Suasana pagi pasar
Kebayoran Lama Jakarta Selatan begitu riuh, ramai sekali, orang-orang yang akan
membeli berbagai keperluan, mereka lalu lalang tak beraturan, maklum ini hanya
pasar tradisional, yang memanjang menyusuri jalan raya beraspal, Supinah
menghentikan langkahnya di depan tumpukan sampah, “hhhh..” desahan nafas itu
terdengar lagi, dirinya terlihat ragu melangkah, bola matanya liar menatap
kesana-kemari, “mari Bulek Pinah…!”, suara Njun anak tetangganya
mengagetkannya.. “eh iya Njun.. mau kemana kamu”, “mau ke pasar Bulek disuruh
enyak beli singkong”, “ufttt.. hampir aja ketahuan, bisa berabe nanti,
bisa-bisa kesebar berita kalau gorengan aku di buat dari bahan-bahan yang
dipungut di sampah” supinah bergumam. Kemudian aksinya dilanjutkan kembali
mencari dan mengumpulkan kubis, wortel, tauge, dari sampah yang bertumpuk di
sudut pasar, untuk diolah menjadi isi gorengan yang akan dijualnya dengan
berkeliling, tentu saja hal itu dilakukan dengan mengendap-endap dan selalu
waspada agar jangan sampai ketahuan tetangganya. Apa mau dikata hal ini harus dilakukan, harga
bahan-bahan sudah melambung tinggi, dirinya sudah tidak kuat lagi membeli
bahan-bahan dasar pembuat gorengan, sehingga ia hanya membeli tahu dan Tempe
yang baik, sedang selebihnya ia harus memungutnya di tempat sampah, mengais-ngais
dan memilah diatara tumpukan sampah itu bahan-bahan sayuran yang masih dapat
diambil. Orang seperti dirinya yang
merantau dari sebuah desa di jawa tengah, yang hanya mengandalkan fisik dan
tenaga, tanpa skill dan keterampilan memang harus rela, rela sebagai kaum yang
termajinalkan dalam rimba kota Jakarta yang ganas.
“Tin.. kamu potongin
ubi ini ya, ibu yang motongin kolnya!”, “iya Bu”, Tina anaknya sangat begitu
penurut, namun ia sudah tidak sekolah lagi. Hatinya menangis manakala mengingat
itu. Anak wanita seusia tina sudah harus membantu keuangan keluarga dengan
menyemir sepatu hingga sampai ke terminal Lebak Bulus. Perlahan airmatanya
tumpah, Supinah tergugu, “Bu.. kenapa Bu.. Ibu menangis ya..”.”eh.. ini tin
jari Ibu keiris kecil aja sih, tapi cukup sakit”, terpaksa dirinya berbohong
demi anak yang dicintainya itu tidak melihat kegundahan hatinya, “Ibu keluar dulu ya, mau beli obat merah”. Diluar rumah tangisan itu pecah
lagi tanpa dapat dibendung. Ia teringat akan mendiang suaminya yang sudah dua
tahun meninggalkannya tidak ada kabar berita entah kemana. “Ups..”, sekejap ia
tersadar bahwa perkerjaan telah menantinya, serangkaian kerutinan yang harus
dilakukan, yang sebenarnya menjemukan, mengupas ubi jalar, mengiris tempe, memotong-motong
sayuran, membuat adonan terigu, serta menggorengnya, “ahhh… entah kapan hal ini
akan berakhir” hatinya bergumam.
Tak terasa waktu sudah
berlalu lebih dari tiga jam dirinya berkutat di dapur, ditengoknya tina sibuah
hatinya sudah tertidur pulas, disisinya berserak potongan Ubi jalar yang belum
selesai di kupasnya. Terlihat wajah polos anak semata wayangnya itu, perlahan kegundahan
memenuhi dadanya. Rasa sangat bersalah
menyeruak begitu keras, bersalah karena telah menelantarkan pendidikannya,
bersalah karena telah mengekslpoitasi sang anak untuk menghasilkan uang yang
tidak besar. “ahh..!!” batinnya tambah perih ingin rasanya menangis lagi, namun
hal itu sudah terlalu sering dilakukan, sampai-sampai tak ada sisa airmata
dapat ditumpahkan lagi. Di gendong anaknya menuju tempat tidur yang sebenarnya
bukan tempat tidur, ia hanyalah tikar usang yang diatasnya ditumpuk beberapa
baju-baju usang yang tidak laik pakai, yang penting bisa menghangatkan badan
dirinya dan tina anaknya.
