Kamis, 13 Februari 2014

Sumi Primadona Panggung Dangdut



“Sumi … sekarang giliranmu..!” 

Suara Mas Edi mengagetkannku, kemudian tubuhnya sudah beranjak dari duduknya dan berlari ketengah panggung 

“bagaimana penonton semua, puas dengan penampilan mbak gita purnama..,,???, serentak para penonton seperti kerasukan syaithan, mereka menjawab serempak  “beluuuuummm..!!!”.  “Mau tambah,,???”, “maaauuuuu..?” . 

Memang Mas Edi paling pandai untuk menghidupkan suasana, beliau adalah pimpinan group orgen tunggal Cahaya Nada, beliau jugalah yang telah mengangkat kehidupanku seorang gadis desa transmigrasi di wilayah Indragiri Hulu Provinsi Riau, . Dan sekarang jadilah aku sebagai penyanyi group music Orgen Tunggal yang biasa dipanggil dari kampung ke kampung untuk mengisi acara hajatan perkawinan. Khitanan atau acara hajatan lainnya

“Selamat jalan Bapak Kepala Desa Talang Mulia, doa kami semoga selamat sampai kerumah dan mendapat kan istirahat yang tentram setibanya di rumah” suara Mas Edi membahana seantero panggung. “ Baiklah para hadirin.. demi meriahkan suasana, kita panggilkan biduanita kita si seksi yang tak  asing lagi, seorang biduan bintang panggung ini…. Hadirin sekalian kita sambut Sumi asmaranti”.

Aku bergegas berlari ketengah panggung, “penontooonnn…???, belum puas dengan goyangan Mbak Gita tadi..??”, “Belummm..”. mau di goyang lagiiii…???”, “Mauuuuuu..!!”.
Suasana semakin gaduh dengan tepok tangan dan sorak sorai mereka, diringi sesekali dengan suitan.  Bagiku itu adalah irama yang sangat merdu.  Bagi seorang penyayi dangdut  sepertiku tidak ada yang paling membahagiakan selain suara gemuruhnya penonton yang antusias menyambut kedatanganku, karena itu adalah pertanda jika aku diterima oleh mereka, penerimaan penonton adalah puncak penghargaan yang paling tinggi bagi penyanyi seperti ku

“Baiklah sahabatku semua.. yuuukkk kita goyang lagi sambil bernyanyi , sumi akan menyanyikan lagu Rambut-rambut Cinta “. Para penonton semakin antusias, ada yang bertepuk tangan, ada yang berjingkrak-jingkrak, ada yang bergoyang dengan gendong di pundak kawannya, bahkan ada yang mencoba untuk naik ke panggung, dengan tujuan dapat bergoyang denganku di panggung.  Dapat naik keatas panggung dan bergoyang bersama penyanyi adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka.  Namun tentu saja petugas hansip desa tidak tinggal diam secepat kilat mereka mengusir para penonton yang mencoba menaiki panggung. Bahkan ada yang terkena pukulan pentungan hansipnya. 

Rabut-rambut siapa ini kasih
Bikin tak enak hati
Semalam makan dimana
Semalam tidur dimana
Mana..mana..mana..
Sama..sama..siapa ..
Bukan siapa..siapa..

Aku..aku benci kamu....

Aku bergoyang meliuk-liukkan tubuh, para penonton seperti kerasukan merekaberjingkat-jingkat, bersorak sorai.  Mendadak darahku berdesir, dalam keriuhan suasana itu sayup sayup terdengar suara yang tembus sampai ke hati “Allahu Akbar… Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar, Asyhaduallaa illahailallahu, Asyhadualla illahaillahu”. Ternyata waktu isya telah tiba. Memang acara ini dimulai beberapa menit setelah maghrib, Pak Wagino sempat mengingatkan agar acara dimulai setelah Isya tetapi Mas Edi berhasil mempengarhui tuan rumah untuk mempercepat acara dengan alasan jika dilakukan setelah adzan maka waktunya kurang lama karena izin dari kepolisian acara ini hanya sampai jam satu malam.

