerutinan yang harus dilakukan, yang sebenarnya menjemukan, mengupas ubi jalar, mengiris tempe, memotong-motong sayuran, membuat adonan terigu, serta menggorengnya, “ahhh… entah kapan hal ini akan berakhir”  hatinya bergumam.

Tak terasa waktu sudah berlalu lebih dari tiga jam dirinya berkutat di dapur, ditengoknya tina sibuah hatinya sudah tertidur pulas, disisinya berserak potongan Ubi jalar yang belum selesai di kupasnya. Terlihat wajah polos anak semata wayangnya itu, perlahan kegundahan memenuhi dadanya.  Rasa sangat bersalah menyeruak begitu keras, bersalah karena telah menelantarkan pendidikannya, bersalah karena telah mengekslpoitasi sang anak untuk menghasilkan uang yang tidak besar. “ahh..!!” batinnya tambah perih ingin rasanya menangis lagi, namun hal itu sudah terlalu sering dilakukan, sampai-sampai tak ada sisa airmata dapat ditumpahkan lagi. Di gendong anaknya menuju tempat tidur yang sebenarnya bukan tempat tidur, ia hanyalah tikar usang yang diatasnya ditumpuk beberapa baju-baju usang yang tidak laik pakai, yang penting bisa menghangatkan badan dirinya dan tina anaknya.

-----ooo0ooo-----

Suasana dingin malam yang sangat menemani tidurnya, dingin yang teramat sangat menusuk sampai ketulang sumsumnya, tidur yang tidak nyaman.  Sesekali gemeretak suara giginya menahan dingin, diselingi suara berdecit eratan tikus yang berlarian melewati kaki-kakinya, bagaimana tidak rumah triplek  yang sempit tidak memungkinkan untuk dipisah antara dapur dan kamar tidur, apalagi ruang tamu, sehingga tikus-tikus yang biasa berkeliaran didapur juga berkeliaran di kamar tidur karena memang ruangnya tidak berbeda. Mungkin rumah kantrakannya ini adalah rumah kontrakan terburuk yang ada di kota Jakarta. Dalam keresahan yang dalam Supinah, Ibu beranak satu itu tetap terjaga sesekali didengar suara igauan  tina yang sangat dicintainya, matanya nanar menerawang jauh,  batinnya menangis dada terasa sesak, demi teringat kejadian tadi siang, kejadian itu tak dapat ia lupakan, bagai goresan pisau belati menorah tajam dihatinya 

 “Gorengan-gorengan…. Gorengan Pak, Bu, gorengan..” hampir serak rasanya dirinya beteriak, teriak menjajakan dagangannya, dari lorong-ke lorong, dari sekolah kesekolah,  seluruh badannya serasa mau remuk, dan kakinya begitu pegal, sudah sepertiga hari dilaluinya namun entah mengapa hari ini begitu sepi, hanya beberapa potong bakwan, dan tahu goreng yang laku, sesisanya begitu banyak.  

“Gorengan Pak dicobanya kembali menawarkan dagangan begitu dilihatnya beberapa pekerja bangunan sedang beristirahat di muka bagungan yang belum selesai, “gorengan Bang, bakwan, tahu, tempe, mari bang gorengannya”, dia mencoba lebih aktif menawarkan, hingga satu titik harapan timbul ketika salah seorang memanggilnya,”yu,, gorengannya yu!”, “silahkan Pak”,”wah gorengane, berapa yu?”, salah seorang dari pekerja itu mendekat dan melihat ke arah bakul dalam gendongannya, namun setelah itu sempat dilihatnya, mata  pekerja itu melirik nakal ke arahnya. Selintas ada firasat tidak baik menyeruak dalam hati, namun hal itu di tepisnya, dan kembali dengan senyumnya menawarkan dagangannya kembali.