-----ooo0ooo-----
Suasana dingin malam
yang sangat menemani tidurnya, dingin yang teramat sangat menusuk sampai
ketulang sumsumnya, tidur yang tidak nyaman. Sesekali gemeretak suara giginya menahan
dingin, diselingi suara berdecit eratan tikus yang berlarian melewati
kaki-kakinya, bagaimana tidak rumah triplek
yang sempit tidak memungkinkan untuk dipisah antara dapur dan kamar
tidur, apalagi ruang tamu, sehingga tikus-tikus yang biasa berkeliaran didapur
juga berkeliaran di kamar tidur karena memang ruangnya tidak berbeda. Mungkin
rumah kantrakannya ini adalah rumah kontrakan terburuk yang ada di kota Jakarta.
Dalam keresahan yang dalam Supinah, Ibu beranak satu itu tetap terjaga sesekali
didengar suara igauan tina yang sangat
dicintainya, matanya nanar menerawang jauh,
batinnya menangis dada terasa sesak, demi teringat kejadian tadi siang,
kejadian itu tak dapat ia lupakan, bagai goresan pisau belati menorah tajam
dihatinya
“Gorengan-gorengan…. Gorengan Pak, Bu,
gorengan..” hampir serak rasanya dirinya beteriak, teriak menjajakan
dagangannya, dari lorong-ke lorong, dari sekolah kesekolah, seluruh badannya serasa mau remuk, dan
kakinya begitu pegal, sudah sepertiga hari dilaluinya namun entah mengapa hari
ini begitu sepi, hanya beberapa potong bakwan, dan tahu goreng yang laku,
sesisanya begitu banyak.
“Gorengan Pak dicobanya
kembali menawarkan dagangan begitu dilihatnya beberapa pekerja bangunan sedang
beristirahat di muka bagungan yang belum selesai, “gorengan Bang, bakwan, tahu,
tempe, mari bang gorengannya”, dia mencoba lebih aktif menawarkan, hingga satu
titik harapan timbul ketika salah seorang memanggilnya,”yu,, gorengannya yu!”,
“silahkan Pak”,”wah gorengane, berapa yu?”, salah seorang dari pekerja itu
mendekat dan melihat ke arah bakul dalam gendongannya, namun setelah itu sempat
dilihatnya, mata pekerja itu melirik
nakal ke arahnya. Selintas ada firasat tidak baik menyeruak dalam hati, namun
hal itu di tepisnya, dan kembali dengan senyumnya menawarkan dagangannya
kembali.
“Yu.. sing iki panganan
opo yu?”, “o.. niku bakwan mas, monggo dipun skecoaken!” , supinah memberikan
sepotong bakwan kepada pekerja itu,
namun bukan bakwan yang di ambilnya malah tangan supinah diraihnya. “jangan
takut yu, aku cuma pengen kenalan kok!”, tangan supinah erat digenggam, dengan
cepat supinah menarik tangannya sehingga tarik menarik terjadi beberapa detik,
kemudian terlepas, dan dengan mimik lucu, namun bagi supunah lebih tepat disebut
menghina, lelaki itu mencium tangannya sendiri. “hmmm wangine tangan bakul
gorengan, ha.ha..ha.ha….”, lelaki itu tertawa cekikikan, diringi dengan derai
tawa kawan-kawannya, supinah melihat gelagat yang semakin tidak baik, seorang
dari lelaki itu telah berani kurang aja kepadanya. Mulai detik ini ia harus
lebih berhati-hati menghadapi mereka. Sepuluh menit telah berlalu mereka
terlihat asyik mengunyah gorengan. “ yu.. berapa ini yu?”, Tanya salah seorang
lagi dari balik dinding kamar bangunan yang masih setengah jadi, “apa aja
mas?”, “bakwan dua, tahu satu, tapi kesinilah kamu, ini uangnya disini!”, “sini
ajalah mas, mas aja yang datang kesini, ini saya masih ngelayani yang disini!”.
Supinah mulai berhati-hati, namun seseorang dari mereka berkata “sudahlah yu
turuti saja, itu mandor kami kang parto namanya, jangan sampai membuat dia
marah, nanti bisa berabe jadinya!”, supinah enggan beranjak dari duduknya, karena
dirinya saat ini sangat berhati-hati, setelah kejadian salaman tadi.