Demi mendengar suara Adzan aku tersentak sesaat, hanya sesaat aku terngiang perkataan Ibuku yang selalu dia katakan “sudahlah nduk, berhentiah kowe jadi penyanyi dangdut keliling, jaga nama baik keluarga kita, walau kita miskin tapi jangan kau rendahkan martabat keluargamu nduk, carilah kerja yang lain!”, “penyanyi dangdut bukan kerjaan baik nduk ibu lihat sekarang kamu jarang sholat, sholat jangan kamu tinggalkan nduk sesibuk apapun kamu”, jika sudah begitu aku dengan ketus akan menjawab, “ ini bukan salah sumi mbok, ini salah mbok mengapa mbok ndak sekolahkan sumi, seperti asih, inah, mereka semua sudah lulus SMA dan sekarang sudah bekerja di Pekan Baru, seharusnya mbok bersyukur sumi  yang cuma lulus SD ini dapat kerja yang hasilnya lumayan, ini buat mbok juga kok”, dan ujungnya dapat ditebak ibuku akan menangis.

Suara yang mirip gendang, gitar, dan piano yang keluar dari sebuah orgen menyadarkan lamunanku, aku sedikit tergugup, aku sadar aku sedang kerja, penonton harus dipuaskan, aku coba resapi iramanya ternyata belum ketinggalan dan bisa aku susul dengan syair reff nyanyianku  selanjutnya.

---oo0oo---

Ku hempaskan tubuh penatku di kursi rias diruang ganti, sebuah rumah yang sengaja disiapkan oleh panitia untuk tempat istirahat bagi kami.  Puas rasa hati ini telah berhasil memberikan hiburan untuk para penonton masyarakat Desa Talang Mulia, sebuah desa transmigrasi di wilayah kecamatan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau

Namun mengapa hati ini tidak enak, padahal aku bernyanyi sangat bagus, penonton terlihat antusias dan terpuaskan. “hhhh..!” ku hela nafas panjang, entah mengapa aku sangat gelisah sekali. Aku teringat percakapanku dengan Ibu saat aku pamit tadi pagi.

“nduk.. kesekian kali ibu katakan, berhentilah kowe nyanyi!,  Sumi…, bagi ibu uang dan barang-barang yang koe berikan itu ndak berarti sama sekali, Ibu kepingin liat Sumi ibu yang dulu, sumi yang cantik pintar mengaji, rajin bantu Ibu”

“Mbok… sudah sumi katakan sumi ndak bisa cari kerja lain”. 

“Sumi, Mbok khawatir liat kamu nduk, kamu semakin jauh saja dari nilai agama, kamu sudah jarang sholat, dan paling Ibu malu pakaian kamu itu lah mi, mbokyo pake pakean sopan kalau keluar rumah!”

“alah Simbok, jangan atur-atur sumi ah, pakean ini sumi yang beli, pakean mbok juga, bukan orang-orang itu bukan tetangga kita yang bisanya Cuma usil dan nggosip itu, jadi terserah sumi mau pake apa,
“Hhhh….” Ibuku menghela napas panjang dan berkata lagi

“mbok  juga khawatir akan keselamatan dan kehormatan kamu di dunia hiburan itu mi..”. “mbok sering denger berita nggak bagus ada penyanyi yang bisa dibeli oleh penontonya hingga harga dirinya terjual, atau ada penyanyi yang rela menyerahkan kehormatannya untuk pimpinan grupnya supaya namanya diorbitkan, mbok shungguh khawatir mi..” 

“ahh… Sudahlah.. sumi pusing ngomong sama mbok, sekarang begini aja mbok mau ndak tho.. sumi beri uang, mbok mau ndak sih sumi beliin pakean, mbok mau ndak sih sumi kasih uang belanja tuk makan.. kalau mbok masih mau,jangan larang-larang sumi..
Nampak mata Ibuku mulai basah “astaghfirullah Sumi!” hanya itu yang dapat ia ucapkan karena aku sudah tidak dapat mendengar lagi karena aku sudah berbegas berlari keluar karena Mas Edi sudah menunggu di luar. 

“sum, sumi, ngelamunya?, suara Mbak Gita teman seprofesiku mengagetkanku .