“Yu.. sing iki panganan opo yu?”, “o.. niku bakwan mas, monggo dipun skecoaken!” , supinah memberikan sepotong bakwan  kepada pekerja itu, namun bukan bakwan yang di ambilnya malah tangan supinah diraihnya. “jangan takut yu, aku cuma pengen kenalan kok!”, tangan supinah erat digenggam, dengan cepat supinah menarik tangannya sehingga tarik menarik terjadi beberapa detik, kemudian terlepas, dan dengan mimik lucu, namun bagi supunah lebih tepat disebut menghina, lelaki itu mencium tangannya sendiri. “hmmm wangine tangan bakul gorengan, ha.ha..ha.ha….”, lelaki itu tertawa cekikikan, diringi dengan derai tawa kawan-kawannya, supinah melihat gelagat yang semakin tidak baik, seorang dari lelaki itu telah berani kurang aja kepadanya. Mulai detik ini ia harus lebih berhati-hati  menghadapi  mereka. Sepuluh menit telah berlalu mereka terlihat asyik mengunyah gorengan. “ yu.. berapa ini yu?”, Tanya salah seorang lagi dari balik dinding kamar bangunan yang masih setengah jadi, “apa aja mas?”, “bakwan dua, tahu satu, tapi kesinilah kamu, ini uangnya disini!”, “sini ajalah mas, mas aja yang datang kesini, ini saya masih ngelayani yang disini!”. Supinah mulai berhati-hati, namun seseorang dari mereka berkata “sudahlah yu turuti saja, itu mandor kami kang parto namanya, jangan sampai membuat dia marah, nanti bisa berabe jadinya!”, supinah enggan beranjak dari duduknya, karena dirinya saat ini sangat berhati-hati, setelah kejadian salaman tadi.

“yu.. ini uangnya lama sekali, cepat ambil!”, suara lelaki dari balik dinding kamar tadi lebih keras terdengar, akhirnya dengan malas supinah berdiri dari duduknya dan berjalan kearah kamar yang belum sepenuhnya jadi itu, namun mendadak dirinya merasa takut, dan gemetar karena ternyata beberapa pekerja mengikutinya dari belakang. “lho..lo.. kenapa sampean mengikuti aku begitu?, dirinya mulai khawatir, “memang kenapa, nggak boleh tha?”, jawab seorang dari mereka.  Supinah mempercepat langkahnya, setelah sampai di kamar dilihatnya seorang lelaki gembrot dengan uang duapuluhribuan ditangannya, dialah yang dipanggil Kang Parto mandor bangunan, jabatan tertinggi di proyek bangunan ini. “yu, ini uangnya dah kembalinya ambil saja!”, terimakasih Mas”, dengan cepat Supinah membalik badan hendak pergi meninggalkan ruangan itu tetapi dilihatnya di depan pintu sudah berdiri menghadang, beberapa orang  yang mengikutinya tadi. ‘Yu.. mau kemana cepat-cepat pergi?” kita bersenang-senang dulu lah, nanti kami bayar berapapun kamu minta”, seorang dari mereka berkata dengan menarik tangannya. dengan cepat ditarik tangannya kembali, dan sangat reflek menampar pipi lelaki tersebut, yang ditampar malah tertawa-tawa diiringi dengan tawa kawan-kawannya. Mereka tertawa sangat lepas begitu dilihat Supinah yang ketakutan, “ayulah jangan munafik, kamu mau kan dan kamu juga lagi perlu duit kan, ayu sayang kemarilah!”, mata para lelaki itu bagai mata serigala yang hendak menerkam mangsanya, Supinah terjebak, terkepung diantara para serigala rakus dan buas itu, namun mendadak salah seorang lelaki yang tepat berada di depan pintu memberi isyarat, “husss.. heh Pak Haji Marbun datang, bubar, ayu kita bubar!, “huh sial, hey sayang urusan kita belum selesai ya, besok datang lagi ya, kita lanjutin”, seorang dari mereka berkata sambil mencolek pipi supinah, yang masih saja ketakutan,

Dentang tiang lsitrik yang dpukul tiga kali oleh para peronda malam mengagetkannya, namun bayangan tadi siang itu masih saja menari-nari dipelopak matanya, sehingga dia tak dapat terpejam.  Allah masih sayang padanya, Dia masih melindungi dirinya, kalu saja tidak ada Pak Haji Marbun, si pemiliki bangunan itu, mungkin dirinya telah terenggut. Ya sebuah harga yang sangat dia jaga sejak kepergian Mas Eko, yang entah dimana rimbanya sekarang.  Hahh.. Ya Gusti.. mengapa begitu berat cobaan yang Kau timpakan pada hamba..hatinya berontak, berontak pada keadan, berontak pada nasib bahkan berontak pada Tuhan.