“yu.. ini uangnya lama
sekali, cepat ambil!”, suara lelaki dari balik dinding kamar tadi lebih keras
terdengar, akhirnya dengan malas supinah berdiri dari duduknya dan berjalan
kearah kamar yang belum sepenuhnya jadi itu, namun mendadak dirinya merasa
takut, dan gemetar karena ternyata beberapa pekerja mengikutinya dari belakang.
“lho..lo.. kenapa sampean mengikuti aku begitu?, dirinya mulai khawatir,
“memang kenapa, nggak boleh tha?”, jawab seorang dari mereka. Supinah mempercepat langkahnya, setelah sampai
di kamar dilihatnya seorang lelaki gembrot dengan uang duapuluhribuan
ditangannya, dialah yang dipanggil Kang Parto mandor bangunan, jabatan
tertinggi di proyek bangunan ini. “yu, ini uangnya dah kembalinya ambil saja!”,
terimakasih Mas”, dengan cepat Supinah membalik badan hendak pergi meninggalkan
ruangan itu tetapi dilihatnya di depan pintu sudah berdiri menghadang, beberapa
orang yang mengikutinya tadi. ‘Yu.. mau
kemana cepat-cepat pergi?” kita bersenang-senang dulu lah, nanti kami bayar
berapapun kamu minta”, seorang dari mereka berkata dengan menarik tangannya.
dengan cepat ditarik tangannya kembali, dan sangat reflek menampar pipi lelaki
tersebut, yang ditampar malah tertawa-tawa diiringi dengan tawa kawan-kawannya.
Mereka tertawa sangat lepas begitu dilihat Supinah yang ketakutan, “ayulah
jangan munafik, kamu mau kan dan kamu juga lagi perlu duit kan, ayu sayang
kemarilah!”, mata para lelaki itu bagai mata serigala yang hendak menerkam
mangsanya, Supinah terjebak, terkepung diantara para serigala rakus dan buas
itu, namun mendadak salah seorang lelaki yang tepat berada di depan pintu memberi
isyarat, “husss.. heh Pak Haji Marbun datang, bubar, ayu kita bubar!, “huh
sial, hey sayang urusan kita belum selesai ya, besok datang lagi ya, kita
lanjutin”, seorang dari mereka berkata sambil mencolek pipi supinah, yang masih
saja ketakutan,
Dentang tiang lsitrik
yang dpukul tiga kali oleh para peronda malam mengagetkannya, namun bayangan tadi
siang itu masih saja menari-nari dipelopak matanya, sehingga dia tak dapat
terpejam. Allah masih sayang padanya,
Dia masih melindungi dirinya, kalu saja tidak ada Pak Haji Marbun, si pemiliki
bangunan itu, mungkin dirinya telah terenggut. Ya sebuah harga yang sangat dia
jaga sejak kepergian Mas Eko, yang entah dimana rimbanya sekarang. Hahh.. Ya Gusti.. mengapa begitu berat cobaan
yang Kau timpakan pada hamba..hatinya berontak, berontak pada keadan, berontak
pada nasib bahkan berontak pada Tuhan.
Waktu menunjukkan pukul
tiga dini hari namun Supinah belum juga dapat memejamkan matanya, diam-diam ada
sebuah rencana menyeruak begitu saja di alam fikirannya,rencana yang entah
datang dari mana. Tekatnya sudah bulat,
besok adalah jadwal pengajian Ibu-ibu di mushalah Almuhajirin sebuah mushalah
yang tepat berada di belakang rumah kontrakanya ini, rencana sudah disusun
semoga tidak ada yang meleset. Dia tahu betul bahwa kotak amal pasti akan
terisi penuh, dan seperti biasanya perputaran kotak amal pasti akan dimulai
dari shaf kanan depan, akan bergulir dari tangan ketangan dan berakhir di shaf
kiri belakang, yang letaknya tepat di samping ruang belajar anak-anak TPA. Ia
akan duduk tepat di titik itu, kemudian saat semua jamaah sedang khusuk mendengarkan
materi ceramah ustadzah Ani, dia akan melaksanakan niatnya mencuri uang dari
kotak amal. ” Hhhhh…!!” entah sudah
beberapa kali desahan nafas itu terhembus, nafas kegundahan, walaupun dia tahu apa yang akan dilakukannya
adalah salah, namun sempat juga ia berdoa semoga Allah SWT memudahkan niatnya
ini, demi dirinya dan anaknya dapat makan. Sisanya untuk membayar
hutang-hutangnya, kegundahan itu terus saja bergelayut, hingga matanya terpejam
pulas.