“eh.. iya mbak ada apa mbak?”, “itu Sum ada penggemarmu mau ketemu 

“ya udah suruh masuk aja mbak”.  Kemudian mbak Gita keluar kamar menuju ruang tamu, mempersilahkan tamu itu duduk , lalu “Miii.. sumi ada yang ingi ketemu nih,,!”, “iya Mbak sebentar jawabku dari dalam kamar.

Aku keluar kamar menuju ruang tamu, Nampak olehku seorang Bapak-bapak rambutnya sudah botak di depan tanda bahwa dia sudah tidak muda lagi.

“Bapak mencari saya..??”.

”iya saya mencari kamu Sum, saya penggemar kamu, sangat mengagumi kamu”,  “saya dari jauh sum dari Tembilahan, jauh-jauh kesini Cuma mau ketemu kamu. 

“terimakasih Pak sudah begitu menghargai sumi hingga dibelain jau-jauh dari tembilahan” 

“tak masalah sum sini tembilahan bukan jarak yang yang jauh, asal bisa ketemu kamu”

Aku mulai menangkap gejala yang tidak baik, aku mulai hati-hati, Bapak itu terkesan playboy, dan suka dengan wanita, dan aku bukan wanita murahan,

“ya,, Pak sekarang sudah ketemu, sudah ya pak sumi mau istirahat, sumi sangat lelah setelah manggung selama 6 jam tadi” kataku untuk mengusir dia secara halus

“Sum.. jangan panggil Bapak ah, rasanya tidak enak apa aku tampak tua sekali..?, jiiiah ni Bapak ya jelas keliatan tua memang sudah tua, dasar orang tua tak tahu diri,tak ingat umur dan sudah mau masuk kubur, aku mengumpat dalam hati,

“sum.. kita keluar yuuk, kamu biasa dibayar berapa semalam”

Aku tersentak kaget alang kepalang, betul dugaanku ujung-ujungnya adalah tawaran berkencan dengannya, dengan bandot tua yang tak tahu diri itu. 

“Begini Pak, eh mas, Sumi adalah seorang penyanyi, sumi sangat senang menghibur orang lain dengan nyanyain sumi, hanya itu lain tidak, sumi tidak ingin mengotori kemurnian seni suara ini dengan hal-hal buruk, jadi terimkasih Mas, Sumi tidak dapat menerima tawaran mas. 

“Sumi… lihat ini segini cukup tidak”, kata orang itu sambil menyodorkan segepok uang,
“ini dua juta, cukup tidak ?, atau aku tambah lah jadi tiga juta”

Aku melirik uang yang teronggok di depanku, untuk dapat uang segitu aku harus manggung lima panggilan, dan sekarang kesempatan mendapatkannya hanya semalam bahkan kurang dari itu, sejenak ada keraguan dalam hatiku, teringat olehku rumah mbok yang sudah semakin reyot, mendadak aku ingat ibuku, betul katanya tentang godaan harta dan dunia, sudah kuputuskan aku harus kuat. 

“Pak terimakasih banyak atas penghargaan Bapak kesumi tapi sudah sumi katakana bahwa sumi tidak bisa menerima tawaran Bapak mohon maaf ya Pak” 

Tanpa kuduga Bapak itu kemudian berdiri dan berkata dengan keras  “jangan sok suci kamu sum, aku bisa membayar kamu berapa saja, berapa kamu minta?. 

“Pak.. jangan sekali-sekali meremehkan profesi sumi di sini, sekarang keluar dari rumah  ini, sumi ndak akan pergi dengan Bapak!!” bentakku sekencang-kencangnya. 

Si bapak bersungut-sungut dan bejalan tergesa-gesa sambil menendang meja.”diamprut tenan kowe Sum, titenono aku pasti ndapetin awakmu”

Aku sudah tidak lagi mendengar kataa-katanya karena aku sudah terlebih dahulu berlalu berlari menuju kamar ganti. 

