“Sumi … sekarang giliranmu..!”
Suara Mas Edi mengagetkannku,
kemudian tubuhnya sudah beranjak dari duduknya dan berlari ketengah panggung
“bagaimana penonton semua, puas
dengan penampilan mbak gita purnama..,,???, serentak para penonton seperti
kerasukan syaithan, mereka menjawab serempak
“beluuuuummm..!!!”. “Mau
tambah,,???”, “maaauuuuu..?” .
Memang Mas Edi paling pandai
untuk menghidupkan suasana, beliau adalah pimpinan group orgen tunggal Cahaya
Nada, beliau jugalah yang telah mengangkat kehidupanku seorang gadis desa
transmigrasi di wilayah Indragiri Hulu Provinsi Riau, . Dan sekarang jadilah
aku sebagai penyanyi group music Orgen Tunggal yang biasa dipanggil dari
kampung ke kampung untuk mengisi acara hajatan perkawinan. Khitanan atau acara
hajatan lainnya
“Selamat jalan Bapak Kepala Desa
Talang Mulia, doa kami semoga selamat sampai kerumah dan mendapat kan istirahat
yang tentram setibanya di rumah” suara Mas Edi membahana seantero panggung. “ Baiklah
para hadirin.. demi meriahkan suasana, kita panggilkan biduanita kita si seksi
yang tak asing lagi, seorang biduan
bintang panggung ini…. Hadirin sekalian kita sambut Sumi asmaranti”.
Aku bergegas berlari ketengah
panggung, “penontooonnn…???, belum puas dengan goyangan Mbak Gita tadi..??”,
“Belummm..”. mau di goyang lagiiii…???”, “Mauuuuuu..!!”.
Suasana semakin gaduh dengan
tepok tangan dan sorak sorai mereka, diringi sesekali dengan suitan. Bagiku itu adalah irama yang sangat
merdu. Bagi seorang penyayi dangdut sepertiku tidak ada yang paling membahagiakan
selain suara gemuruhnya penonton yang antusias menyambut kedatanganku, karena
itu adalah pertanda jika aku diterima oleh mereka, penerimaan penonton adalah
puncak penghargaan yang paling tinggi bagi penyanyi seperti ku
“Baiklah sahabatku semua.. yuuukkk
kita goyang lagi sambil bernyanyi , sumi akan menyanyikan lagu Rambut-rambut
Cinta “. Para penonton semakin antusias, ada yang bertepuk tangan, ada yang
berjingkrak-jingkrak, ada yang bergoyang dengan gendong di pundak kawannya,
bahkan ada yang mencoba untuk naik ke panggung, dengan tujuan dapat bergoyang
denganku di panggung. Dapat naik keatas
panggung dan bergoyang bersama penyanyi adalah sebuah kebanggaan tersendiri
bagi mereka. Namun tentu saja petugas
hansip desa tidak tinggal diam secepat kilat mereka mengusir para penonton yang
mencoba menaiki panggung. Bahkan ada yang terkena pukulan pentungan hansipnya.
Rabut-rambut siapa ini kasih
Bikin tak enak hati
Semalam makan dimana
Semalam tidur dimana
Mana..mana..mana..
Sama..sama..siapa ..
Bukan siapa..siapa..
Aku..aku benci kamu....
Aku bergoyang meliuk-liukkan
tubuh, para penonton seperti kerasukan merekaberjingkat-jingkat, bersorak sorai. Mendadak darahku berdesir, dalam keriuhan
suasana itu sayup sayup terdengar suara yang tembus sampai ke hati “Allahu
Akbar… Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar, Asyhaduallaa illahailallahu,
Asyhadualla illahaillahu”. Ternyata waktu isya telah tiba. Memang acara ini dimulai
beberapa menit setelah maghrib, Pak Wagino sempat mengingatkan agar acara
dimulai setelah Isya tetapi Mas Edi berhasil mempengarhui tuan rumah untuk
mempercepat acara dengan alasan jika dilakukan setelah adzan maka waktunya
kurang lama karena izin dari kepolisian acara ini hanya sampai jam satu malam.