----ooo0ooo----
“Assalamu’alaikum
Warahmatullahi wabarakatuh”, suara Ustadzah syarifah terdengar membahana
keseluruh ruangan mushalah, Ibu-ibu tetangganya sudah banyak yang datang,
bagus-bagus pakaiannya, bahkan sempat diliriknya Ibu Djoni, seperti biasa Ibu yang satu itu selalu berpenampilan glamour
dengan serentet perhiasannya, dari cincin, gelang, sampai kalung. Mengapa Allah
tidak adil, mengapa diberikan berbagai kenikmatan untuk mereka sedangkan
dirinya dibiarkan olehNYA dalam kesengsaraan, Supinah sengaja tidak masuk dulu,
ia masih saja berdiri di luar, tekatnya sudah bulat untuk melaksanakan
rencananya,
“Alhamdulillah
washalatu washalamu ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad”
ustadzah Syarifah membuka majelis dengan pujian kepada Allah SWT, serta
bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, ada kebimbangan dalam hati Supinah
setelah mendengar nama Allah dan Rasulnya disebutkan. Kegamangan apakah akan dilanjutkan rencananya,
namun demi teringat akan hutangnya yang sudah sangat melambung tinggi, serta
harga-harga bahan pokok meningkat setelah pemerintah yang tidak punya hati
menaikkan harga BBM, dirinya tidak bisa berjualan gorengan dengan bahan yang normal, kembali karena harga minyak tanah dan bahan-bahan
dasar pembuat gorengan jadi ikut-ikutan naik, Apakah pemerintah tidak memikirkan
nasib orang kecil seperti dirinya, sehingga dengan seenaknya menaikkan harga
BBM. Semua itu menimbulkan keberaniannya kembali untuk melaksanakan niatnya,
rencananya sebagian uang kotak amal yang dicurinya itu untuk membayar
hutang-hutangnya, sebagian lagi untuk modal usaha gorengannya kembali dan sisanya untuk makan
anak-anaknya.
Posisi duduknya telah
diatur sesuai rencana semalam duduk di shaf kiri belakang, sambil bersandar
pada kusen pintu musholah,.. “Baiklah Ibu-ibu setelah pembacaan kalam Ilahi
tadi maka sampailah kita pada acara pokok yaitu penyampaian materi keislaman
yang akan disampaikan oleh ustadzah Ani, kepada ustadzah Ani kami persilahkan!”. Suara ustadzah syarifah didengarnya sangat
kecil, tidak sebanding dengan besarnya gundah di hatinya Bahkan pembacaan kalam
Ilahi ternyata sudah selesai, tanpa ia sadari tadi. Dilihatnya Ustadzah Ani maju kedepan, seorang
ustadzah yang sangat diseganinya, masih muda, cantik. Seorang lulusan sebuah universitas terkenal
di Jakarta, suasana hening, jamaah seperti terkesima dengan kharisma ustadzah
muda ini, apalagi setelah suara merdunya berkumandang mengisi setiap ruang
mushala. “Asalamu’alaikum warahmatullahi
wabaraktuh”.. serentak semua jamaah menjawab Wa’alaikum salam Warahmatullahi
wabarakatuh”. “Ibu-ibu sekalian kajian kali ini adalah tentang kesabaran, sabar
dalam menjalani hidup”. Deg..bagai di sengat
listrik ribuan watt hati supinah tersentak “kok bahasannya itu, seperti tahu
saja ustadzah Ani akan pikiranku” Supinah membatin,
“Ibu-ibu sekalian
jamaah kajian bulanan majelis taklim kaum Ibu mushalah Al Muhajirin yang
berbahagia, sudah sunatullah dalam kehidupan kita mengalami kebahagiaan, juga kesedihan”. Suara
lembut itu mengalir lagi bahkan kali ini terasa begitu sejuk, bagai aliran air
kehati setiap para jamaah. Termasuk supinah, ia begitu terkesima pada ustadzah
idolanya itu. “kita harus siap terhadap
semua kenyataan kehidupan ini, manis, pahit, suka, getir pasti akan silih
berganti”. Sebagai umat muslim yang percaya betul bahwa semua itu datangnya
dari Allah SWT, ketahuilah jika seluruh mahluq ingin membuat engkau bahagia
maka tidak akan bisa tanpa seizin Allah SWT.