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari namun Supinah belum juga dapat memejamkan matanya, diam-diam ada sebuah rencana menyeruak begitu saja di alam fikirannya,rencana yang entah datang dari mana.  Tekatnya sudah bulat, besok adalah jadwal pengajian Ibu-ibu di mushalah Almuhajirin sebuah mushalah yang tepat berada di belakang rumah kontrakanya ini, rencana sudah disusun semoga tidak ada yang meleset. Dia tahu betul bahwa kotak amal pasti akan terisi penuh, dan seperti biasanya perputaran kotak amal pasti akan dimulai dari shaf kanan depan, akan bergulir dari tangan ketangan dan berakhir di shaf kiri belakang, yang letaknya tepat di samping ruang belajar anak-anak TPA. Ia akan duduk tepat di titik itu, kemudian saat semua jamaah sedang khusuk mendengarkan materi ceramah ustadzah Ani, dia akan melaksanakan niatnya mencuri uang dari kotak amal.  ” Hhhhh…!!” entah sudah beberapa kali desahan nafas itu terhembus, nafas kegundahan,  walaupun dia tahu apa yang akan dilakukannya adalah salah, namun sempat juga ia berdoa semoga Allah SWT memudahkan niatnya ini, demi dirinya dan anaknya dapat makan. Sisanya untuk membayar hutang-hutangnya, kegundahan itu terus saja bergelayut, hingga matanya terpejam pulas.

----ooo0ooo----

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh”, suara Ustadzah syarifah terdengar membahana keseluruh ruangan mushalah, Ibu-ibu tetangganya sudah banyak yang datang, bagus-bagus pakaiannya, bahkan sempat diliriknya Ibu Djoni, seperti biasa  Ibu yang satu itu selalu berpenampilan glamour dengan serentet perhiasannya, dari cincin, gelang, sampai kalung. Mengapa Allah tidak adil, mengapa diberikan berbagai kenikmatan untuk mereka sedangkan dirinya dibiarkan olehNYA dalam kesengsaraan, Supinah sengaja tidak masuk dulu, ia masih saja berdiri di luar, tekatnya sudah bulat untuk melaksanakan rencananya,

“Alhamdulillah washalatu washalamu ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad” ustadzah Syarifah membuka majelis dengan pujian kepada Allah SWT, serta bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, ada kebimbangan dalam hati Supinah setelah mendengar nama Allah dan Rasulnya disebutkan.  Kegamangan apakah akan dilanjutkan rencananya, namun demi teringat akan hutangnya yang sudah sangat melambung tinggi, serta harga-harga bahan pokok meningkat setelah pemerintah yang tidak punya hati menaikkan harga BBM, dirinya tidak bisa berjualan  gorengan dengan bahan yang normal,  kembali karena harga minyak tanah dan bahan-bahan dasar pembuat gorengan jadi ikut-ikutan naik, Apakah pemerintah tidak memikirkan nasib orang kecil seperti dirinya, sehingga dengan seenaknya menaikkan harga BBM. Semua itu menimbulkan keberaniannya kembali untuk melaksanakan niatnya, rencananya sebagian uang kotak amal yang dicurinya itu untuk membayar hutang-hutangnya, sebagian lagi untuk modal usaha  gorengannya kembali dan sisanya untuk makan anak-anaknya.

Posisi duduknya telah diatur sesuai rencana semalam duduk di shaf kiri belakang, sambil bersandar pada kusen pintu musholah,.. “Baiklah Ibu-ibu setelah pembacaan kalam Ilahi tadi maka sampailah kita pada acara pokok yaitu penyampaian materi keislaman yang akan disampaikan oleh ustadzah Ani, kepada ustadzah Ani kami persilahkan!”.  Suara ustadzah syarifah didengarnya sangat kecil, tidak sebanding dengan besarnya gundah di hatinya Bahkan pembacaan kalam Ilahi ternyata sudah selesai, tanpa ia sadari tadi.  Dilihatnya Ustadzah Ani maju kedepan, seorang ustadzah yang sangat diseganinya, masih muda, cantik.  Seorang lulusan sebuah universitas terkenal di Jakarta, suasana hening, jamaah seperti terkesima dengan kharisma ustadzah muda ini, apalagi setelah suara merdunya berkumandang mengisi setiap ruang mushala.  “Asalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh”.. serentak semua jamaah menjawab Wa’alaikum salam Warahmatullahi wabarakatuh”. “Ibu-ibu sekalian kajian kali ini adalah tentang kesabaran, sabar dalam menjalani hidup”.  Deg..bagai di sengat listrik ribuan watt hati supinah tersentak “kok bahasannya itu, seperti tahu saja ustadzah Ani akan pikiranku” Supinah membatin, 