“sudahlah mi, itu wajar bagi penyanyi keliling seperti kita, tinggal kita aja bagaimana bersikap atas perlakuan mereka kepada kita” mbak Gita seperti tahu perasaanku 

“tapi aku ndak iso mbak begitu, senakal-nakalnya aku aku masih njaga norma dan adat kita mbak”

“ok,ok mbak bangga punya temen kamu mi, yuuk kita siap-siap tidur, besok pagi kita pulang pagi-pagi sekali, aku kekamarku dulu ya, selamat malam tidur yang nyenyak ya sum” 

“injih mbak,” aku menjawab bersamaan dengan ekor mataku menatap kepergian mbak Gita.  Tapi aku menangkap  ada bayangan orang lain di depan kamarku. “mbak Gita sama siapa ya.” Aku bertanya dalam hati.  Penasaran kuintip melalui celah lubang kunciku. Kulihat mbak Gita digandeng mesra oleh seorang lelaki mereka memasuki kamar dengan sangat mesranya.”haahhh…mbak Gita..???.

“hah..peduli amat “.  aku ndak peduli, dengan apa yang barusaja kulihat. Rasanya ngantuk begitu sangat melelahkanku. Jam weker di meja riasku menunjukkan jam setengah sebelas.   Entah kenapa aku teringat bahwa aku belum sholat isya, padahal seharian ini saja aku tidak menunaikan sholat apapun, juga hari-hari kemarin sholatku selalu  bolong-bolong dan itu tidak merisaukanku .  Entah mengapa kali ini aku seperti bimbang seperti ada kekuatan hebat dalam diriku yang menyuruh aku sholat  “apa yang terjadi pada diriku, aku ingin sekali sholat isya.

Aku ikuti kata hatiku, perlahan aku langkahkan kaki keluar kamar, lalu kulanjutkan membuka pintu rumah karena memang kamar mandi rumah ini terpisah dari rumah,  kira-kira berjarak lima belas meter dari rumah utama.   Apa yang menyebabkan aku seperti ini, sangat berani keluar rumah berjalan dalam gelap demi untuk mengambil wudhu untuk menunaikan shalat isya. 

“ahh. mas ..hi..hi..hi.. “ suara mbak Gita jelas sekali terdengar karena saat ini aku sedang melewati samping biliknya. “ah.. peduli dengan itu semua” hatiku berbisik, aku ingin sekali kedamaian, ya kedamaian dan ketentraman . mungkin rasa inilah yang menggerakkan aku sanggup  berjalan  lima belas meter bolak balik dalam keremangan malam tuk mengambil wudhu , padahal biasanya aku sangat penakut sekali . 

Air pancuran yang dingin benar-benar memberikan kesejukan, kesejukan yang bukan saja untuk wajah dan fisiku tetapi juga kesejukan hatiku.  Pengaruh wudhu ini benar-benar dahsyat aku seperti berada dalam alam bernuansa relaksasi, begitu teduh dan nyaman teramat sangat dihati.

Setelah selesai menunaikan whudu aku beranjak pergi dengan sangat perlahan kulangkahkan kakiku karena lantai kamar mandi sangat licin, namun baru saja beberapa langkah aku melangkah. Aku melihat sebuah bayangan berkelebat.

“Si..siapa itu?’ aku berteriak, entah kekuatan apa hingga aku begitu tenang 

“Siapa disana?” namun tidak ada jawaban apapun,suasana hening, keheningan malam yang begitu tenang. 

“ah mungkin hanya kucing, atau binatang malam yang sedang berlari mencari makan?” pikirku dalam hati . aku bergegas mempercepat langkah hingga memasuki rumah dan kamarku. 

---ooo0ooo---

“Yaa.. Allah.. di keheningan malam ini Sumi menghadapMu, terimalah ibadah Sumi kali ini ya Allah!!”, “memang Sumi tidak pandai beribadah, tidak pandai sembahyang, malah sembahyang Sumi jarang-jarang, tapi apakah sumi tidak boleh menghadapMu ya Allah?”.  “sumi pengen ketenangan, Ya.. Allah, Sumi tidak tenang bekerja sebagai penyanyi dangdut keliling, tapi dengan apalagi Sumi harus mencari makan, beliin baju simbok, biaya berobat simbok, ya Allah…!!! Sumi pusing kalo mikirin itu.. bantu Sumi ya Allah, bantu Sumi..!!” “Ya Allah kalau Engkau sayang Sumi saat ini Sumi ingin membuat Engkau ridho.. walau mati sekalipun jika Engkau Ridho Sumi akan senang…