Demi mendengar suara Adzan aku
tersentak sesaat, hanya sesaat aku terngiang perkataan Ibuku yang selalu dia
katakan “sudahlah nduk, berhentiah kowe jadi penyanyi dangdut keliling, jaga
nama baik keluarga kita, walau kita miskin tapi jangan kau rendahkan martabat
keluargamu nduk, carilah kerja yang lain!”, “penyanyi dangdut bukan kerjaan
baik nduk ibu lihat sekarang kamu jarang sholat, sholat jangan kamu tinggalkan
nduk sesibuk apapun kamu”, jika sudah begitu aku dengan ketus akan menjawab, “
ini bukan salah sumi mbok, ini salah mbok mengapa mbok ndak sekolahkan sumi,
seperti asih, inah, mereka semua sudah lulus SMA dan sekarang sudah bekerja di
Pekan Baru, seharusnya mbok bersyukur sumi yang cuma lulus SD ini dapat kerja yang
hasilnya lumayan, ini buat mbok juga kok”, dan ujungnya dapat ditebak ibuku
akan menangis.
Suara yang mirip gendang, gitar,
dan piano yang keluar dari sebuah orgen menyadarkan lamunanku, aku sedikit
tergugup, aku sadar aku sedang kerja, penonton harus dipuaskan, aku coba resapi
iramanya ternyata belum ketinggalan dan bisa aku susul dengan syair reff nyanyianku
selanjutnya.
---oo0oo---
Ku hempaskan tubuh penatku di
kursi rias diruang ganti, sebuah rumah yang sengaja disiapkan oleh panitia
untuk tempat istirahat bagi kami. Puas
rasa hati ini telah berhasil memberikan hiburan untuk para penonton masyarakat
Desa Talang Mulia, sebuah desa transmigrasi di wilayah kecamatan Batang Cenaku,
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau
Namun mengapa hati ini tidak
enak, padahal aku bernyanyi sangat bagus, penonton terlihat antusias dan
terpuaskan. “hhhh..!” ku hela nafas panjang, entah mengapa aku sangat gelisah
sekali. Aku teringat percakapanku dengan Ibu saat aku pamit tadi pagi.
“nduk.. kesekian kali ibu katakan,
berhentilah kowe nyanyi!, Sumi…, bagi
ibu uang dan barang-barang yang koe berikan itu ndak berarti sama sekali, Ibu
kepingin liat Sumi ibu yang dulu, sumi yang cantik pintar mengaji, rajin bantu
Ibu”
“Mbok… sudah sumi katakan sumi
ndak bisa cari kerja lain”.
“Sumi, Mbok khawatir liat kamu
nduk, kamu semakin jauh saja dari nilai agama, kamu sudah jarang sholat, dan
paling Ibu malu pakaian kamu itu lah mi, mbokyo pake pakean sopan kalau keluar
rumah!”
“alah Simbok, jangan atur-atur
sumi ah, pakean ini sumi yang beli, pakean mbok juga, bukan orang-orang itu
bukan tetangga kita yang bisanya Cuma usil dan nggosip itu, jadi terserah sumi
mau pake apa,
“Hhhh….” Ibuku menghela napas
panjang dan berkata lagi
“mbok juga khawatir akan keselamatan dan kehormatan
kamu di dunia hiburan itu mi..”. “mbok sering denger berita nggak bagus ada
penyanyi yang bisa dibeli oleh penontonya hingga harga dirinya terjual, atau
ada penyanyi yang rela menyerahkan kehormatannya untuk pimpinan grupnya supaya
namanya diorbitkan, mbok shungguh khawatir mi..”
“ahh… Sudahlah.. sumi pusing
ngomong sama mbok, sekarang begini aja mbok mau ndak tho.. sumi beri uang, mbok
mau ndak sih sumi beliin pakean, mbok mau ndak sih sumi kasih uang belanja tuk
makan.. kalau mbok masih mau,jangan larang-larang sumi..
Nampak mata Ibuku mulai basah
“astaghfirullah Sumi!” hanya itu yang dapat ia ucapkan karena aku sudah tidak
dapat mendengar lagi karena aku sudah berbegas berlari keluar karena Mas Edi
sudah menunggu di luar.
“sum, sumi, ngelamunya?, suara Mbak
Gita teman seprofesiku mengagetkanku .