“Ibu-ibu sekalian jamaah kajian bulanan majelis taklim kaum Ibu mushalah Al Muhajirin yang berbahagia, sudah sunatullah dalam kehidupan kita  mengalami kebahagiaan, juga kesedihan”. Suara lembut itu mengalir lagi bahkan kali ini terasa begitu sejuk, bagai aliran air kehati setiap para jamaah. Termasuk supinah, ia begitu terkesima pada ustadzah idolanya itu.  “kita harus siap terhadap semua kenyataan kehidupan ini, manis, pahit, suka, getir pasti akan silih berganti”. Sebagai umat muslim yang percaya betul bahwa semua itu datangnya dari Allah SWT, ketahuilah jika seluruh mahluq ingin membuat engkau bahagia maka tidak akan bisa tanpa seizin Allah SWT.  Demikian juga sebaliknya jika seluruh mahluq ingin mencelakakan engkau maka tidak akan bisa tanpa seizin Allah SWT”. Suara itu,ya ,…. suara itu kata-katanya begitu menghujam ke ulu hati Supinah, tak terasa butiran embun bening dan hangat  tersebul diantara kelopak matanya.  “begitu rapuhkah imanku”, sehingga merasa tak kuat akan ujian ini?, batin supinah berbisik.  Tidak… sekarang batin itu bukan sekedar berbisik tapi berontak, hatinya seolah protes menanyakan akan rencana yang telah tersusun rapi, selintas diliriknya kotak amal telah bergerak semakin mendekat tinggal dua shaf lagi didepannya. Namun sebelah hatinya berbisik,”engkau harus kuat jalankan rencanamu, jika berhenti bagaimana dengan hutang-hutangmu, kelangsungan usaha gorengamu, makan anakmu” suara sebelah hati itu semakin kuat membisik.  
Ibu-ibu sekalian yang dirahmati Allah SWT, mengenai permasalahan dalam hidup Allah Berfiman Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata Innalillahi wa innailaihi rajiuun.  Jadi ujian itu datangnya dari Allah SWT, dengan berbekal keyakinan kepadaNYA. Seharusnya kita lewati ujian itu dengan kesabaran “Allah juga berfirman Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?.  Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan. Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.  Suara Ustadzah Ani begitu nyata semakin masuk kedalam relung hatinya, ingin rasanya ia berteriak “Hentikan!!”, karena semakin membuat sakit kepalanya. Keringat dingin keluar dari setiap porinya, kegamangan hatinya begitu dahyat apakah rencana mencuri kotak amal jadi ia lakukan?,
Hatinya sudah tidak kuat lagi pertikaian dalam hati sanubari terdalam semakin membuatnya bingung, namun tekat itu begitu dominan demi diingat segala permasalahan yang dialaminya selama ini. 

Kotak amal telah berada tepat didepannya, sejenak dia menoleh kekiri dan kekanan. Semua jamaah sangat khusuk menyimak ceramah yang disampaikan oleh ustadzah Ani, “ini waktunya hatinya berbisik”.  Sejenak masih ada keraguan hatinya berperang lagi, peluh bercucuran bukan hanya membasahi kerudungnya, sampai membahasahi bajunya. Namun tekad dihatinya menuntun tangannya dengan amat perlahan membuka kotak amal itu, dan diambilnya semua uang didalamnya tanpa tersisa, lalu diselipkan kedalam tas plastik yang sudah disediakannya,  “hh.. hembusan nafas itu terdengar lagi, nafas kegalauan.

Setelah kejadian itu, hatinya tak tenang.  Sementara ceramah ustadzah Ani masih berlangsung, namun tidak dapat lagi didengarnya sama sekali, terkalahkan oleh suara ketakutan.  Takut jika aksinya tadi dilihat orang, hal ini berlangsung sampai pengajian berakhir dan para jamaah pulang.