Air mata sudah jatuh bersimbah membasahi mukena putih yang lusuh, aku sudah tidak bisa lagi membendung.  Tiap tetesnya mengalir begitu deras hingga aku tergugu, sangat tergugu.  Entah kenapa kedamaian teramat sangat memasuki setiap relung jiwa, beban yang selama ini menghimpit terasa pecah berkeping-keping.  Ada tekat dalam hati  ini adalah panggung terakhirku, sepulang dari sini aku akan berusaha sekuat tenaga mencari pekerjaan yang lebih baik walau hanya dengan ijzah SD.

Kreeek ..kreeek terdengar suara pintu kamar di buka orang dengan pelan. “Siapa gerangan yang membuka pintu ini” pikirku. Spontan aku begitu kaget demi melihat sosok yang masuk dalam kamarku. Seorang yang tidak asing lagi buatku dialah Mas Edy pimpinan group orgen tunggalku. 

“Mas..mas Edi.. ada apa mas malam-malam begini kok berkunjung ke kamarku. Tidak salam dan ketuk pintu lagi.”

Namun bukannya menjawab pertanyaanku dengan sangat cepat Mas Edi menyekap tubuhku dan membekap mulutku. Aku tak dapat bergerak karena tanganya begitu kuat mencengkram pundakku sedang tangan yang lainnya membekap mulutku hingga aku tak dapat berteriak.

“sumi  kowe sudah memalukan aku, tadi juragan Pringgo protes padaku, karena kowe ndak mau melayaninya”, “memangnya kowe itu sopo nduk bisa menolak ajakan juragan Pringgo, denger ya juragan Pringgo wes mbayar karo aku buat dapatin kowe. Cengkraman Mas Edi semakin kuat hingga badanku terasa sangat lemas. Mukena putih lusuh yang kukenakan robek beberapa sisi. 

“nduk karena kowe sudah mempermalukan aku, sebagai gantinya kowe harus melayani aku”. Kemudian dengan sangat kuat di seretnya aku menuju tempat tidur, dengan sangat kasar disobeknya ujung mukenaku dan  di ikatkan ke mulutku hingga aku tak dapat berbicara.

Seluruh mahluq malam itu terasa ikut bersedih, terutama hatiku, aku begitu sedih, malu kecewa dan marah  karena ulah Mas Edi.  Ingin aku berteriak sekuat tenagaku tuk melepaskan kesedihan ini namun apa mau dikata aku hanya seorang gadis desa yang lemah. Wajah ibuku menari-nari diatas kepalaku bergantian dengan wajah degil mas edi. Wajah Mbok dengan senyum khasnya, lalu berganti wajah Mas Edy dengan tawa lepasnya  begitu seterusnya berputar-putar diatas kepalaku.

Mbok maafkan sumi mbok.. andai sumi mendengar nasehat mbok mungkin kajadian ini tak akan terjadi, hatiku marah, gelisah.. mendadak aku berdiri kupandang sekeliling kamarku pikiranku kosong, ada kekuatan lain yang mengajak aku untuk berjalan.  Perlahan aku langkahkan kaki dengan tidak pasti, tanpa arah tujuan, aku sudah berada di ruang tamu, kemudian kekuatan itu semakin besar mengajaku untuk tetap melangkah hingga keluar rumah, dan terus melangkah, hatiku begitu teriris aku sudah tidak dapat menangis, hingga kakiku menapak pada aspal dingin sedingin es… terus kulangkahkan kaki dalam remang malam.. mendadak cahaya lampu mobil yang menyilaukan tepat didepan mataku diringi klakson berkepanjangan lalu  sakit yang teramat sangat aku rasakan hanya sesekejap, setelah itu kedamaian luar biasa kurasakan.. nuansa serba putih bertahta bunga merah jambu disekelilingku, tenang. Tenram bahkan teramat tentram  ada papan putih berukir Indah “TAMAN KEMBALINYA JIWA YANG TENANG DAN DIRIDHOI”…

TAMAT.

Sang Penetes Embun 
Batu Licin 13 Februari 2014 



Tidak ada komentar :

Posting Komentar