“eh.. iya mbak ada apa mbak?”,
“itu Sum ada penggemarmu mau ketemu
“ya udah suruh masuk aja
mbak”. Kemudian mbak Gita keluar kamar
menuju ruang tamu, mempersilahkan tamu itu duduk , lalu “Miii.. sumi ada yang
ingi ketemu nih,,!”, “iya Mbak sebentar jawabku dari dalam kamar.
Aku keluar kamar menuju ruang
tamu, Nampak olehku seorang Bapak-bapak rambutnya sudah botak di depan tanda
bahwa dia sudah tidak muda lagi.
“Bapak mencari saya..??”.
”iya saya mencari kamu Sum, saya
penggemar kamu, sangat mengagumi kamu”, “saya
dari jauh sum dari Tembilahan, jauh-jauh kesini Cuma mau ketemu kamu.
“terimakasih Pak sudah begitu
menghargai sumi hingga dibelain jau-jauh dari tembilahan”
“tak masalah sum sini tembilahan
bukan jarak yang yang jauh, asal bisa ketemu kamu”
Aku mulai menangkap gejala yang
tidak baik, aku mulai hati-hati, Bapak itu terkesan playboy, dan suka dengan
wanita, dan aku bukan wanita murahan,
“ya,, Pak sekarang sudah ketemu,
sudah ya pak sumi mau istirahat, sumi sangat lelah setelah manggung selama 6
jam tadi” kataku untuk mengusir dia secara halus
“Sum.. jangan panggil Bapak ah,
rasanya tidak enak apa aku tampak tua sekali..?, jiiiah ni Bapak ya jelas
keliatan tua memang sudah tua, dasar orang tua tak tahu diri,tak ingat umur dan
sudah mau masuk kubur, aku mengumpat dalam hati,
“sum.. kita keluar yuuk, kamu
biasa dibayar berapa semalam”
Aku tersentak kaget alang
kepalang, betul dugaanku ujung-ujungnya adalah tawaran berkencan dengannya,
dengan bandot tua yang tak tahu diri itu.
“Begini Pak, eh mas, Sumi adalah
seorang penyanyi, sumi sangat senang menghibur orang lain dengan nyanyain sumi,
hanya itu lain tidak, sumi tidak ingin mengotori kemurnian seni suara ini dengan
hal-hal buruk, jadi terimkasih Mas, Sumi tidak dapat menerima tawaran mas.
“Sumi… lihat ini segini cukup
tidak”, kata orang itu sambil menyodorkan segepok uang,
“ini dua juta, cukup tidak ?,
atau aku tambah lah jadi tiga juta”
Aku melirik uang yang teronggok
di depanku, untuk dapat uang segitu aku harus manggung lima panggilan, dan
sekarang kesempatan mendapatkannya hanya semalam bahkan kurang dari itu,
sejenak ada keraguan dalam hatiku, teringat olehku rumah mbok yang sudah
semakin reyot, mendadak aku ingat ibuku, betul katanya tentang godaan harta dan
dunia, sudah kuputuskan aku harus kuat.
“Pak terimakasih banyak atas
penghargaan Bapak kesumi tapi sudah sumi katakana bahwa sumi tidak bisa
menerima tawaran Bapak mohon maaf ya Pak”
Tanpa kuduga Bapak itu kemudian
berdiri dan berkata dengan keras “jangan
sok suci kamu sum, aku bisa membayar kamu berapa saja, berapa kamu minta?.
“Pak.. jangan sekali-sekali
meremehkan profesi sumi di sini, sekarang keluar dari rumah ini, sumi ndak akan pergi dengan Bapak!!”
bentakku sekencang-kencangnya.
Si bapak bersungut-sungut dan
bejalan tergesa-gesa sambil menendang meja.”diamprut tenan kowe Sum, titenono
aku pasti ndapetin awakmu”
Aku sudah tidak lagi mendengar
kataa-katanya karena aku sudah terlebih dahulu berlalu berlari menuju kamar
ganti.