-----ooo0ooo-----

“Assalamu’alaikum…. Assalamu’alaikum”, beberapa kali Supinah mengucapkan salam. Sudah beberapa  kali juga dia mengetuk pintu rumahnya, namun tak juga di dengarnya salam Tina. Mungkin tina belum pulang, tidak biasanya sampai sesore ini anak itu belum pulang dari nyemir sepatu, biasanya jam lima sore hari, senyum lugu anak itu sudah menyambut dirinya. “tina..tina..!, beberapa kali nama anaknya di panggilnya, berarti anak itu belum pulang. Bergegas diambilnya kunci yang memang setiap hari diselipkan diantara pot bunga depan rumahnya, sesampainya didalam rumah dia masih juga memanggil nama anaknya. “tin.. ini Ibu belikan martabak kesukaanmu, Ibu baru dapat uang lebih nih nak”.  memang yang terpikir pertama kali setelah dirinya berhasil mengambil uang kotak amal pengajian tadi adalah menyenangkan hati anaknya dengan membelikan martabak manis, yang sangat disukai anaknya namun jarang sekali dia dapat memakannya karena ketiadaan uang dirinya untuk membelinya. Suasana rumah sepi, mendadak terdengar suara salam di depan pintu “Assalamu’alaikum”, “wa’alaikum salam”, jawabnya. Nampak sosok Pak Ramli ketua RT dibalik pintu. “Begini Bu Supinah, saya mengabarkan bahwa anak Ibu kecelakaan, Tina saat ini dirumah sakit fatmawati, dia tertabrak metromini, saat hendak menyebrang melintasi pintu terminal lebak Bulus”, “hahh..!?”, hatinya seperti tertohok palu godam ribuan ton sesak sekali.  ”tinnaaaa.!” Dan martabak manis dalam genggamannya jatuh berhamburan dilantai. 

-----ooo0ooo-----

Suasana rumah sakit semakin membuatnya sesak, bagaimana tidak tina anak yang sangat dicintainya terbujur di tempat tidur, dan nyawanya tidak dapat tertolong. Beberapa tetangga sudah datang menjenguk ada Ibu Roni, Ibu Sri, Ibu tiwi, dan Ibu romlah rombongan itu dipimpin oleh Ibu Ramli ketua RT 07. “bagaimana Bu keadaan tina?”, Ibu Romli mengawali percakapan.  ”Alhamdulillah sudah Bu, dia sudah tenang bersama pemiliknya”, jawabnya dengan menyibakan selimut yang sedari tadi menyelimuti jasad anaknya. “kami turut berdukacita Bu, ini ada sedikit bantuan dari Ibu-ibu pengajian mushalah kita, tidak banyak sih Bu, karena kemaren saat pengajian uang kotak amal kita di curi orang, entahlah Bu siapa yang tega mencurinya padahal uang itu sangat bermanfaat seperti saat diperlukan sekarang ini, untuk bantuan perobatan jamaah yang sakit”.  Seketika pucat pasi wajah Supinah, “kenapa Bu kok mendadak pucat, dan gemetar begitu?”, “ah tidak Bu, mungkin saya hanya kecapaian belum tidur sudah dua mala mini menjaga tina”, jawabnya mengelak.  Aduhai jika sekiranya Ibu-ibu ini tahu bahwa yang mencuri uang kotak amal adalah dirinya, alangkah malunya ia.  “ahh.. “desahan nafas itu terdengar lagi, seiring dengan penyesalan menyesalan yang sedikit-demi sedikit menjalari hatinya.  Kegundahan hati itu semakin lama semakin besar, dan menyesakkan dadanya.  Suasana menjadi kaku dan sunyi sekejap, kemudian… “Ibu Supinah Ibu diminta untuk ke bagian administrasi, jasad tina saat ini sudah boleh di bawa pulang!” “baik sus, “Bupinah mari saya damping ke bagian administrasinya, Bu Ramli menawarkan diri untuk mengantarnya.

“Ibu Supinah, jasad anak Ibu sudah diperbolehkan dibawa pulang, dan Ibu harus menunaikan pembayaran sebesar tiga juta rupiah, sudah termasuk biaya rawat inap, perlakuan dokter dan obat-obatan”.  Baik Bu akan kami lunasi, “Bupinah Ibu ada uang?” Bu Romli bertanya dari raut wajahnya Nampak ketidak percayaannya, “jika tidak ada kami akan buat edaran RT agar warga bisa  membantu Ibu”.  “terimakasih Bu tidak usah, Alhamdulillah saya selalu menabung dan ada uang tabungan saya sebesar Satu Juta lima Ratus Ribu Rupiah, jika ditambah dengan uang sumbangan dari Ibu-ibu pengajian dan Ibu-ibu tetangga lainnya maka cukup untuk membayar lunas biaya ini Bu”, Supinah menerangkan dengan panjang lebar.