Demikian juga sebaliknya jika seluruh mahluq ingin mencelakakan engkau
maka tidak akan bisa tanpa seizin Allah SWT”. Suara itu,ya ,…. suara itu
kata-katanya begitu menghujam ke ulu hati Supinah, tak terasa butiran embun
bening dan hangat tersebul diantara
kelopak matanya. “begitu rapuhkah
imanku”, sehingga merasa tak kuat akan ujian ini?, batin supinah berbisik. Tidak… sekarang batin itu bukan sekedar
berbisik tapi berontak, hatinya seolah protes menanyakan akan rencana yang
telah tersusun rapi, selintas diliriknya kotak amal telah bergerak semakin
mendekat tinggal dua shaf lagi didepannya. Namun sebelah hatinya
berbisik,”engkau harus kuat jalankan rencanamu, jika berhenti bagaimana dengan
hutang-hutangmu, kelangsungan usaha gorengamu, makan anakmu” suara sebelah hati
itu semakin kuat membisik.
Ibu-ibu sekalian yang dirahmati
Allah SWT, mengenai permasalahan dalam hidup Allah Berfiman Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka
berkata Innalillahi wa innailaihi rajiuun. Jadi ujian itu datangnya dari Allah SWT,
dengan berbekal keyakinan kepadaNYA. Seharusnya kita lewati ujian itu dengan
kesabaran “Allah juga berfirman Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan. Dan mintalah
pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan salat. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Suara Ustadzah Ani begitu nyata semakin masuk kedalam
relung hatinya, ingin rasanya ia berteriak “Hentikan!!”, karena semakin membuat
sakit kepalanya. Keringat dingin keluar dari setiap porinya, kegamangan hatinya
begitu dahyat apakah rencana mencuri kotak amal jadi ia lakukan?,
Hatinya
sudah tidak kuat lagi pertikaian dalam hati sanubari terdalam semakin
membuatnya bingung, namun tekat itu begitu dominan demi diingat segala
permasalahan yang dialaminya selama ini.
Kotak
amal telah berada tepat didepannya, sejenak dia menoleh kekiri dan kekanan. Semua
jamaah sangat khusuk menyimak ceramah yang disampaikan oleh ustadzah Ani, “ini
waktunya hatinya berbisik”. Sejenak
masih ada keraguan hatinya berperang lagi, peluh bercucuran bukan hanya membasahi
kerudungnya, sampai membahasahi bajunya. Namun tekad dihatinya menuntun
tangannya dengan amat perlahan membuka kotak amal itu, dan diambilnya semua
uang didalamnya tanpa tersisa, lalu diselipkan kedalam tas plastik yang sudah
disediakannya, “hh.. hembusan nafas itu
terdengar lagi, nafas kegalauan.
Setelah
kejadian itu, hatinya tak tenang. Sementara
ceramah ustadzah Ani masih berlangsung, namun tidak dapat lagi didengarnya sama
sekali, terkalahkan oleh suara ketakutan. Takut jika aksinya tadi dilihat orang, hal ini
berlangsung sampai pengajian berakhir dan para jamaah pulang.
-----ooo0ooo-----
“Assalamu’alaikum….
Assalamu’alaikum”, beberapa kali Supinah mengucapkan salam. Sudah beberapa kali juga dia mengetuk pintu rumahnya, namun
tak juga di dengarnya salam Tina. Mungkin tina belum pulang, tidak biasanya
sampai sesore ini anak itu belum pulang dari nyemir sepatu, biasanya jam lima
sore hari, senyum lugu anak itu sudah menyambut dirinya. “tina..tina..!,
beberapa kali nama anaknya di panggilnya, berarti anak itu belum pulang.