“sudahlah mi, itu wajar bagi
penyanyi keliling seperti kita, tinggal kita aja bagaimana bersikap atas perlakuan
mereka kepada kita” mbak Gita seperti tahu perasaanku
“tapi aku ndak iso mbak begitu,
senakal-nakalnya aku aku masih njaga norma dan adat kita mbak”
“ok,ok mbak bangga punya temen
kamu mi, yuuk kita siap-siap tidur, besok pagi kita pulang pagi-pagi sekali,
aku kekamarku dulu ya, selamat malam tidur yang nyenyak ya sum”
“injih mbak,” aku menjawab
bersamaan dengan ekor mataku menatap kepergian mbak Gita. Tapi aku menangkap ada bayangan orang lain di depan kamarku.
“mbak Gita sama siapa ya.” Aku bertanya dalam hati. Penasaran kuintip melalui celah lubang
kunciku. Kulihat mbak Gita digandeng mesra oleh seorang lelaki mereka memasuki
kamar dengan sangat mesranya.”haahhh…mbak Gita..???.
“hah..peduli amat “. aku ndak peduli, dengan apa yang barusaja
kulihat. Rasanya ngantuk begitu sangat melelahkanku. Jam weker di meja riasku
menunjukkan jam setengah sebelas. Entah
kenapa aku teringat bahwa aku belum sholat isya, padahal seharian ini saja aku
tidak menunaikan sholat apapun, juga hari-hari kemarin sholatku selalu bolong-bolong dan itu tidak merisaukanku
. Entah mengapa kali ini aku seperti
bimbang seperti ada kekuatan hebat dalam diriku yang menyuruh aku sholat “apa yang terjadi pada diriku, aku ingin
sekali sholat isya.
Aku ikuti kata hatiku, perlahan
aku langkahkan kaki keluar kamar, lalu kulanjutkan membuka pintu rumah karena
memang kamar mandi rumah ini terpisah dari rumah, kira-kira berjarak lima belas meter dari rumah
utama. Apa yang menyebabkan aku seperti
ini, sangat berani keluar rumah berjalan dalam gelap demi untuk mengambil wudhu
untuk menunaikan shalat isya.
“ahh. mas ..hi..hi..hi.. “ suara
mbak Gita jelas sekali terdengar karena saat ini aku sedang melewati samping
biliknya. “ah.. peduli dengan itu semua” hatiku berbisik, aku ingin sekali
kedamaian, ya kedamaian dan ketentraman . mungkin rasa inilah yang menggerakkan
aku sanggup berjalan lima belas meter bolak balik dalam keremangan
malam tuk mengambil wudhu , padahal biasanya aku sangat penakut sekali .
Air pancuran yang dingin
benar-benar memberikan kesejukan, kesejukan yang bukan saja untuk wajah dan
fisiku tetapi juga kesejukan hatiku.
Pengaruh wudhu ini benar-benar dahsyat aku seperti berada dalam alam
bernuansa relaksasi, begitu teduh dan nyaman teramat sangat dihati.
Setelah selesai menunaikan whudu
aku beranjak pergi dengan sangat perlahan kulangkahkan kakiku karena lantai
kamar mandi sangat licin, namun baru saja beberapa langkah aku melangkah. Aku
melihat sebuah bayangan berkelebat.
“Si..siapa itu?’ aku berteriak,
entah kekuatan apa hingga aku begitu tenang
“Siapa disana?” namun tidak ada
jawaban apapun,suasana hening, keheningan malam yang begitu tenang.
“ah mungkin hanya kucing, atau
binatang malam yang sedang berlari mencari makan?” pikirku dalam hati . aku
bergegas mempercepat langkah hingga memasuki rumah dan kamarku.
---ooo0ooo---
“Yaa.. Allah.. di keheningan
malam ini Sumi menghadapMu, terimalah ibadah Sumi kali ini ya Allah!!”, “memang
Sumi tidak pandai beribadah, tidak pandai sembahyang, malah sembahyang Sumi
jarang-jarang, tapi apakah sumi tidak boleh menghadapMu ya Allah?”. “sumi pengen ketenangan, Ya.. Allah, Sumi
tidak tenang bekerja sebagai penyanyi dangdut keliling, tapi dengan apalagi
Sumi harus mencari makan, beliin baju simbok, biaya berobat simbok, ya
Allah…!!! Sumi pusing kalo mikirin itu.. bantu Sumi ya Allah, bantu Sumi..!!” “Ya
Allah kalau Engkau sayang Sumi saat ini Sumi ingin membuat Engkau ridho.. walau
mati sekalipun jika Engkau Ridho Sumi akan senang…
Air mata sudah jatuh bersimbah
membasahi mukena putih yang lusuh, aku sudah tidak bisa lagi membendung. Tiap tetesnya mengalir begitu deras hingga
aku tergugu, sangat tergugu. Entah
kenapa kedamaian teramat sangat memasuki setiap relung jiwa, beban yang selama
ini menghimpit terasa pecah berkeping-keping.