Kemudian Supinah mengeluarkan uang dalam plastik, ya uang hasil curian kotak amal pengajian.  Setiap uang sudah terikat rapi berdasarkan nilainya, supinah membukanya menghitung kembali.  “sebentar..” tiba-tiba Ibu Romlah menghentikan tangan Supinah, ketika hitungan sampai pada uang lembar lima puluh ribuan. “ada apa Bu Ramli”, “ahh tidak sudah lanjutkan Bu.  Bu Ramli terlihat sangat tegang, uang itu… ya uang limapuluh ribuan itu adalah uangnya. dia ingat betul anak terkecilnya mencoret-coret dengan lipstick, saat ia berdandan hendak pergi mengaji, masih terbayang dalam ingatannya anaknya mencoba menuliskan ummi, pada uang itu namun di tarik dan dilarang sehingga tulisan itu hanya tertulis umm dan goresan panjang sampai ketepi. Dan masih terbayang saat ia memasukkan uang lmapuluh ribuan itu kedalam kotak infak pengajian,   Hatinya gelisah antara percaya dan tidak percaya.

-----ooo0ooo-----

Malam ini lampu kamar rumahnya terlihat terang, namun tidak seterang hatinya, karena anak satu-satunya tidak dapat berkumpul kembali bersamanya, bercengkrama, dan bercerita mengisi hari-hari dirumah kontrakanya. Kesedihan ini begitu berat, hingga seakan dia tidak sanggup untuk menanggungnya, walau uang hasil mencuri otak amal pengajian semuanya tercurah untuk biaya rumah sakit anaknya, ia tidak menyesal, mungkin inilah scenario dari Allah SWT, untuk anaknya. Dari mana uang itu ia dapatkan, seandainya dia tidak melakukannya. Uang dari sumbangan Ibu-ibu tetangganya dan Ibu-ibu pengajian hanya setengah dari uang yang harus dibayar di rumah sakit. 

“Assalamu’alaikum”, “Walaikum salam” jawabnya, wah Bu Romlah, Ibu Roni, dan Ibu Sri, wah.. ada apa gerangan nih ayo silahkan Masuk Bu”.  Kemudian mereka duduk di ruang yang berfungsi sebagi ruang tamu juga, ruang tidur juga dan dapur juga.  Karena memang satu-satunya ruangan disitu. Setelah berbasa-basi sebentar kemudian Ibu Romli, masuk pada tujuan kedatangan mereka. “mohon maaf Bu Supinah, saya penasaran sekali. saat melihat Ibu menghitung uang di rumah sakit, ada selembar uang lima ribuan yang persis sekali dengan uang yang saya masukkan di kotak amal saat pengajian minggu lalu”.  Deg.. terasa lemas seluruh persendian Supinah, “apakah.. apakah mereka sudah mengetahuinya” batinnya bertanya.  “begini Bu Supinah, mana tahu dari penjelasan Ibu ini nantinya dapat dirunut sumber uang itu dari mana sehingga dapat ketahuan siapa pencuri kotak infaq pengajian itu. “ada kelegaan dalam hati Supinah. “berarti mereka belum tahu, aku  masih bisa berbohong”.   Separuh hati hatinya berbicara lagi, “jangan.. jangan kau tambah dosa yang telah engkau lakukan, cukup dosa kemarin telah tertebus dengan masuknya anakmu dalam rumahsakit dan meninggal, jangan kau tambah lagi!”.  

 keringat bercucuran hati tak karuan, sungguh perasaan yang menyiksa sekali ia rasakan. Hatinya ingin berbohong namun sebelah hatinya lagi melarang.  Dalam kegamangan itu, perlahan setetes embun bening keluar dari sudut matanya, aduhai sekiranya ada kamar dalam rumahnya ini tentu ia akan izin sebentar untuk ke kamar untuk menangis menumpahkan segala kegundahan hatinya.  Dadanya begitu sesak hatinya menangis, ada penyesalan menyeruak begitu cepat.  Hingga dengan reflek dia berdiri dan berlari menghambur keluar, “Bu pinah mau kemana Bu,  dia berlari terus hingga sampai pada jalan aspal yang dingin, dia  terus berlari sementara Ibu-ibu lain telah jauh tertinggal dibelakangnya.  Hingga suatu saat dilihatnya lampu begitu terang menyilaukan dan suara klakson mobil yang memekakan telinga, beberapa detik setelahnya adalah kesakitan teramat sangat yang hanya sesaat, selebihnya dirinya terasa enteng melayang hingga kelangit, disana dibalikawan yang serba putih, berdiri seseorang dengan senyum khasnya… Mas Eko, menuntun Tina, suami dan anak yang sangat dicintainya menyambutnya, Sayup- sayup dia sempat mendengar Ibu-ibu  yang juga tamunya tadi meneriakkan namanya.. Buuu…pinnaaaahhhh…!!!!!

Tamat    
Batulicin- 3 okt 13



Tidak ada komentar :

Posting Komentar