Bergegas diambilnya kunci yang memang setiap hari diselipkan diantara pot bunga
depan rumahnya, sesampainya didalam rumah dia masih juga memanggil nama
anaknya. “tin.. ini Ibu belikan martabak kesukaanmu, Ibu baru dapat uang lebih
nih nak”. memang yang terpikir pertama
kali setelah dirinya berhasil mengambil uang kotak amal pengajian tadi adalah
menyenangkan hati anaknya dengan membelikan martabak manis, yang sangat disukai
anaknya namun jarang sekali dia dapat memakannya karena ketiadaan uang dirinya
untuk membelinya. Suasana rumah sepi, mendadak terdengar suara salam di depan
pintu “Assalamu’alaikum”, “wa’alaikum salam”, jawabnya. Nampak sosok Pak Ramli
ketua RT dibalik pintu. “Begini Bu Supinah, saya mengabarkan bahwa anak Ibu
kecelakaan, Tina saat ini dirumah sakit fatmawati, dia tertabrak metromini,
saat hendak menyebrang melintasi pintu terminal lebak Bulus”, “hahh..!?”,
hatinya seperti tertohok palu godam ribuan ton sesak sekali. ”tinnaaaa.!” Dan martabak manis dalam
genggamannya jatuh berhamburan dilantai.
-----ooo0ooo-----
Suasana
rumah sakit semakin membuatnya sesak, bagaimana tidak tina anak yang sangat
dicintainya terbujur di tempat tidur, dan nyawanya tidak dapat tertolong. Beberapa
tetangga sudah datang menjenguk ada Ibu Roni, Ibu Sri, Ibu tiwi, dan Ibu romlah
rombongan itu dipimpin oleh Ibu Ramli ketua RT 07. “bagaimana Bu keadaan tina?”,
Ibu Romli mengawali percakapan. ”Alhamdulillah
sudah Bu, dia sudah tenang bersama pemiliknya”, jawabnya dengan menyibakan
selimut yang sedari tadi menyelimuti jasad anaknya. “kami turut berdukacita Bu,
ini ada sedikit bantuan dari Ibu-ibu pengajian mushalah kita, tidak banyak sih
Bu, karena kemaren saat pengajian uang kotak amal kita di curi orang, entahlah
Bu siapa yang tega mencurinya padahal uang itu sangat bermanfaat seperti saat
diperlukan sekarang ini, untuk bantuan perobatan jamaah yang sakit”. Seketika pucat pasi wajah Supinah, “kenapa Bu
kok mendadak pucat, dan gemetar begitu?”, “ah tidak Bu, mungkin saya hanya
kecapaian belum tidur sudah dua mala mini menjaga tina”, jawabnya
mengelak. Aduhai jika sekiranya Ibu-ibu
ini tahu bahwa yang mencuri uang kotak amal adalah dirinya, alangkah malunya
ia. “ahh.. “desahan nafas itu terdengar
lagi, seiring dengan penyesalan menyesalan yang sedikit-demi sedikit menjalari
hatinya. Kegundahan hati itu semakin
lama semakin besar, dan menyesakkan dadanya.
Suasana menjadi kaku dan sunyi sekejap, kemudian… “Ibu Supinah Ibu
diminta untuk ke bagian administrasi, jasad tina saat ini sudah boleh di bawa pulang!”
“baik sus, “Bupinah mari saya damping ke bagian administrasinya, Bu Ramli menawarkan
diri untuk mengantarnya.
“Ibu
Supinah, jasad anak Ibu sudah diperbolehkan dibawa pulang, dan Ibu harus
menunaikan pembayaran sebesar tiga juta rupiah, sudah termasuk biaya rawat
inap, perlakuan dokter dan obat-obatan”.
Baik Bu akan kami lunasi, “Bupinah Ibu ada uang?” Bu Romli bertanya dari
raut wajahnya Nampak ketidak percayaannya, “jika tidak ada kami akan buat
edaran RT agar warga bisa membantu Ibu”.
“terimakasih Bu tidak usah,
Alhamdulillah saya selalu menabung dan ada uang tabungan saya sebesar Satu Juta
lima Ratus Ribu Rupiah, jika ditambah dengan uang sumbangan dari Ibu-ibu
pengajian dan Ibu-ibu tetangga lainnya maka cukup untuk membayar lunas biaya
ini Bu”, Supinah menerangkan dengan panjang lebar.
Kemudian
Supinah mengeluarkan uang dalam plastik, ya uang hasil curian kotak amal
pengajian. Setiap uang sudah terikat
rapi berdasarkan nilainya, supinah membukanya menghitung kembali. “sebentar..” tiba-tiba Ibu Romlah menghentikan
tangan Supinah, ketika hitungan sampai pada uang lembar lima puluh ribuan. “ada
apa Bu Ramli”, “ahh tidak sudah lanjutkan Bu.