Ada tekat dalam hati ini adalah
panggung terakhirku, sepulang dari sini aku akan berusaha sekuat tenaga mencari
pekerjaan yang lebih baik walau hanya dengan ijzah SD.
Kreeek ..kreeek terdengar suara
pintu kamar di buka orang dengan pelan. “Siapa gerangan yang membuka pintu ini”
pikirku. Spontan aku begitu kaget demi melihat sosok yang masuk dalam kamarku.
Seorang yang tidak asing lagi buatku dialah Mas Edy pimpinan group
orgen tunggalku.
“Mas..mas Edi.. ada apa mas
malam-malam begini kok berkunjung ke kamarku. Tidak salam dan ketuk pintu
lagi.”
Namun bukannya menjawab pertanyaanku
dengan sangat cepat Mas Edi menyekap tubuhku dan membekap mulutku. Aku tak
dapat bergerak karena tanganya begitu kuat mencengkram pundakku sedang tangan
yang lainnya membekap mulutku hingga aku tak dapat berteriak.
“sumi kowe sudah memalukan aku, tadi juragan
Pringgo protes padaku, karena kowe ndak mau melayaninya”, “memangnya kowe itu
sopo nduk bisa menolak ajakan juragan Pringgo, denger ya juragan Pringgo wes
mbayar karo aku buat dapatin kowe. Cengkraman Mas Edi semakin kuat hingga
badanku terasa sangat lemas. Mukena putih lusuh yang kukenakan robek beberapa
sisi.
“nduk karena kowe sudah
mempermalukan aku, sebagai gantinya kowe harus melayani aku”. Kemudian dengan
sangat kuat di seretnya aku menuju tempat tidur, dengan sangat kasar disobeknya
ujung mukenaku dan di ikatkan ke mulutku
hingga aku tak dapat berbicara.
Seluruh mahluq malam itu terasa
ikut bersedih, terutama hatiku, aku begitu sedih, malu kecewa dan marah karena ulah Mas Edi. Ingin aku berteriak sekuat tenagaku tuk
melepaskan kesedihan ini namun apa mau dikata aku hanya seorang gadis desa yang
lemah. Wajah ibuku menari-nari diatas kepalaku bergantian dengan wajah degil mas
edi. Wajah Mbok dengan senyum khasnya, lalu berganti wajah Mas Edy dengan tawa
lepasnya begitu seterusnya
berputar-putar diatas kepalaku.
Mbok maafkan sumi mbok.. andai
sumi mendengar nasehat mbok mungkin kajadian ini tak akan terjadi, hatiku
marah, gelisah.. mendadak aku berdiri kupandang sekeliling kamarku pikiranku
kosong, ada kekuatan lain yang mengajak aku untuk berjalan. Perlahan aku langkahkan kaki dengan tidak
pasti, tanpa arah tujuan, aku sudah berada di ruang tamu, kemudian kekuatan itu
semakin besar mengajaku untuk tetap melangkah hingga keluar rumah, dan terus
melangkah, hatiku begitu teriris aku sudah tidak dapat menangis, hingga kakiku
menapak pada aspal dingin sedingin es… terus kulangkahkan kaki dalam remang
malam.. mendadak cahaya lampu mobil yang menyilaukan tepat didepan mataku
diringi klakson berkepanjangan lalu
sakit yang teramat sangat aku rasakan hanya sesekejap, setelah itu
kedamaian luar biasa kurasakan.. nuansa serba putih bertahta bunga merah jambu
disekelilingku, tenang. Tenram bahkan teramat tentram ada papan putih berukir Indah “TAMAN
KEMBALINYA JIWA YANG TENANG DAN DIRIDHOI”…
TAMAT.
Sang Penetes Embun
Batu Licin 13 Februari 2014
Tidak ada komentar :
Posting Komentar