Bu Ramli terlihat sangat tegang, uang itu… ya uang limapuluh ribuan itu
adalah uangnya. dia ingat betul anak terkecilnya mencoret-coret dengan lipstick,
saat ia berdandan hendak pergi mengaji, masih terbayang dalam ingatannya
anaknya mencoba menuliskan ummi, pada uang itu namun di tarik dan dilarang
sehingga tulisan itu hanya tertulis umm dan goresan panjang sampai ketepi. Dan masih
terbayang saat ia memasukkan uang lmapuluh ribuan itu kedalam kotak infak
pengajian, Hatinya gelisah antara
percaya dan tidak percaya.
-----ooo0ooo-----
Malam
ini lampu kamar rumahnya terlihat terang, namun tidak seterang hatinya, karena
anak satu-satunya tidak dapat berkumpul kembali bersamanya, bercengkrama, dan
bercerita mengisi hari-hari dirumah kontrakanya. Kesedihan ini begitu berat,
hingga seakan dia tidak sanggup untuk menanggungnya, walau uang hasil mencuri
otak amal pengajian semuanya tercurah untuk biaya rumah sakit anaknya, ia tidak
menyesal, mungkin inilah scenario dari Allah SWT, untuk anaknya. Dari mana uang
itu ia dapatkan, seandainya dia tidak melakukannya. Uang dari sumbangan Ibu-ibu
tetangganya dan Ibu-ibu pengajian hanya setengah dari uang yang harus dibayar
di rumah sakit.
“Assalamu’alaikum”,
“Walaikum salam” jawabnya, wah Bu Romlah, Ibu Roni, dan Ibu Sri, wah.. ada apa
gerangan nih ayo silahkan Masuk Bu”. Kemudian
mereka duduk di ruang yang berfungsi sebagi ruang tamu juga, ruang tidur juga
dan dapur juga. Karena memang
satu-satunya ruangan disitu. Setelah berbasa-basi sebentar kemudian Ibu Romli,
masuk pada tujuan kedatangan mereka. “mohon maaf Bu Supinah, saya penasaran
sekali. saat melihat Ibu menghitung uang di rumah sakit, ada selembar uang lima
ribuan yang persis sekali dengan uang yang saya masukkan di kotak amal saat
pengajian minggu lalu”. Deg.. terasa
lemas seluruh persendian Supinah, “apakah.. apakah mereka sudah mengetahuinya”
batinnya bertanya. “begini Bu Supinah,
mana tahu dari penjelasan Ibu ini nantinya dapat dirunut sumber uang itu dari mana
sehingga dapat ketahuan siapa pencuri kotak infaq pengajian itu. “ada kelegaan
dalam hati Supinah. “berarti mereka belum tahu, aku masih bisa berbohong”. Separuh hati hatinya berbicara lagi,
“jangan.. jangan kau tambah dosa yang telah engkau lakukan, cukup dosa kemarin
telah tertebus dengan masuknya anakmu dalam rumahsakit dan meninggal, jangan
kau tambah lagi!”.
keringat bercucuran
hati tak karuan, sungguh perasaan yang menyiksa sekali ia rasakan. Hatinya
ingin berbohong namun sebelah hatinya lagi melarang. Dalam kegamangan itu, perlahan setetes embun
bening keluar dari sudut matanya, aduhai sekiranya ada kamar dalam rumahnya ini
tentu ia akan izin sebentar untuk ke kamar untuk menangis menumpahkan segala
kegundahan hatinya. Dadanya begitu sesak
hatinya menangis, ada penyesalan menyeruak begitu cepat. Hingga dengan reflek dia berdiri dan berlari
menghambur keluar, “Bu pinah mau kemana Bu,
dia berlari terus hingga sampai pada jalan aspal yang dingin, dia terus berlari sementara Ibu-ibu lain telah
jauh tertinggal dibelakangnya. Hingga
suatu saat dilihatnya lampu begitu terang menyilaukan dan suara klakson mobil
yang memekakan telinga, beberapa detik setelahnya adalah kesakitan teramat
sangat yang hanya sesaat, selebihnya dirinya terasa enteng melayang hingga
kelangit, disana dibalikawan yang serba putih, berdiri seseorang dengan senyum
khasnya… Mas Eko, menuntun Tina, suami dan anak yang sangat dicintainya
menyambutnya, Sayup- sayup dia sempat mendengar Ibu-ibu yang juga tamunya tadi meneriakkan namanya..
Buuu…pinnaaaahhhh…!!!!!
Tamat
Batulicin-
3 okt 13
Tidak ada komentar :
Posting Komentar